Sejak Awal Jaksa Dinilai Tak Serius Tangani Perkara Pinangki
Tuntutan jaksa di pengadilan tingkat pertama terlalu ringan. Kemudian, jaksa memutuskan tidak kasasi sekalipun putusan banding memangkas hukuman Pinangki. Padahal, ada banyak unsur pemberat yang bisa digunakan jaksa.
JAKARTA, KOMPAS — Sejak awal, sikap jaksa dalam menangani perkara Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk Joko Tjandra dinilai tidak serius. Tuntutan yang diajukan di pengadilan tingkat pertama terlalu ringan. Kemudian saat putusan banding meringankan Pinangki, jaksa penuntut umum justru memilih tidak mengajukan kasasi.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Yenti Garnasih saat dihubungi, Selasa (6/7/2021), mengatakan, sejak awal jaksa penuntut umum memang tidak serius dalam menuntut Pinangki.
Padahal, dalam persidangan ada tiga kejahatan yang terbukti dilakukan Pinangki, yakni suap, permufakatan jahat, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dengan tiga kejahatan yang terbukti itu, seharusnya sejak awal jaksa menuntut dengan hukuman lebih tinggi. Apalagi, jabatan Pinangki sebagai aparat penegak hukum seharusnya dapat menjadi unsur pemberat. Namun, nyatanya jaksa hanya menuntut Pinangki di pengadilan tingkat pertama, hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
”Dengan tiga jenis kejahatan yang terbukti di persidangan, kemudian tindak pidana dilakukan saat sedang pandemi Covid-19, seharusnya jaksa bisa menuntut lebih tinggi sejak awal,” kata Yenti.
Baca juga : Jaksa Terima Potongan Hukuman Pinangki, Pengamat: Mafia Hukum Bisa Merajalela
Yenti juga menyayangkan, jaksa tidak mengambil upaya hukum kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang telah memotong hukuman Pinangki dari semula 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Seharusnya kasasi diambil untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung yang dirusak Pinangki. Pinangki adalah oknum jaksa yang telah merusak nama baik kejaksaan sehingga membuat publik tidak percaya terhadap penegak hukum.
Jaksa penuntut umum sebagai representasi negara pun seharusnya menunjukkan komitmen untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
”Seharusnya jaksa tidak merusak tujuan pemidanaan hanya karena mengedepankan jiwa korsa sesama jaksa. Sejak awal mereka sudah salah karena hanya menuntut ringan dengan mengabaikan pedoman pemidanaan,” kata Yenti.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, juga melihat sejak awal jaksa penuntut umum tidak melihat perkara suap dan permufakatan jahat yang dilakukan Pinangki sebagai kejahatan serius. Jaksa hanya melihat perkara itu sebagai kejahatan biasa. Oleh karena itu, tak mengherankan jika di pengadilan tingkat pertama, jaksa hanya menuntut Pinangki 4 tahun penjara.
Padahal, kata Zaenur, jika jaksa lebih jeli dan tegas, Pinangki bisa dituntut lebih berat atas korupsi yang dia lakukan. Jaksa dapat melihat peran Pinangki yang sentral dalam perkara tersebut. Dalam fakta persidangan terungkap, Pinangki berperan sebagai pihak yang berinisiatif menyusun rencana aksi fatwa MA untuk membebaskan buronan kasus Bank Bali, Joko S Tjandra. Bahkan, sebagai jaksa yang seharusnya bertugas mengeksekusi putusan pengadilan, Pinangki justru menemui Joko saat masih buron untuk menawarkan proposal rencana aksi tersebut.
”Fakta hukum bahwa Pinangki berperan sentral dalam perkara ini, kemudian sebagai aparat penegak hukum dia justru menjadi mafia hukum, itu justru tidak digunakan sebagai unsur pemberat jaksa dalam menuntut. Padahal, dalam bekerja, jaksa memiliki pedoman penuntutan yang jelas,” tuturnya.
Disparitas
Zaenur menyebutkan, dalam perkara yang mirip, Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap terkait jabatannya sebagai anggota tim jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bisa dituntut hingga 15 tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Majelis hakim kemudian menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara, yang pada 2008 menjadi vonis terberat dalam pemberantasan korupsi.
”Suap pada penegak hukum ini berbeda dengan suap pada pelaku lain karena ada efek dominonya. Suap pada penegak hukum bisa menghilangkan kepercayaan publik terhadap hukum sehingga masyarakat bisa main hakim sendiri,” kata Zaenur.
Yenti dan Zainur pun meragukan komitmen majelis hakim PT DKI Jakarta yang menangani perkara Pinangki terhadap pemberantasan korupsi. Pertimbangan yang mereka gunakan untuk meringankan vonis Pinangki tidak logis dan mencederai rasa keadilan. Majelis hakim PT DKI hanya mempertimbangkan jender Pinangki yang memiliki beban anak dan perbuatannya tidak dilakukan sendiri.
Yenti berpendapat, pertimbangan itu sangat diskriminatif. Sebab, untuk perkara pidana lain, ada perempuan yang tetap divonis berat meski sedang hamil. Ini menunjukkan bahwa masih ada disparitas pemidanaan terhadap pelaku kejahatan, terutama yang memiliki kekuasaan.
”Putusan banding di PT DKI Jakarta ini harus dieksaminasi supaya ada perubahan paradigma hakim. Hakim seharusnya memutus perkara dengan mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat,” ujar Yenti.
Dampak terhadap perkara lain
Di sisi lain, putusan ringan Jaksa Pinangki juga membuat pelaku lain dalam kasus pelarian Joko Tjandra optimistis hukumannya akan diringankan.
Dalam perkara penghapusan Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO), terdakwa bekas Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sedang mengajukan upaya banding. Kuasa hukum Napoleon, Gunawan Raka, mengatakan, upaya banding Napoleon sudah diajukan dan sedang dalam tahapan pemeriksaan berkas perkara.
Ia yakin PT DKI akan memutus Napoleon bebas lepas. Sebab, melihat putusan Pinangki, hakim tinggi menghukum berdasarkan tanggung jawab kesalahan. Napoleon dinilai tidak memiliki kewenangan langsung dalam menghapus Joko Tjandra dari DPO saat masih menjadi buronan.
”Perkara Napoleon pembuktiannya cacat hukum sehingga harus dibebaskan,” kata Gunawan. Di pengadilan tingkat pertama, Napoleon dihukum 4 tahun penjara.
Adapun bekas Koordinator Biro dan Pengawasan PPNS Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo telah mengajukan banding untuk perkara pengurusan surat jalan palsu untuk Joko Tjandra. Upaya banding itu ditolak dan pengadilan tinggi menguatkan putusan di pengadilan tingkat pertama, yakni hukuman 3 tahun penjara.
Putusan terhadap Prasetijo dalam kasus surat jalan palsu ataupun dalam kasus lain penghapusan Joko dari DPO, yakni hukuman 3,5 tahun penjara bagi Prasetijo, telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, kemudian, menurut kuasa hukum Prasetijo, Rolas Sitinjak, saat ini Prasetijo tengah mengajukan upaya peninjauan kembali (PK). PK diajukan dengan alasan adanya kekeliruan hakim yang nyata.
Pascaputusan terhadap Pinangki, Rolas optimismis Prasetijo akan mendapatkan keringanan hukuman, bahkan bisa divonis bebas lepas. Sebab, aspek pembuktian dalam perkara tersebut dinilai lemah. Tidak ada saksi yang melihat secara langsung Prasetijo menerima suap dari pengusaha Tommy Sumardi. ”Ada banyak kesalahan di pemeriksaan pengadilan tingkat pertama yang merugikan klien kami. Di tingkat PK ini, kami yakin hukuman akan diringankan atau bahkan divonis bebas lepas karena tidak terbukti,” kata Rolas.
Baca juga : Misteri Jaksa Pinangki
Sementara itu, terdakwa lain dalam kasus pengurusan surat jalan palsu, yaitu Anita Kolopaking, juga sedang mengajukan kasasi di MA. Kasasi diajukan karena upaya banding ditolak. Di pengadilan tingkat pertama, Anita divonis 2,5 tahun penjara. PT DKI Jakarta lantas menguatkan putusan itu.
Joko Tjandra pun sedang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menghukumnya 4,5 tahun penjara dalam kasus penghapusan namanya dari DPO dan pengurusan fatwa MA.
Adapun terpidana lain dalam kasus pengurusan fatwa MA, Andi Irfan Jaya, menerima putusan di pengadilan tingkat pertama, yakni hukuman 6 tahun penjara, sehingga putusan telah berkekuatan hukum tetap.