Pasal Penghinaan Lembaga Negara Tak Mengekang Demokrasi
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani meyakinkan keberadaan pasal penghinaan lembaga negara di RKUHP tak akan mengekang hak berdemokrasi. Karena itu, ia meminta tak ada reaksi berlebihan terhadap keberadaan pasal itu.
Oleh
IQBAL BASYARI/RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menilai kekhawatiran sejumlah elemen masyarakat sipil terhadap sejumlah pasal di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP akan digunakan secara represif terlalu berlebihan. Lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat selama ini selalu menerima kritik dan tidak melaporkan ke kepolisian.
Di RKUHP setidaknya ada dua pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dalam Pasal 353 Ayat 1 RKUHP disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Kemudian di Pasal 2 berbunyi dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. Adapun Pasal 3 adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Sementara di Pasal 354 RKUHP berbunyi setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, di Jakarta, Rabu (16/6/2021) menilai, kekhawatiran sejumlah elemen masyarakat sipil bahwa pasal-pasal tersebut akan digunakan secara represif adalah hal yang berlebihan. Selama ini, kekhawatiran bahwa anggota DPR akan melaporkan penghinanya tidak terbukti.
”Setiap kami dikritik dan dimaki di media dan media sosial apakah ada yang melaporkan ke polisi? Tidak kan. Maka, hemat saya, janganlah terlalu berlebihan dalam mereaksi pasal-pasal seperti itu,” ujarnya.
Menurut dia, Pasal 253 dan 354 yang merupakan reformulasi dari Pasal 207 dan 208 di KUHP tentang kejahatan terhadap kekuasaan umum itu tidak pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, tidak ada ketentuan baru yang diciptakan dalam RKUHP untuk merepresi hak berdemokrasi.
Adapun terkait pasal penghinaan terhadap presiden, menurut anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, pasal itu telah dicabut oleh MK. Hal itu seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam perbaikan draf revisi UU KUHP.
”Selama ini kan penjelasannya karena pasal penghinaan presiden itu berbeda dengan yang dicabut oleh MK. Sebelumnya, yang dicabut oleh MK, pasal penghinaan itu merupakan delik umum, bukan delik aduan. Kalau sekarang yang diatur kembali itu delik aduan. Artinya presiden sendiri yang harus melapor atau mengadukan kepada polisi jika ia merasa dihina,” katanya.
Namun, menurut Taufik, persoalannya bukan terletak pada apakah pasal itu merupakan delik umum ataukah delik aduan, tetapi pada bagaimana hukum menempatkan warga negara saat berhadapan dengan penguasa. Sekalipun dianggap berbeda dengan pasal yang sebelumnya dicabut oleh MK, semangat yang diusung oleh pasal penghinaan presiden itu kurang lebih sama.
”Soal pasal penghinaan terhadap presiden itu memang harus dikaji mendalam, karena itu sudah pernah diputus oleh MK,” katanya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan, konsekuensi negara hukum yang demokratis seperti Indonesia, kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab menjadi salah satu hak yang harus dihormati dan dijamin sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Sebagai bagian penting partisipasi publik dalam ikut mengawal jalannya pemerintahan adalah ikut serta melakukan pengawasan termasuk memberikan masukan dan kritik yang konstruktif dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, lanjut Didik, tidak terhindarkan munculnya kritik terhadap setiap institusi dan pejabat penyelenggara negara termasuk presiden dan wakil rakyat.
”Menjadi hal yang lumrah dan biasa saja ketika rakyat terus bersuara dan mengkritik keras untuk perbaikan. Tidak perlu sensitif berlebihan, dengarkan saja dan lakukan perbaikan,” ungkapnya.
Dalam perspekstif konstitusionalitas, pasal penghinaan presiden dalam KUHP pun sudah dicabut oleh MK. Kalau ada putusan MK yang sudah dibatalkan, kemudian dibangkitkan lagi, menurut Didik, hal itu bisa menimbulkan krisis konstitusi.
”Dibatalkan, kemudian dimunculkan, lalu diuji kembali. Bisa jadi dibatalkan lagi. Potensi munculnya ketidakpastian hukum akan terus terjadi, padahal putusan MK bersifat final and binding,” ujarnya.
Lebih jauh dari itu, menurut Didik, pengaturan terkait dengan pidana penghinaan termasuk pencemaran nama baik, secara umum sudah juga diatur. Sebagai bagian dari warga negara, setiap pejabat negara mempunyai hak yang melekat pada dirinya seperti warga negara lainnya untuk menuntut setiap pelanggaran terhadap kehormatannya.