Diskon Vonis Jaksa Pinangki yang Tak Mengejutkan
Pemangkasan vonis jaksa Pinangki tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga semakin menurunkan kepercayaan publik kepada penegak hukum. Terlebih lagi sejak awal perkara bergulir, Pinangki seolah selalu dilindungi.
Beberapa waktu tidak terdengar, jaksa Pinangki Sirna Malasari kembali menjadi pembicaraan publik. Divonis pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Februari lalu, kini hukuman Pinangki dipangkas lebih dari separuh oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Putusan pidana 10 tahun penjara dijatuhkan majelis hakim Ignatius Eko Purwanto, Sunarso, dan Moch Agus Salim karena Pinangki dinilai terbutkti membantu pembebasan Joko S Tjandra, buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali. Vonis tersebut jauh di atas tuntutan jaksa penuntut umum, yakni pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 500 juta.
Baca juga : Terlibat Tiga Kejahatan di Kasus Joko Tjandra, Hakim Vonis Berat Pinangki
Profesi Pinangki sebagai aparat penegak hukum menjadi pertimbangan yang memberatkan pidana. Keterangannya yang dianggap berbelit-belit dalam persidangan juga menjadi pertimbangan majelis hakim menjatuhkan vonis 10 tahun penjara. Terlebih lagi, Pinangki juga terbukti telah menikmati hasil tindak pidana berupa uang sebesar 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7 miliar dari Joko Tjandra.
Tak terima dengan putusan itu, Pinangki mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hasilnya, Majelis hakim mengabulkan permohonan banding dan memberikan diskon hukuman bagi Pinangki, dari 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara.
Majelis hakim tingkat banding menimbang bahwa pidana 10 tahun penjara yang dijatuhkan terhadap Pinangki terlalu berat. Sementara, terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Selain itu, majelis hakim juga menimbang bahwa Pinangki adalah ibu dari seorang anak balita.
Baca juga : Menang Banding, Vonis Jaksa Pinangki Divonis dari 10 Tahun Menjadi 4 Tahun
Apa pun pertimbangannya, potongan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara tetap saja dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat. Tak ayal, publik pun geram pada putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu. Sampai-sampai vonis banding Pinangki itu pun ramai diperbincangkan, bahkan menjadi trending topic di media sosial, khususnya Twitter.
Salah satu yang mendapat perhatian publik adalah pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa sebagai perempuan, Pinangki harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. ”Bandit-bandit ini beneran ngeledek nalar publik. Kan, harusnya justru diperberat karena dia penegak hukum. Kan sederhana, dia bisa punya motif politik, akses, kesempatan, dll, buat korup karena dia jaksa/penegak hukum, bukan karena dia perempuan”, cuit akun @fullmoonfo*ks.
Sementara akun @sweetmant*s mencuit, ”Alasan yang ga masuk akal. Ada banyak perempuan hamil dan melahirkan di penjara. Ada banyak ibu punya anak kecil di penjara. Hanya karena nyuri yang nilai materinya gak sampai miliaran dan ga dapet keringanan hukuman. Indonesia udah gila”.
Adapun akun @glenfriend*y mencuit, ”Kalau sampe hakimnya sudah begini, apa penegakan hukum masih bisa diandalkan”.
Putusan banding tersebut menjadi semacam antiklimaks penegakan hukum di negeri ini. Tidak hanya karena Pinangki seorang jaksa, tetapi kasus tersebut telah memperlihatkan jaring-jaring mafia hukum yang melibatkan aparat penegak hukum, advokat, dan politisi.
Pelaksana
Pinangki bisa jadi hanyalah pelaksana dari sebuah skenario besar jejaring mafia hukum. Perkara yang menjerat Pinangki bermula dari informasi kembalinya Joko Tjandra ke Tanah Air untuk mengurus permohonan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020. Namun, terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali itu selalu mangkir, tidak menghadiri sidang di PN Jaksel dengan alasan kesehatan dan tengah berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Informasi masuknya Joko Tjandra ke Indonesia pun sempat menjadi polemik. Kala itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebutkan Joko sempat kembali ke Tanah Air untuk mendaftarkan permohonan peninjauan kembali kasusnya di PN Jaksel. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada akhir Juni 2020, Jaksa Agung mengeluhkan kerja Imigrasi karena Joko bisa masuk tanpa diketahui.
Sebaliknya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyebutkan sistem keimigrasian tidak menemukan data soal masuknya buronan kasus pengalihan hak tagih utang atau cessie PT Bank Bali tersebut.
Skandal itu pun akhirnya terbuka selapis demi selapis. Surat jalan Joko Tjandra yang diberikan oleh seorang perwira tinggi kepolisian beredar setelah dibagikan di twitter. Salah satunya surat jalan yang dikeluarkan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo.
Surat yang diterbitkan pada 18 Juni 2020 itu menerangkan bahwa Joko Tjandra yang berprofesi sebagai konsultan akan melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pontianak, Kalimantan Barat, dengan menggunakan pesawat terbang.
Mengetahui hal itu, Kepala Kepolisian Negara RI, kala itu, Jenderal Idham Azis, bergerak cepat dengan menonaktifkan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dan menyusul kemudian Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
Selain itu, beredar pula rekaman video kuasa hukum Joko Tjandra, Anita Kolopaking, saat menemui Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna. Video itulah yang di kemudian hari diakui Anita.
Tidak lama berselang, beredar foto Pinangki bersama Joko Tjandra dan Anita di Malaysia. Foto itulah yang kemudian dijadikan sebagai bukti saat Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman melaporkan dugaan pertemuan Pinangki dengan Joko Tjandra dan Anita kepada Komisi Kejaksaan.
MAKI juga menyerahkan bukti lain, di antaranya foto dokumen perjalanan Pinangki bersama Anita pada 25 November 2019 dengan menggunakan pesawat Garuda GA 820 jurusan Jakarta-Kuala Lumpur.
Komisi Kejaksaan tak tinggal diam. Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak pun melayangkan surat untuk mengklarifikasi laporan MAKI kepada Pinangki. Namun, pihak Kejaksaan Agung menjawab bahwa Pinangki telah diperiksa di Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (Jamwas) Kejagung. Jamwas menjanjikan akan memberi hasil pemeriksaan kepada Komisi Kejaksaan.
Sementara proses hukum di Kejagung terkesan terus ditarik-ulur. Namun akhirnya, desakan publik yang begitu kuat membuat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menjadikan hasil pemeriksaan terhadap Pinangki sebagai bahan untuk menyidik kasus tersebut. Namun, peningkatan kasus ke tahap penyidikan tidak dibarengi dengan penetapan tersangka.
Pada waktu yang hampir bersamaan, beredar pula isu bahwa Pinangki memiliki kedekatan dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Namun, Burhanuddin membantahnya. ”Tuduhan itu tidak benar. Itu mendiskreditkan kejaksaan,” ujarnya kala itu.
Titik penting
Bersamaan dengan penyidikan oleh Kejagung, Polri yang bekerja sama dengan Polis Diraja Malaysia berhasil meringkus Joko Tjandra di apartemen pribadinya di Malaysia pada 30 Juli 2020. Penangkapan itu menjadi titik penting pengungkapan skandal penegak hukum dengan terpidana yang menjadi buronan selama 11 tahun. Pada 11 Agustus 2020, Pinangki akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan kasusnya bergulir hingga saat ini.
Baca juga : Pengakuan Joko Tjandra Jadi Pijakan Penting Pengembangan Kasus
Sementara proses hukum berjalan, publik dikejutkan dengan peristiwa terbakarnya gedung utama Kejaksaan Agung. Selain bernilai historis, di gedung itu terletak pusat penyimpanan data rekaman video lalu lalang orang di kompleks Kejagung.
Di gedung itulah Pinangki, eks pejabat di Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan, pernah berkantor. Tidak berlebihan jika kemudian publik menduga ada unsur kesengajaan dalam insiden tersebut.
”King maker”
Skandal pelarian Joko Tjandra yang salah satunya melibatkan Pinangki masih menyisakan sejumlah tanya. Di pengadilan tingkat pertama, terungkap adanya sebutan king maker. Soal king maker, hakim juga menyebutnya dalam putusan Andi Irfan Jaya, pengusaha yang menghubungkan pihak Joko Tjandra dengan Pinangki. Namun, hakim pun menyatakan tidak berhasil mengungkapnya di pengadilan.
Berdasarkan catatan Kompas, keberadaan king maker pertama kali diungkapkan Koordinator MAKI Boyamin Saiman, akhir September 2020. Saat itu, ia melaporkan materi terkait king maker ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dugaan adanya keterlibatan pihak lain itu juga terungkap dalam percakapan antara Anita dan Pinangki saat membahas permohonan fatwa dengan menyebut ”bapakku” dan ”bapakmu”.
Baca juga : Pengungkapan Sosok ”King Maker” Ditagih
Namun, sekali lagi, pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab hingga saat ini. Publik justru disuguhkan dengan pengurangan pidana penjara Pinangki, dari 10 tahun menjadi 4 tahun, sama seperti tuntutan jaksa penuntut umum.
Antiklimaks
Pemangkasan hukuman bagi Pinangki memang semacam antiklimaks. Namun, putusan itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sebab, dari rangkaian peristiwa dan fakta yang terungkap di persidangan, Pinangki diduga hanyalah pelaksana dari sebuah rangkaian besar rencana besar pemulangan buronan Joko Tjandra.
”Kami tidak yakin Pinangki adalah pelaku tunggal. Ada pihak-pihak lain yang pasti terlibat karena ini kasus yang melibatkan buronan kelas kakap yang telah melarikan diri 11 tahun. Pertanyaan yang belum terjawab adalah siapa penjamin Pinangki sehingga Joko Tjandra mau bertemu dan bekerja sama dengan Pinangki,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, ketika dihubungi, Rabu (16/6/2021).
Pengurangan hukuman terhadap Pinangki telah mencederai rasa keadilan publik. Dugaan masih adanya pihak-pihak lain terkait Pinangki yang belum tersentuh hukum pun tentu bisa semakin mengaburkan kepercayaan rakyat kepada penegak hukum di negeri ini.