Di kalangan DPR, ada berbagai sikap mengenai RKUHP. Ada yang berharap draf RUU tak perlu dibahas ulang sejak awal karena pada periode sebelumnya telah dibahas. Ada pula yang ingin isu krusial dibahas parsial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diharapkan lebih inklusif dan menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi masyarakat. Ruang pembahasan isu krusial di RKUHP saat RUU ini masuk dalam perubahan Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 juga perlu dibuka lebar dengan tetap memperhatikan masukan masyarakat.
Dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pekan lalu, Menkumham Yasonna H Laoly mengatakan, sosialisasi ulang RKUHP sudah dilaksanakan di 11 kota besar di Tanah Air. Sosialisasi diikuti pemda, polda, akademisi, masyarakat adat, dan lembaga swadaya masyarakat. Anggota Komisi III juga dilibatkan dalam sosialisasi di empat kota, yaitu Ambon, Padang, Banjarmasin, dan Surabaya. Sosialisasi terakhir akan dilakukan di Jakarta, Senin (14/6/2021).
RKUHP merupakan rancangan undang-undang dengan mekanisme luncuran (carry over). Sebelumnya, DPR periode 2014-2019 batal mengesahkan RKUHP pada akhir masa jabatannya. Saat itu, penolakan dari publik meluas, terutama mengenai tujuh isu krusial, di antaranya pasal tindak pidana khusus, kesusilaan, penghinaan terhadap presiden, pidana mati, hukum yang hidup di masyarakat atau hukum adat, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Dalam perkembangannya, isu itu meluas menjadi 14 poin krusial.
Terkait RKUHP yang digunakan untuk sosialisasi di 11 kota, Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif, Minggu (13/6), membenarkan draf yang beredar adalah versi lama. Menurut dia, setelah 2019, ada penyempurnaan yang dilakukan pemerintah. Namun, perubahan itu belum dimasukkan ke RKUHP.
”Pemerintah tidak berani memasukkan perubahan atau rumusan perbaikan pasal di RKUHP karena belum jadi keputusan akhir. Jadi, dokumen yang disosialisasikan ke masyarakat masih versi 2019,” kata Tubagus Erif.
Dia mencontohkan, salah satu pasal yang disoroti masyarakat sipil adalah pasal penghinaan presiden. Menurut dia, dalam konsep yang ditawarkan pemerintah, sudah ada perbaikan pasal yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal penghinaan presiden ada penjelasan bahwa pasal itu delik aduan sehingga hanya presiden dan wapres yang dapat melaporkan tindak pidana itu. Selain itu, ada juga penjelasan bahwa penghinaan yang dimaksud bukanlah kritik terhadap pemerintah.
”Ancaman hukumannya juga di bawah lima tahun sehingga terlapor tak bisa ditahan saat penyidikan,” katanya.
Pembahasan
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, menurut rencana RKUHP akan dimasukkan ulang dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021 pada Juni. Mekanisme perubahan prolegnas prioritas akan dibahas DPR bersama Kemenkumham dan DPD.
”Bolanya masih ada di pemerintah, makanya saya mengajak masyarakat sipil untuk membuka ruang diskusi seluas-luasnya agar isu krusial RKUHP itu bisa direvisi. Jangan sampai sosialisasi hanya satu arah pemaparan dari pemerintah,” kata Taufik.
Taufik menambahkan, di kalangan DPR, ada berbagai sikap mengenai RKUHP. Ada yang berharap draf RUU tak perlu dibahas ulang sejak awal karena pada periode sebelumnya telah dibahas. Pendapat ini terutama muncul dari anggota DPR periode lalu yang terpilih lagi pada periode 2019-2024. Ada pula yang ingin isu krusial dibahas parsial.
Namun, anggota DPR baru yang sama sekali belum pernah mengikuti pembahasan RKUHP berharap RUU itu dibahas ulang sejak awal. ”Saya mendukung untuk membahas ulang secara parsial isu-isu yang mendapat perhatian masyarakat,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, Fraksi PPP ingin semua isu krusial RKUHP dibahas. Masukan dan aspirasi publik penting pada tahap ini. Namun, menurut dia, perubahannya tak perlu harus mengubah pasal. Perubahan bisa dilakukan dengan menambah penjelasan, reformulasi, hingga penormaan hukum.
Terkait draf RUU yang disosialisasikan masih versi lama, Arsul mengatakan, hal itu wajar karena RUU menggunakan mekanisme luncuran. Artinya, pembahasan antara DPR dan pemerintah pada periode sebelumnya belum disepakati. Masyarakat sipil, kata Arsul, tidak perlu khawatir mengenai hal itu.
Arsul juga menjamin, ketika RKUHP masuk Prolegnas Prioritas 2021, draf itu akan dibahas ulang bersama DPR sehingga publik dapat memberikan masukan sebanyak-banyaknya.