Pasca-SKB, Penanganan Pasal Karet UU ITE Akan Utamakan Mediasi
SKB Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE menjadi buku saku aparat penegak hukum agar lebih selektif menangani perkara yang terkait pasal karet UU ITE.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Surat Keputusan Bersama Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diteken, pemerintah akan menyosialisasikan aturan itu kepada aparat penegak hukum. Aparat diharapkan lebih selektif menangani perkara yang terkait pasal karet UU ITE. Penyelesaian diutamakan dengan mediasi dan pemidanaan menjadi upaya terakhir (ultimum remidium).
Pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri supaya bisa berjalan dan memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat. (Mahfud MD)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kamis (24/6/2021), mengatakan, SKB akan menjadi buku panduan atau buku saku aparat penegak hukum. Oleh karena itu, pasca-SKB diteken oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kapolri, dan Jaksa Agung, aturan itu akan disosialisasikan secara masif dan berkesinambungan. Selama ini, aparat sering dianggap diskriminatif dalam menangani perkara pasal karet UU ITE. Bahkan, aparat juga dinilai melakukan upaya kriminalisasi terhadap pihak tertentu.
”Pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri supaya bisa berjalan dan memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat,” ujar Mahfud.
Baca juga: Pedoman Ditetapkan, Implementasi UU ITE Diharap Tak Multitafsir Lagi
Menkominfo Johnny G Plate mengatakan, dengan SKB tersebut penyelesaian masalah terkait UU ITE, terutama pasal-pasal karet, dapat dilakukan tanpa harus menempuh mekanisme peradilan. Pemidanaan seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan UU ITE.
Sementara pedoman kriteria implementasi itu berisi tentang penjelasan mengenai definisi, syarat, dan keterkaitan dengan peraturan perundangan lain. Pedoman juga dibuat pada pasal yang selama ini menjadi sorotan masyarakat. Di antaranya mencakup delapan substansi penting pada pasal-pasal UU ITE.
Tindak pidana konvensional
Pasal yang diatur dalam pedoman penerapan itu adalah yang mengatur soal tindak pidana konvensional. Di antaranya adalah pedoman Pasal 27 Ayat (1) tentang konten elektronik yang melanggar kesusilaan diberi penjelasan bahwa pasal itu fokus pada kegiatan pendistribusian, penyebaran, dan pengiriman konten kesusilaan secara aktif melalui kegiatan mengunggah atau mengirimkan konten kesusilaan, bukan pada tindakan asusilanya. Definisi kesusilaan disesuaikan dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan atau Pasal 281-282 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Lalu, Pasal 27 Ayat (2) mengenai konten perjudian diberi penjelasan bahwa titik berat dari pasal itu adalah pada kegiatan pendistribusian, penyebaran, dan pengiriman konten perjudian, baik berupa aplikasi, akun, iklan, situs, dan atau sistem billing operator bandar berbentuk video, gambar, suara, atau tulisan.
Untuk Pasal 27 Ayat (3), konten penghinaan dan pencemaran nama baik diberi penjelasan bahwa muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310-311 KUHP. Pasal 310 KUHP menyebutkan delik pidana menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu agar diketahui umum.
Baca juga: Rumusan Pasal Masih Multitafsir, Koalisi Serius Revisi UU ITE Serahkan Kertas Rekomendasi
Sedangkan dalam Pasal 311 KUHP mengatur tentang perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku. Dengan demikian, pelapor harus orang perseorangan yang jelas identitasnya, bukan institusi, korporasi, profesi, dan jabatan. Selain itu, pasal tersebut juga mempertegas bahwa pendistribusian, penyebaran, dan pengiriman konten kepada publik dilakukan dengan sengaja oleh pelaku.
Selanjutnya, pedoman Pasal 27 Ayat (4) tentang konten pemerasan dan atau pengancaman diberi penjelasan pada kegiatan pendistribusian, penyebaran, dan pengiriman konten ancaman yang meliputi ancaman pembukaan rahasia, penyebaran data, foto, dan atau video pribadi. Pemerasan dan pengancaman yang diatur di pasal ini adalah perbuatan pemaksaan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri, memberikan suatu barang, membuat utang, menghapus piutang, baik sebagian/keseluruhan kepunyaan orang yang diancam.
Pasal 28 Ayat (1) mengenai kabar bohong yang merugikan konsumen diberi penjelasan bahwa pasal itu bukan merupakan pemidanaan kabar bohong atau hoaks secara umum, melainkan dalam konteks perdagangan daring.
Pasal 28 Ayat (1) mengenai kabar bohong yang merugikan konsumen diberi penjelasan bahwa pasal itu bukan merupakan pemidanaan kabar bohong atau hoaks secara umum, melainkan dalam konteks perdagangan daring. Pelaksanaan pasal itu dilakukan sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan lain.
Untuk Pasal 28 Ayat (2) mengenai konten penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelaskan bahwa aparat penegak hukum harus dapat membuktikan bahwa pengiriman konten itu mengajak atau menghasut masyarakat untuk memusuhi individu atau kelompok dari SARA tertentu. Definisi antargolongan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017.
Baca juga: Pasal Multitafsir dalam Revisi UU ITE Perlu Diperjelas
Pasal 29 yang mengatur tentang konten menakut-nakuti dengan kekerasan menjelaskan bahwa pemidanaan dilakukan terhadap perbuatan pengiriman informasi berisi ancaman yang berpotensi diwujudkan dan menunjukkan niat untuk mencelakai korban dengan melakukan kekerasan secara fisik atau psikis. Pedoman juga menjelaskan bahwa penanganan pasal harus didukung saksi yang menunjukkan fakta bahwa korban mengalami ketakutan atau tekanan psikis.
Terakhir, pedoman Pasal 36 mengatur tentang pemberatan sanksi akibat kerugian yang ditimbulkan karena tindak pidana UU ITE. Dalam pasal ini, kerugian yang dimaksud adalah kerugian materiil dengan nilai yang harus dihitung dan ditentukan pada saat pelaporan. Nilai kerugian materiil merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan jumlah denda diatur di KUHP.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengapresiasi SKB Pedoman Kriteria Implementasi itu. Menurut dia, sejumlah ketentuan yang diatur berpeluang membantu perbaikan implementasi UU ITE di lapangan agar tidak lagi multitafsir.
Pembahasan revisi UU ITE
Dihubungi terpisah, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengapresiasi SKB Pedoman Kriteria Implementasi itu. Menurut dia, sejumlah ketentuan yang diatur berpeluang membantu perbaikan implementasi UU ITE di lapangan agar tidak lagi multitafsir. Misalnya, pedoman tentang pasal pencemaran nama baik yang dianggap dapat memperjelas perbuatan menyerang kehormatan.
Sebelum ada SKB, pasal ini dianggap mengkriminalisasi pendapat dan opini masyarakat yang kritis. SKB dianggap berhasil mengecualikan perbuatan sehingga tidak mudah diinterpretasikan sebagai perbuatan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Selain itu, pedoman pada Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (4), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 juga dinilai cukup baik meski ada catatan perbaikan dari ICJR. Misalnya, pedoman Pasal 29 tentang pengancaman di ruang siber (perundungan siber) dianggap masih bermasalah karena tidak memasukkan syarat pasal sebagai delik aduan. Pasal itu seharusnya merupakan delik aduan karena ditujukan pada pribadi.
Baca juga: Surat Keputusan Bersama Belum Cukup, Elsam: Rombak Total UU ITE
ICJR mendorong agar pasca-penandatanganan SKB itu, substansi revisi UU ITE bisa segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.
”Pedoman ini baik dalam konteks sembari menunggu revisi UU ITE di DPR seperti dijanjikan pemerintah. Namun, pedoman semacam ini bukanlah final karena untuk menjawab permasalahan norma di UU diperlukan revisi. Ini untuk menjamin berbagai persoalan yang tidak bisa disentuh oleh pedoman tersebut,” ujar Erasmus.