Koalisi Serius Revisi UU ITE menemui Menko Polhukam Mahfud MD. Selain berdiskusi mengenai revisi UU ITE, koalisi juga menyerahkan kertas rekomendasi kepada Mahfud.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih membuka ruang masukan publik sebelum revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibawa ke DPR. Koalisi Serius Revisi UU ITE menyoroti masih adanya potensi multitafsir pasal dalam rumusan revisi yang disusun pemerintah. Mereka meminta agar pasal tersebut dicabut atau dirumuskan ulang.
Pada Senin (14/6/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bertemu dengan Koalisi Serius Revisi UU ITE. Koalisi itu terdiri atas berbagai lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia. Selain berdiskusi mengenai revisi UU ITE, koalisi juga menyerahkan kertas rekomendasi kepada Menko Polhukam.
Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, Selasa (15/6/2021), mengatakan, koalisi menyoroti rumusan usulan revisi UU ITE yang berasal dari Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam. Menurut dia, sejumlah pasal yang diusulkan pemerintah masuk dalam revisi UU ITE itu masih berpotensi multitafsir.
Salah satunya adalah pasal baru, Pasal 45C, yang mengatur tindak pidana penyebarluasan informasi atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat. Dalam pasal itu juga diatur pidana bagi orang yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi yang berisi pemberitahuan tidak pasti atau informasi yang berkelebihan atau tidak lengkap yang dapat menimbulkan keonaran.
”Koalisi secara tegas mendesak agar pasal ini tidak dimasukkan ke dalam revisi UU ITE. Kami menilai Pasal 45C sangat rentan disalahgunakan karena definisi berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak didefinisikan secara jelas sehingga masih berpotensi multitafsir,” kata Erasmus.
Lebih lanjut, Erasmus mengatakan bahwa Pasal 45C sangat bertentangan dengan harapan publik mengenai penghapusan pasal-pasal bermasalah. Pantauan koalisi, selama ini kriminalisasi kasus disebabkan oleh pasal karet atau multitafsir di UU ITE. Oleh karena itu, koalisi mendesak agar pemerintah merevisi delapan pasal yang tercantum dalam kertas kebijakan revisi UU ITE yang diserahkan kepada pemerintah.
Dalam kertas kebijakan itu, koalisi, antara lain, menyoroti Pasal 26 Ayat (3) yang mengatur tentang kewajiban setiap penyelenggara sistem elektronik untuk menghapus informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak relevan berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam penerapannya pasal ini kerap disalahgunakan untuk melakukan sensor.
Pasal ini juga bisa bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi. Dalam konteks pemilu, misalnya, publik akan dirugikan apabila para calon yang dipilih menghapus informasi yang tidak diinginkannya di internet sehingga publik tidak bisa melakukan riset rekam jejak calon tersebut di internet.
”Untuk pasal ini, kami merekomendasikan dihapus dan pengaturannya dimasukkan dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. Jika tidak, pasal ini bisa dipertahankan dengan perbaikan pada bunyi tentang pengecualian pada produk pers dan perkara-perkara hukum berat (dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun) dan kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi,” kata Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum.
Pasal lain yang disoroti adalah Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) terkait pidana kesusilaan. Dalam pasal itu diatur mengenai tindakan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, dan atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan.
Pasal itu dianggap duplikasi dari Pasal 281-303 KUHP yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan dengan jenis perbuatan yang berbeda-beda. Ketentuan pidana yang diduplikasi adalah pidana kesusilaan di muka umum dalam Pasal 281-282 KUHP. Namun, Pasal 281-282 ini sangat bergantung pada lokus atau tempat terjadinya perbuatan, dihubungkan dengan nilai kesusilaan masing-masing tempat. Sementara internet bersifat luas tanpa batasan. Pasal ini dinilai rancu dan tidak jelas lokusnya.
Konsekuensi dari pasal rancu dan ketidakjelasan norma itu akan menimbulkan multitafsir antar-penegak hukum. Mereka bisa melakukan upaya kriminalisasi kepada korban dengan menerapkan unsur mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diakses tindak kesusilaan.
Pasal ini juga bisa mengancam hak korban kekerasan seksual yang dilakukan secara daring atau online. Kasus yang menjadi perhatian publik menyangkut pasal ini adalah kasus Baiq Nuril. Perempuan guru itu justru dihukum karena merekam percakapan mesum saat ia dilecehkan oleh kepala sekolah.
Rekomendasi dari koalisi, Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (1) dihapuskan. Jika tidak, pasal bisa dipertahankan dengan tambahan penjelasan unsur mendistribusikan karena ada kepentingan korban kekerasan yang perlu diperhatikan dalam kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO), seperti distribusi foto/video/dokumen pribadi yang bernuansa seksual.
Korban dapat melaporkan pelaku dengan menggunakan Pasal 27 Ayat (1) khususnya dengan unsur ”mendistribusikan”. Maka, Pasal 27 Ayat (1) cukup dihapuskan dengan unsur ”mentransmisi” dan ”dapat dibuat akses” dengan menambahkan tujuan diketahui umum atau dapat diketahui khalayak umum atau publik.
Selain itu, koalisi juga merekomendasikan revisi enam pasal karet lain di UU ITE, di antaranya Pasal 27 Ayat (3) tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, Pasal 28 Ayat (2) terkait kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, dan Pasal 29 juncto Pasal 45B tentang ancaman kekerasan.
Selain itu, Pasal 36 juncto Pasal 51 Ayat (2) yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang diatur di Pasal 27-Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, Pasal 40 Ayat (2a) dan (2b) terkait pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah untuk memutus akses internet, serta Pasal 43 Ayat (3) dan (6) terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
”Rekomendasi koalisi terhadap pasal-pasal itu ada yang dihapuskan, perubahan frasa, hingga pengaturan secara eksplisit dalam ketentuan UU ITE,” imbuh Nenden.
Masukan diterima
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, usulan rumusan revisi dari pemerintah kini sedang disinkronisasi atau harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Setelah itu, revisi UU ITE segera masuk proses legislasi di DPR dengan memasukkan ke perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Menurut Mahfud, masukan masyarakat sipil terhadap revisi UU ITE masih bisa diserap sebelum draf RUU itu disampaikan ke DPR.
”Sekarang ini tim kajian telah selesai melakukan tugasnya, tetapi masukan-masukan dari masyarakat masih terbuka dan bisa disampaikan ke DPR,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, dalam proses kajian UU ITE, pemerintah juga telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk dimintai masukan. Mereka yang diundang untuk memberikan masukan itu di antaranya adalah akademisi, praktisi hukum, lembaga swadaya masyarakat, korban UU ITE, pelapor, politisi, jurnalis dan asosiasi, termasuk Koalisi Serius Revisi UU ITE.
”Revisi terhadap empat pasal, yaitu Pasal 27, 28, 29, 36, dan penambahan satu pasal baru, yaitu 45C, bertujuan untuk menghilangkan pasal karet, multitafsir di lapangan, dan upaya kriminalisasi. Poin itu adalah hasil masukan dari kelompok masyarakat sipil selama proses kajian beberapa waktu lalu,” katanya.
Menurut Mahfud, secara jangka panjang, pemerintah saat ini juga sedang merancang omnibus law digital. Omnibus law itu diharapkan tidak hanya mengatur dan membatasi, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pengguna internet di tanah air.
Omnibus law digital itu, antara lain, akan mengatur perlindungan data konsumen, perlindungan data pribadi, transaksi elektronik dalam bentuk uang, hingga transaksi berita.