Instruksi Presiden No 9/2020 Bakal Diadopsi dalam RUU Otsus Papua
Kesepakatan untuk mengadopsi Inpres No 9/2020 dalam RUU Otsus Papua muncul dalam rapat kerja Panitia Khusus Rancangan UU Otonomi Khusus Papua bersama pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/7/2021).
Oleh
IQBAL BASYARI/PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat akan diadopsi dalam Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Hal ini untuk menjamin keberlangsungan upaya-upaya pemerintah dalam mempercepat pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.
Kesepakatan untuk mengadopsi Inpres No 9/2020 tersebut muncul dalam rapat kerja Panitia Khusus Rancangan UU Otonomi Khusus Papua bersama pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/7/2021). Hadir mewakili pemerintah, antara lain, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, serta Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik.
Usulan untuk mengadopsi inpres tersebut datang dari Pansus RUU Otsus Papua. ”Adopsi inpres dalam RUU Otsus Papua agar menciptakan kepastian pelaksanaan Otsus Papua,” kata Ketua Panitia Khusus Otsus Papua Komarudin Watubun dalam rapat tersebut.
Sementara inpres yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 29 September 2020 itu berisi delapan poin tentang langkah-langkah terobosan, terpadu, tepat, fokus, serta sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mewujudkan masyarakat Papua dan Papua Barat yang maju, sejahtera, damai, dan bermartabat.
Inpres itu ditujukan kepada 40 kementerian/lembaga serta Gubernur Papua, Papua Barat, dan para bupati/wali kota di Papua dan Papua Barat. Mereka diminta mengambil langkah-langkah dan melakukan pengawalan yang bersifat terobosan, terpadu, tepat, fokus, dan sinergi secara terkoordinasi serta terintegerasi untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Dengan diadopsinya Inpres ke RUU Otsus Papua, kata Komarudin, maka keberlanjutan program tersebut bisa dijamin. Hal ini bisa mencegah potensi berhentinya program-program dalam inpres jika nantinya berganti Presiden.
”Adopsi iInpres untuk menjamin perjalanan Otsus Papua yang masih panjang karena jika berganti Presiden tidak ada jaminan keberlangsungan programnya,” ujarnya.
Anggota Pansus Otsus Papua dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, My Esti Wijayati, menilai, perlu dibentuk badan khusus percepatan pembangunan Papua untuk mengawal pelaksanaan otsus. Sebab, dari evaluasi, 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua tak menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan.
”Adopsi Inpres No 9/2020 tidak cukup efektif jika tidak ada pendampingan secara khusus dari badan khusus percepatan pembangunan Papua,” katanya.
Melalui badan tersebut, lanjut Esti, proses percepatan pembangunan di Papua sesuai amanat konstitusi diyakini bisa berjalan baik. Pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan diyakini bisa dinikmati orang asli Papua karena pengelolaan anggaran dana otsus sesuai sasaran. ”Ini bukti keseriusan bersama dalam mendukung keberhasilan Otsus Papua,” tuturnya.
Edward juga sepakat untuk mengadopsi materi Inpres No 9/2020 dalam RUU Otsus Papua. ”Materi inpres harus dimasukkan dalam RUU Otsus agar menjamin keberlangsungannya di kemudian hari,” ucapnya.
Namun, menurut Bahtiar, pembentukan badan baru berisiko menimbulkan persaingan dengan pemerintah daerah serta lembaga-lembaga negara yang sudah beroperasi di Papua dan Papua Barat. Oleh sebab itu, kedudukan dan kewenangan lembaga baru harus dirumuskan agar bisa beroperasi di lapangan.
Menurut dia, pembentukan badan tersebut sebaiknya tak bersifat independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan itu sebaiknya dimasukkan dalam struktur pemerintahan, seperti di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, karena lebih memungkinkan dan tidak rumit.
Penundaan sidang
Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat (MRP dan MRPB) kecewa dengan penundaan sidang sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua Tim Hukum dan Avokasi MRP dan MRPB Saor Siagian mengatakan, MRP dan MRPB telah mendaftarkan permohonan SKLN ke MK pada 17 Juni 2021.
”Permohonan SKLN ini berkaitan dengan adanya sengketa kewenangan lembaga negara atas usulan Perubahan Kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tanpa melibatkan sama sekali rakyat Provinsi Papua melalui MRP/MRPB dan DPRP/DPRPB (Dewan Perwakilan Rakyat Papua/DPR Papua Barat),” kata Saor.
Saor mengungkapkan, pada 29 Juni 2021, panitera Mahkamah Konstitusi dalam perkara SKLN ini telah mengirim relaas panggilan nomor 1.1/SKLN/PAN.MK/PS/6/2021 untuk menghadiri sidang pendahuluan secara daring, Senin (5/7/2021). Dalam relaas panggilan tersebut, MK mengingatkan penerapan protokol kesehatan Covid-19 sehingga para pihak menghadiri persidangan melalui daring tanpa harus datang ke MK.
Akan tetapi, pada 3 Juli 2021 MK mengirimkan surat Nomor 2.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021 perihal penundaan sidang. Saor mengatakan, pada surat penundaan sidang dalam permohonan ini, ditunda sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian. Sebab, adanya kebijakan MK terkait upaya pencegahan dan penanganan penyebaran Covid-19 di lingkungan Kantor MK.
Saor menuturkan, penundaan sidang pendahuluan atas SKLN ini berkaitan dengan tindak lanjut instruksi presiden (inpres) yang dituangkan melalui Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Pemberlakuan PPKM darurat untuk wilayah Jawa dan Bali berlangsung pada 3-20 Juli 2021.
”Namun, sangat disayangkan, penundaan persidangan dengan tanpa adanya kepastian waktu sidang dalam permohonan SKLN menciptakan ketidakpastian hukum bagi principal (MRP/MRPB) dalam memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” kata Saor.
Menurut Saor, penundaan sidang pendahuluan dalam surat MK tersebut, dengan frasa ”ditunda sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian”, memberikan makna, waktu persidangan menjadi tidak memiliki batasan waktu yang jelas dan sangat merugikan hak-hak konstitusional orang asli Papua melalui MRP/MRPB. Di lain pihak, panitia khusus DPR RUU Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus Papua tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19.
Juru bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan, sehubungan dengan pemberlakuan kebijakan PPKM darurat Jawa dan Bali, maka MK menunda seluruh persidangan yang sudah terjadwal sampai dengan 20 Juli 2021. Sidang akan dijadwalkan kembali setelah 20 Juli atau dengan melihat perkembangan terakhir dan pengumuman MK.
Ia menegaskan, kebijakan work from home (WFH) atau bekerja dari rumah diberlakukan penuh bagi semua pegawai MK. Seluruh kegiatan nonsidang dilayani secara daring. Pengajuan permohonan atau hal lain yang berkaitan dengan perkara dan layanan umum lainnya juga dilayani secara daring.