Awal Pengungkapan Buron Hendra Subrata dan ”PR” Selanjutnya
Dubes RI untuk Singapura Suryo Pratomo menceritakan awal pengungkapan buron Hendra Subrata hingga ia bisa dipulangkan ke Tanah Air. Seperti apa ceritanya dan apa ”PR” pemerintah serta aparat penegak hukum selanjutnya?
JAKARTA, KOMPAS — Berselang seminggu dari pemulangan buron Adelin Lis, Kejaksaan Agung memulangkan Hendra Subrata, terpidana percobaan pembunuhan yang telah menjadi buron selama 10 tahun. Tertangkapnya dua buron yang menggunakan modus serupa ini merupakan momentum untuk membongkar jejaring pembuatan dokumen palsu yang kerap membantu pelarian terpidana.
Jaksa Agung Muda Intelijen Sunarta, di Jakarta, Sabtu (26/6/2021), menjelaskan, Hendra Subrata alias Anyi, terpidana percobaan pembunuhan yang menjadi buron sejak 2011, dideportasi dari Singapura pada Sabtu malam. Ia diterbangkan ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia GA 837 pada pukul 17.45 WIB, lalu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 19.40.
Sejak ditangkap pada Februari 2021 karena memiliki paspor atas nama Endang Rifai, Hendra dinilai kooperatif. Ia mengikuti jadwal pemulangan yang ditetapkan Sabtu ini. Oleh karena itu, ICA tidak menugaskan aparat untuk mengantar ke Jakarta seperti saat pemulangan Adelin Lis, pekan lalu.
Sesampainya di Jakarta, Hendra dibawa ke Kejaksaan Agung dengan iring-iringan mobil pengamanan. Lelaki 81 tahun itu turun dari mobil tahanan untuk memasuki ruang konferensi pers dengan menggunakan kursi roda yang didorong petugas.
Baca juga: Buron Hendra Subrata Tiba di Tanah Air, Jaksa Langsung Eksekusi
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menambahkan, kesehatan Hendra telah diperiksa dan dinyatakan sehat. Ia pun sudah menjalani tes usap PCR dengan hasil negatif Covid-19.
Oleh karena itu, ia dianggap sudah bisa menjalani hukuman per hari ini meski harus menjalani karantina kesehatan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung sebelum dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan. ”Hari ini jaksa eksekutor sudah mulai melakukan pidana badan (untuk Hendra),” kata Leonard.
Pada 2010, Hendra dijatuhi hukuman penjara empat tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena terbukti mencoba membunuh rekan bisnisnya, Hermanto Wibowo. Namun, ketika hukuman akan dieksekusi pada 2011, ia dan istri melarikan diri ke Singapura.
Hendra ditemukan saat hendak memperpanjang paspor atas nama Endang Rifai di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura. Saat itu, petugas menemukan datanya identik dengan Hendra Subrata yang berstatus buron. Petugas kemudian juga memeriksa kartu tanda penduduk (KTP) atas nama Endang Rifai, di sana terdapat perbedaan dengan basis data atas nama Hendra, di antaranya nama, tempat dan tanggal lahir, serta agama.
Awal pengungkapan
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Singapura Suryo Pratomo mengatakan, kecurigaan bermula saat petugas Atase Imigrasi KBRI Singapura mewawancarai dan meneliti berkas Endang Rifai.
Saat itu, Hendra gelisah dan marah karena merasa proses wawancara terlalu lama. Ini berbeda dengan istrinya yang sebelumnya memperpanjang paspor, tetapi dengan waktu yang lebih cepat.
Hendra ingin cepat selesai karena harus menjaga istrinya di rumah sakit. Saat ditanya nama istrinya, ia pun menyebutkan nama Linawaty Widjaja. Setelah ditelusuri, nama itu ada dalam basis data, tetapi nama suami bukan Endang Rifai, melainkan Hendra Subrata.
Modus yang digunakan Hendra untuk melarikan diri dari hukuman serupa dengan Adelin Lis. Terpidana pembalakan liar yang menjadi buron selama 13 tahun itu juga ditangkap di Singapura karena diketahui memiliki paspor atas nama Hendro Leonardi. Ia sudah dideportasi dan dipulangkan ke Indonesia pada Sabtu (19/6/2021).
Dihubungi terpisah, Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Arya Pradhana Anggakara mengatakan, persoalan paspor asli tetapi palsu milik Adelin Lis dan Hendra Subrata masih didalami. Saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Polri untuk mengusutnya.
Senada, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, masih menelusuri dokumen kependudukan yang digunakan Hendra Subrata dan Adelin Lis untuk membuat paspor. ”Saya masih mendalami ke DKI,” kata Zudan.
Baca juga: Identitas Berbeda di Paspor Jadi Modus Buron Menghindari Hukuman
Manfaatkan celah
Atase Imigrasi KBRI di Singapura Suhendra mengatakan, Adelin memanfaatkan ruang pergantian sistem pembuatan paspor dari manual ke biometrik pada 2008. Pemerintah baru menerapkan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (Simkim) untuk pembuatan paspor menggunakan biometrik, yaitu foto wajah dan sidik jari pada Juli-Agustus 2008. Sebelum itu, sistemnya masih manual. Foto dan sidik jari yang diambil pun disimpan dalam arsip manual tanpa penelitian biometrik.
Adelin yang terlahir dengan nama China kemudian menggantinya dengan Adelin Lis. Baik di KTP, kartu keluarga (KK), maupun akta kelahiran. Ia menggunakan seluruh dokumen itu untuk membuat paspor di Kantor Imigrasi Polonia, Medan, Sumatera Utara, pada 2002. Namun, hingga 2007, ia tak pernah memperpanjang paspor.
Ia baru membuat paspor pada 2008, ketika keimigrasian sudah menggunakan Simkim. Saat itulah ia mencatatkan dirinya sebagai Hendro Leonardi. Ia pun memiliki satu set dokumen untuk membuktikan dirinya sebagai Hendro Leonardi, termasuk akta lahir dengan nama China dan surat ganti nama menjadi Hendro Leonardi. Ia juga mempunyai KTP dan KK atas nama tersebut yang kemudian digunakan untuk membuat paspor.
”Bagaimana dia mendapatkan KTP, KK, akta lahir, surat ganti nama, dan lainnya sebagai Hendro Leonardi, sekarang itu yang sedang dalami. Mungkin kita perlu kerja sama dengan Dukcapil dan sistem administrasi kependudukannya,” kata Suhendra.
Pada penggantian paspor berikutnya, kata Suhendra, verifikasi yang dilakukan terhadap data 2008 lebih mudah. Pemohon cukup membawa paspor lama dan KTP untuk mengganti paspor karena datanya sudah terekam di Simkim.
”Setelah penerapan Simkim, terhadap orang yang sudah diambil foto dan sidik jarinya, pasti terdeteksi dalam biometriknya jika melakukan perubahan data atau ada data yang sama dengan orang lain. Namun, untuk kasus paspor Hendro Leonardi yang datanya digunakan Adelin Lis ataupun Hendra Subrata yang menggunakan data Endang Rifai, paspor yang digunakan sebelum proses biometrik sehingga tidak terbaca,” ujarnya.
Ungkap jaringan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho mengatakan, terungkapnya pelarian Adelin Lis dan Hendra Subrata yang menggunakan modus serupa dan berasal dari negara pelarian yang sama merupakan momentum untuk membongkar jejaring pembuatan paspor palsu.
Penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, harus mampu mengungkap auktor intelektualis yang berperan, kapan dokumen digunakan, dan lembaga mana yang berwenang untuk menerbitkan paspor. ”Ini saatnya Bareskrim harus membuka jaringan paspor palsu. Apakah melibatkan pihak imigrasi atau instansi yang lain karena kejadiannya beruntun,” kata Hibnu.
Menurut dia, kejadian ini bukan hal sepele karena melibatkan beberapa institusi. Oleh karena itu, pengungkapannya harus dilakukan secara holistik agar aspek obyektivitas dalam penyelesaian perkara ini menjadi jelas. Bagian yang harus dievaluasi untuk memperbaiki sistem pengurusan paspor dan dokumen kependudukan pun bisa diketahui.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, menambahkan, penyidik harus mampu menggali keterangan dari Adelin dan Hendra untuk mengetahui mekanisme pembuatan dokumen asli tapi palsu yang mereka miliki. Tidak hanya paspor, tetapi juga dokumen kependudukan yang menjadi dasar pembuatannya.
Ia mengusulkan, penyidikan dilakukan oleh dua lapis penyidik profesional. Pertama, mereka yang berperan mengumpulkan bukti berupa dokumen dan kesaksian dari pihak lain. Kedua, penyidik yang menggali keterangan langsung dari para terpidana. Proses tersebut dinilai mampu mengungkap jaringan pembuatan paspor palsu dan auktor intelektualis yang membantu pelarian terpidana.
Baca juga: Polri: Adelin Lis Diduga Langgar Dua Pidana Terkait Pemalsuan Paspor
Trubus menduga, pelarian terpidana dengan pemalsuan sejumlah dokumen tidak hanya dilakukan dengan memanfaatkan celah yang ada di setiap instansi pemerintah. Ini juga mengindikasikan cara kerja mafia yang berjejaring dengan banyak pihak, baik di dalam maupun di luar instansi pemerintah. Dalam kerangka itu, diduga ada pihak yang berperan melindungi pelanggaran serta mengambil keuntungan dari para buron.
Oleh karena itu, pengusutan hendaknya bisa tuntas hingga menemukan auktor intelektualis yang berperan. Berkaca dari kasus pelarian Joko Tjandra, Trubus menilai penegak hukum sebatas menangkap pihak yang membantu Joko di lapangan.
”Kalau pengusutan berhenti pada auktor intelektualis di lapangan, berarti kita masih sangat jauh dari harapan untuk menjadi negara dengan good governance. Ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik di mana hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas,” kata Trubus.