Hukuman Pinangki Dipangkas, Penuntut Umum Layak Ajukan Kasasi
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Pemotongan hukuman hingga 60 persen itu dinilai tidak adil sehingga jaksa penuntut umum layak mengajukan kasasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum dinilai sudah seharusnya mengajukan kasasi atas putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Pinangki Sirna Malasari. Kasus itu dinilai sangat serius karena dilakukan oleh penegak hukum, sementara hukuman justru dipotong menjadi dua per lima dari putusan di tingkat pertama.
Pinangki divonis pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan oleh majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Vonis tersebut lebih tinggi daripada tuntutan jaksa penuntut umum, yakni pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 500 juta.
Pinangki yang merasa tak puas dengan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim di tingkat banding mengabulkan permohonan banding dan memangkas hukuman Pinangki selama 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, Selasa (22/6/2021), berpandangan, pada prinsipnya putusan tersebut harus dihormati dan dianggap benar. Namun, pertimbangan majelis hakim di tingkat banding dinilai tidak tepat.
Majelis hakim tingkat banding menimbang bahwa pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Pinangki terlalu berat. Sementara terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya, serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Selain itu, majelis hakim juga menimbang bahwa Pinangki adalah seorang ibu dari seorang anak balita.
”Menurut saya, faktor yang memberatkan itu jauh lebih berat. Pertama, Pinangki adalah penegak hukum yang berpendidikan strata 3 sehingga sangat menginsyafi perbuatannya. Pinangki itu sadar jika perbuatannya memiliki konsekuensi hukum, yang salah satunya adalah kehilangan kesempatan mengasuh anak,” kata Zaenur.
Pertimbangan yang memberatkan berikutnya ialah kasus tersebut mengarah pada korupsi oleh penegak hukum yang mengarah kepada mafia hukum. Sebab, dalam perkara tersebut terjadi permufakatan jahat yang melibatkan penegak hukum untuk meloloskan buron negara kelas kakap, yakni Joko Soegiarto Tjandra.
Selain itu, lanjut Zaenur, Pinangki didakwa melakukan 3 perbuatan, yakni korupsi berupa suap, tindak pidana pencucian uang, dan permufakatan jahat. Hal-hal tersebut menunjukkan perbuatan yang jauh lebih serius dan berat dibandingkan dengan faktor yang meringankan yang menjadi pertimbangan majelis hakim di tingkat banding.
”Karena bermufakat jahat dengan penegak hukum lain untuk meloloskan buron, juga mencoreng institusi penegak hukum sehingga merusak kewibawaan kejaksaan di hadapan masyarakat, seharusnya Pinangki dihukum pidana maksimal sampai 20 tahun penjara, bukan malah dipotong,” ujar Zaenur.
Dengan pertimbangan tersebut, menurut Zaenur, tidak ada alasan bagi jaksa penuntut umum untuk tidak melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Terlebih, pemotongan vonis Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun berarti kurang dari dua pertiga putusan pengadilan tingkat pertama.
Di sisi lain, upaya kasasi oleh penuntut umum menjadi bukti keseriusan kejaksaan dalam menjerat pegawai kejaksaan yang tersangkut kejahatan. Selain itu, Komisi Yudisial diharapkan ikut mengawasi agar tidak ada unsur non-hukum yang dapat memengaruhi hakim serta menjamin proses penegakan hukum yang bebas dari pengaruh apa pun.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan, di dalam putusan banding tersebut tampak bahwa jaksa penuntut umum juga mengajukan memori banding yang berisi persetujuan terhadap pendapat dan vonis dari pengadilan tingkat pertama. Dengan dasar tersebut, jaksa penuntut umum wajib untuk mengajukan kasasi.
”Karena jaksa penuntut umum sudah setuju dan sependapat dengan vonis 10 tahun. Ketika vonis dikurangi hakim pengadilan tinggi, konsekuensi logisnya ialah harus melakukan kasasi untuk meminta hakim MA mengembalikan menjadi putusan 10 tahun penjara,” ujar Boyamin.
Jaksa penuntut umum, lanjut Boyamin, mestinya juga tidak setuju dengan pertimbangan hakim pengadilan tinggi yang meringankan Pinangki karena faktor perempuan yang mempunyai anak berusia di bawah 5 tahun. Sebab, sebagai perbandingan, Angelina Sondakh yang divonis 12 tahun penjara pada saat itu juga memiliki anak yang berusia balita.
Menurut Boyamin, jika jaksa penuntut umum tidak mengajukan kasasi, itu sama saja jaksa penuntut umum mengingkari memori banding yang telah dibuat yang menyatakan persetujuan dengan vonis hakim selama 10 tahun. ”Inilah yang sebenarnya menjadi kewajiban jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi,” ujar Boyamin.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso mengatakan, jaksa penuntut umum masih mempelajari putusan banding Pinangki Sirna Malasari. Sebab, putusan banding tersebut baru diterima jaksa penuntut umum pada hari Senin (21/6/2021).
”Dengan demikian, jaksa penuntut umum belum memutuskan sikap terkait upaya hukum kasasi,” kata Riono. (NAD)