Angin Segar bagi Pelaku Lain di Kasus Joko Tjandra
Putusan hakim banding perkara Pinangki dan sikap jaksa bisa jadi angin segar bagi pelaku lain pada kasus pelarian Joko Tjandra. Vonis bisa dipotong sesuai tuntutan dan jaksa mengamininya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Tuntutan ringan jaksa terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari dan keputusan jaksa penuntut umum yang tidak mengajukan kasasi atas putusan banding Pinangki dinilai telah menunjukkan ketidakseriusan jaksa dalam memerangi korupsi. Tak hanya itu, vonis atas Pinangki juga dikhawatirkan bakal berdampak pada hukuman terhadap para pelaku lainnya pada kasus pelarian Joko Tjandra.
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, saat dihubungi, Selasa (6/7/2021), berpandangan, dalam perkara pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk Joko Tjandra dengan terdakwa Pinangki, jaksa hanya menuntutnya 4 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. Karena itu, jika putusan banding kemudian memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa, putusan tersebut tidak bisa dianggap keliru. Sebab, majelis hakim banding mengacu pada tuntutan jaksa.
Berangkat dari hal tersebut, yang patut dikritisi adalah tuntutan jaksa yang sejak awal tidak selaras dengan harapan publik. Tuntutan tersebut mencederai rasa keadilan publik karena Pinangki merupakan aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum, bukan justru sebaliknya.
Tak hanya itu, putusan hakim banding atau kasasi atas pelaku lainnya pada kasus pelarian Joko dikhawatirkan mengikuti putusan atas Pinangki. Hakim bisa saja menghukum para pelaku sesuai tuntutan jaksa.
”Bagi terdakwa lain yang belum berkekuatan hukum tetap, besar kemungkinan akan ada penyesuaian. Nanti kita lihat terhadap Joko Tjandra seperti apa. Kemungkinan tidak akan jauh berbeda (dengan yang putusan banding Pinangki). Jadi, itu pasti punya pengaruh pada perkara lain,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, pelaku lain dalam kasus pelarian Joko Tjandra dihukum lebih berat dari tuntutan jaksa di pengadilan tingkat pertama.
Joko Tjandra dalam kasus pengurusan fatwa bebas MA bagi dirinya, misalnya, dihukum 4,5 tahun penjara atau 6 bulan lebih berat dari tuntutan jaksa. Begitu pula Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dalam kasus penghapusan nama Joko dari daftar pencarian orang. Napoleon divonis 4 tahun penjara atau lebih berat satu tahun dari tuntutan. Prasetijo divonis 3,5 tahun penjara atau lebih berat dari tuntutan jaksa 2,5 tahun penjara
Yakin dapat keringanan
Menurut penasihat hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, kliennya saat ini menanti putusan banding dalam perkara pengurusan fatwa MA. Adapun pada perkara pembuatan surat jalan palsu, majelis hakim kasasi menguatkan putusan sebelumnya, yakni menghukum Joko 2,5 tahun penjara.
Kuasa hukum Napoleon, Gunawan Raka, yakin kliennya akan diputus bebas lepas oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sebab, berkaca pada putusan Pinangki, hakim banding menghukum Pinangki berdasarkan tanggung jawab kesalahan. Napoleon dinilai tidak memiliki kewenangan langsung dalam menghapus Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) saat masih buronan. ”Perkara Napoleon pembuktiannya cacat hukum sehingga harus dibebaskan,” kata Gunawan.
Adapun kuasa hukum Prasetijo, Rolas Sitinjak, mengatakan, kliennya kini tengah mengajukan upaya peninjauan kembali (PK) karena dalam kasus pengurusan surat jalan palsu bagi Joko ataupun penghapusan Joko dari DPO, kliennya sebelumnya menerima putusan hakim. Pasca-putusan Pinangki, Rolas optimistis Prasetijo akan mendapatkan keringanan hukuman, bahkan bisa divonis bebas lepas.
Ia menilai aspek pembuktian dalam perkara itu lemah. ”Ada banyak kesalahan dalam pemeriksaan pengadilan tingkat pertama yang merugikan klien kami,” kata Rolas.
Unsur pemberat
Dalam perkara dengan terdakwa Pinangki, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Yenti Garnasih melihat, sejak awal jaksa tidak serius dalam menuntut Pinangki. Padahal, di persidangan ada tiga kejahatan yang terbukti dilakukan Pinangki, yaitu suap, permufakatan jahat, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dengan tiga kejahatan yang terbukti itu, seharusnya sejak awal jaksa menuntut maksimal. Apalagi jabatan Pinangki sebagai aparat penegak hukum yang dapat pula jadi unsur pemberat.
”Dengan tiga jenis kejahatan terbukti di persidangan, kemudian tindak pidana dilakukan saat sedang pandemi Covid-19, seharusnya jaksa bisa menuntut tinggi sejak awal,” kata Yenti.
Yenti juga menyayangkan jaksa tidak mengambil upaya hukum kasasi. Seharusnya, kasasi diambil untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung yang telah dirusak oleh Pinangki.
”Seharusnya jaksa tidak merusak tujuan pemidanaan hanya karena mengedepankan jiwa korsa sesama jaksa. Sejak awal mereka sudah salah karena hanya menuntut ringan dengan mengabaikan pedoman pemidanaan,” terang Yenti.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak ketika diminta tanggapannya mengatakan, perkara Pinangki tersebut ditangani jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat. Leonard meminta agar hal itu ditanyakan langsung ke Kejari Jakpus.
Sebelumnya, Kepala Kejari Jakarta Pusat Riono Budisantoso menyatakan, jaksa tidak mengajukan kasasi karena tuntutan jaksa telah dipenuhi di putusan pengadilan tinggi. Selain itu, jaksa menyatakan tak ada alasan untuk mengajukan permohonan kasasi sebagaimana ketentuan di Pasal 253 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berpandangan, pihaknya dapat memahami alasan jaksa penuntut umum yang tidak mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan banding atas Pinangki Sirna Malasari.
Sebab, berbeda dengan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memutus berdasarkan pemeriksaan fakta atau bukti dari suatu perkara, di tingkat kasasi Mahkamah Agung hanya memeriksa penerapan hukum suatu perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 253 Ayat 1 KUHAP. Sementara, tuntutan jaksa berupa pidana penjara 4 tahun telah dipenuhi oleh pengadilan tinggi melalui putusan banding.
"Jadi sudah sesuai dengan tuntutan jaksa dan putusan ini mesti dipandang sebagai satu rentetan, bukan terpisah-pisah. Alasan yang bisa mendorong jaksa mengajukan kasasi haruslah alasan yang dapatdipertanggungjawabkan secara hukum. Jadi bukan soal berat ringannya hukuman," kata Barita.
Oleh karena itu, Barita berharap agar publik menghormati putusan dari lembaga peradilan maupun sikap jaksa yang memilih untuk tidak melakukan upaya hukum kasasi. Komisi Kejaksaan pun juga tidak memiliki kewenangan mencampuri kemandirian jaksa dalam melaksanakan tugas penuntutan.