Tak Bisa Parsial, Gerakan Kontraradikalisasi Dilakukan dari Hulu ke Hilir
Gerakan kontraradikalisasi dan deradikalisasi diyakini dapat menanggulangi paham radikal yang terus berkembang. Agar lebih efektif, deradikalisasi mesti dilakukan secara menyeluruh dari hulu ke hilir.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan kontraradikalisasi tak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus menyeluruh dari hulu sampai hilir. Di hulu, gerakan dimulai dari sekolah dan organisasi kemasyarakatan. Di hilir, penindakan melalui penegakan hukum harus tegas dilakukan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menjabarkan perlunya gerakan untuk melawan radikalisme secara menyeluruh dan berkelanjutan seusai memberikan kuliah umum pada Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 dan Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 Tahun 2021 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Selasa (6/7/2021).
Dalam sesi tanya jawab kuliah umum tersebut, peserta PPSA 23, Munawar Fuad, menanyakan cara membuat moderasi beragama bisa menjadi solusi nyata saat pandemi masih terjadi dan pandangan ekstrem masih berkembang.
Menjawab pertanyaan ini, Wapres Amin menjelaskan, radikalisasi bisa diantisipasi dengan kontraradikalisasi dan deradikalisasi untuk mereka yang sudah terpapar paham radikal.
Gerakan kontraradikalisasi perlu dilakukan dari hulu sampai hilir. Di hulu, gerakan dimulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi ataupun melalui jalur-jalur organisasi kemasyarakatan. Di hilir, penegakan hukum diterapkan.
”Di hilir, kita harus lakukan penindakan, penegakan hukum, walau dengan cara yang lebih humanis dan lakukan upaya deradikalisasi,” ujarnya secara daring dari kediaman resmi Wapres di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Wapres juga menyebutkan dua sebab radikalisme. Pertama, akibat pemahaman yang tidak tepat dalam beragama. Kedua, radikalisme yang tumbuh karena ketidakadilan atau masalah ekonomi.
Pemahaman agama yang tidak tepat ini dicontohkan dengan pemahaman jihad yang keliru yang selalu dimaknai sebagai perang. ”Perang memang ada dalam Islam, tapi itu untuk situasi perang. (Dalam) Situasi damai, jihad tidak boleh diartikan perang, tetapi perbaikan, al islah. Memperbaiki kebodohan, mengatasi kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan,” tutur Wapres Amin.
Kesalahan dalam pemahaman membuat seseorang menginginkan perang pada situasi damai. Pemahaman sempit ini, lanjutnya, harus diluruskan kembali.
Masalah ekonomi dan ketidakadilan juga perlu dicari solusinya sembari memperbaiki pemahaman agama. Untuk itu, kata Wapres Amin, pemerintah telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) pada 16 Juni lalu.
Dalam peluncuran RAN-PE, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar menuturkan, strategi dan program utama RAN-PE dalam mencapai sasaran dituangkan dalam tiga pilar.
Pertama, pilar pencegahan yang terdiri dari kesiapsiagaan, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi. Kedua, pilar penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban, serta penguatan kerangka legislasi nasional. Ketiga, pilar kemitraan dan kerja sama internasional.
Jarak jauh
Sementara dalam laporannya, Gubernur Lemhannas Letjen (Purn) Agus Widjojo menyampaikan, PPRA 62 dilangsungkan selama tujuh bulan sejak 26 Januari 2021 sampai 31 Agustus 2021. PPRA 2021 diikuti 80 peserta pejabat terpilih setingkat eselon 2 dan 3. Para peserta ini terdiri dari 49 orang dari TNI/Polri serta 31 orang dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, Kadin, DPD, partai politik, dan organisasi kemasyarakatan.
Adapun PPSA 23 berlangsung selama 5,5 bulan. Program ini dibuka pada 14 April 2021 dan akan ditutup pada 14 Agustus 2021.
PPSA 23 diikuti 60 peserta pejabat senior terpilih eselon 1 dan 2. Mereka terdiri dari 36 orang dari TNI/Polri serta 24 orang dari MPR, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, parpol, dan organisasi kemasyarakatan.
”Tahun ini tidak ada peserta dari negara sahabat,” ujar Agus.
Kegiatan PPRA 62 dan PPSA 23, antara lain, berupa pembelajaran jarak jauh (e-learning off campus), pembelajaran di kampus berupa ceramah, diskusi, dan studi kasus serta penyusunan makalah; dan studi lapangan.
Studi lapangan dilakukan untuk menggantikan studi kasus luar negeri. Selain itu, dilakukan juga studi strategis dalam negeri yang dilakukan dengan kunjungan ke daerah dan menerima ceramah para pejabat tinggi negara. Salah satunya adalah seminar bertema ”Tantangan Pemulihan Ekonomi Nasional di Tengah Penyelesaian Covid-19” dan ”Pandemi Covid-19 terhadap Sistem Pendidikan di Indonesia” yang disampaikan oleh Wapres Ma’ruf Amin.