Problem Politik dan Pemerintahan dalam Otsus Papua Masih Terabaikan
Di luar isu peningkatan dana otonomi khusus Papua, pemekaran wilayah, serta redefinisi kewilayahan Papua, persoalan politik dan pemerintahan juga tidak kalah penting untuk dibahas dalam revisi UU Otsus Papua.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di luar berbagai persoalan terkait isu kesejahteraan, seperti peningkatan dana otonomi khusus Papua dan pemekaran wilayah serta redefinisi kewilayahan Papua, persoalan politik dan pemerintahan juga tidak kalah penting untuk dibahas dalam revisi Undang-Undang Otsus Papua. Akan tetapi, isu politik dan pemerintahan itu cenderung masih terabaikan dan belum menjadi fokus usulan revisi perbaikan dari pemerintah.
Dalam draf usulan pemerintah, hanya ada tiga pasal yang menjadi fokus revisi UU Otsus Papua, yakni Pasal 1 (redefinisi wilayah Papua), Pasal 34 (penambahan dana otsus), dan Pasal 76 (pemekaran wilayah).
Dalam rapat kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU Otsus Papua dengan pemerintah, Kamis (24/6/2021), memang telah disepakati agar pembahasan revisi UU Otsus Papua tidak terkotak pada tiga isu saja.
Namun, belum ada kesepakatan resmi soal isu apa saja yang dapat dibahas dalam revisi itu. Sebab, sampai saat ini paparan pemerintah masih terbatas pada usulan tentang peningkatan dana, pemekaran wilayah, dan redefinisi wilayah Papua.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Papua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma mengatakan, sejak awal DPD menghendaki agar pembahasan RUU Otsus Papua itu lebih detail dan tidak hanya dibatasi pada tiga pasal saja.
”Kami menginginkan agar kekhususan Papua ini diperkuat sehingga ketika RUU ini menjadi UU yang sifatnya khusus atau lex specialis, semua UU sektoral yang ada di pusat menghormati UU ini. Belajar dari 20 tahun otsus Papua, surat menteri pun dapat mengesampingkan UU Otsus Papua, dan ini yang membuat otsus Papua kehilangan legitimasinya di mata rakyat Papua,” kata senator asal Papua Barat itu saat dihubungi, Jumat (25/6/2021), dari Jakarta.
Filep mengatakan, terkait dengan otsus Papua, DPD mendorong agar ada penguatan kewenangan pemerintah daerah dalam menjalani otsus. Kewenangan itu meliputi juga pengaturan investasi dan sumber daya alam (SDA). Selama ini, menurut Filep, Papua dan Papua Barat hanya mendapatkan bagi hasil dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Namun, kedua daerah itu tidak memiliki kewenangan khusus dalam pengelolaan SDA. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah pusat jika benar-benar ingin memberikan kekhususan pada Papua.
Substansi lain yang terkait dengan politik ialah pembentukan partai politik lokal. Pasal tentang parpol lokal dalam UU Otsus Papua itu perlu direvitalisasi dan dipertegas maknanya. Sebab, selama ini parlemen lokal di Papua dan Papua Barat didominasi oleh tokoh-tokoh politik dari parpol nasional yang kepentingannya terpusat pada kepentingaan nasional. Adapun perwakilan politik orang asli Papua (OAP) di parlemen lokal Papua atau DPRP sangatlah minim.
”Ke depan, kami mendorong agar ada parpol lokal Papua sehingga nantinya akan lebih banyak lagi tokoh politisi asli Papua yang terlibat dalam pengambilan kebijakan. Dengan makin banyaknya wakil dari orang asli Papua, kepentingan orang-orang Papua akan lebih terwakili daripada jika diwakili oleh orang-orang parpol yang orientasinya kepentingan pusat,” ucapnya.
DPD juga mendorong agar ada pembahasan mengenai badan khusus yang menangani penerapan otsus Papua. Badan khusus setingkat menteri ini nantinya diproyeksikan dapat bertanggung jawab kepada Presiden. Adanya badan khusus ini diharapkan bisa mengelola pembangunan dan mengoordinasikan kebijakan menyangkut Papua secara lebih efektif dan efisien.
”Jadi, nanti tidak perlu ada banyak desk khusus Papua di setiap kementerian, karena dengan adanya badan khusus ini, semua pengelolaannya terkoordinasi,” ujar Filep.
Soal usulan badan khusus ini, Ketua Pansus RUU Otsus Papua Komarudin Watubun juga sudah menyampaikan persetujuannya. Komarudin mengatakan, masukan DPD ini bagus dan dapat dipertimbangkan untuk dibahas dalam Pansus RUU Otsus Papua. ”Nantinya tidak ada lagi desk-desk, yang maaf saja, menurut saya hanya jadi pengumpul amplop coklat,” ujarnya.
Namun, ia mengatakan, bagaimana detail badan khusus itu dibentuk, hal itu akan dibicarakan lebih lanjut dengan pemerintah.
Dihubungi terpisah, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mardyanto Wahyu Triatmoko, mengatakan, dalam beberapa kali raker antara pemerintah dan DPR memang terlihat keengganan pemerintah dalam membahas isu-isu politik dan pemerintahan. Mereka lebih senang membahas isu kesejahteraan di Papua.
Dalam rapat dua pekan lalu, misalnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian secara eksplisit mengatakan tidak mau berlarut-larut membahas isu politik dan pemerintahan dalam revisi UU Otsus Papua. Alasannya, itu akan memakan waktu panjang, sementara saat ini fokus pemerintah ialah menuntaskan pembahasan RUU itu secepatnya.
November 2021 adalah jatuh tempo berakhirnya penyaluran dana otsus. Pada bulan itu diharapkan sudah ada regulasi baru yang meneruskan distribusi dana otsus itu ke Papua.
”Idealnya pemerintah tidak terjebak pada batasan waktu hingga November 2021. Sebab, masih ada isu-isu krusial lain yang seharusnya juga dibahas pemerintah dan DPR dalam perbaikan revisi UU Otsus Papua ini. Kalau masalah penyaluran dana, sebenarnya bisa diatasi dengan perppu atau mungkin kelanjutannya sementara diatur dengan perpres dan aturan lain,” kata Mardyanto.
Membatasi pembahasan mengenai revisi UU Otsus Papua hanya soal kesejahteraan serta mengesampingkan isu-isu terkait hak asasi manusia, politik, dan pemerintahan justru akan menimbulkan persoalan di belakang hari. Revisi UU Otsus Papua ini justru diharapkan dapat menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan persoalan Papua. Harapannya, status otsus ini pun dapat lebih diterima oleh masyarakat.
”Ini momentum dialog yang lebih luas dengan masyarakat Papua. Seharusnya melibatkan banyak kalangan, termasuk mereka yang ingin melepaskan diri, karena mereka juga butuh diyakinkan bahwa otsus ini jalan terbaik. Otsus menjawab persoalan-persoalan mendasar di Papua. Penting membahas persoalan ini dengan mereka. Jika tidak, resistensi akan tetap ada dan legitimasi otsus akan turun,” ucapnya.