Pembahasan Mandek, Materi Krusial dalam RUU Perlindungan Data Pribadi Terbengkalai
DPR dan pemerintah belum juga melanjutkan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi. Padahal, regulasi itu mendesak disahkan untuk melindungi kedaulatan data pribadi rakyat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU/ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lambannya Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat dalam memutuskan perpanjangan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi mengakibatkan sejumlah materi krusial terbengkalai. Lebih dari separuh ketentuan dalam RUU itu belum disepakati oleh DPR dan pemerintah.
Anggota Panitia Kerja RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) Komisi I DPR, M Farhan, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (11/6/2021), mengatakan, sebagian besar materi RUU PDP belum dibahas. Dari sekitar 300 daftar inventarisasi masalah (DIM), baru 140 yang sudah tuntas.
”Jadi tersisa sekitar 200 DIM, termasuk menentukan apakah ada perlakuan berbeda untuk data elektronik dengan data non-elektronik,” katanya.
Politikus Partai Nasdem itu menjelaskan, dari segi substansi, pemerintah dan Komisi I baru menyepakati tentang definisi dan ruang lingkup data pribadi. Keduanya merupakan bagian terpenting yang harus disepakati sejak awal karena perlu ada kesamaan kedudukan semua pihak yang terlibat dalam kerangka perlindungan data pribadi.
Dalam RUU PDP usulan pemerintah, terdapat 72 pasal yang dikelompokkan dalam 15 bab. Selain definisi dan ruang lingkup, draf juga mencantumkan sejumlah materi krusial, seperti hak pemilik data pribadi, pemrosesan data pribadi, kewajiban pengendali dan prosesor, kewajiban pengendali data pribadi, serta kewajiban prosesor data pribadi. Selain itu, ketentuan peran pemerintah dan masyarakat dalam perlindungan data pribadi juga diusulkan dalam RUU PDP.
Salah satu materi krusial yang belum disepakati pemerintah dan DPR adalah mengenai otoritas perlindungan data pribadi. Pemerintah menginginkan otoritas perlindungan di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sementara DPR mengusulkan otoritas perlindungan diserahkan kepada lembaga independen. Titik temu belum didapat karena perpanjangan pembahasan belum juga diputuskan.
Menurut Farhan, semakin lama pembahasan lanjutan diputuskan, semakin lama pula isu- isu krusial terbengkalai. Padahal, RUU PDP sudah mendesak untuk disahkan. ”Kami sangat mengharapkan Bamus DPR memutuskan perpanjangan masa pembahasan,” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani, menambahkan, RUU PDP kini menjadi kebutuhan hukum yang dinantikan masyarakat. Semua poin dan isu yang ada di dalamnya penting dan akan diprioritaskan. Yang terpenting saat ini adalah persetujuan Bamus agar RUU bisa dibahas kembali.
Untuk diketahui, RUU PDP sudah dibahas DPR bersama pemerintah sejak September 2020. Namun, pembahasan tingkat pertama itu terhenti pada April 2021 karena DPR memasuki masa reses dan waktu pembahasan sudah habis. Komisi I sudah mengajukan usulan perpanjangan pembahasan, tetapi belum juga disetujui oleh Bamus.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, rapat Bamus untuk membahas kelanjutan RUU PDP akan digelar pekan depan. Dipastikan, Bamus akan memutuskan perpanjangan pembahasan RUU PDP. Bahkan, Bamus juga akan meminta Panja Komisi I menuntaskan pembahasan secepat mungkin.
Independen
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar berpendapat, otoritas perlindungan data pribadi harus dipastikan bersifat independen. Sebab, UU PDP akan berlaku mengikat tidak hanya bagi pihak swasta, tetapi juga pemerintah.
Ini karena kebocoran data pribadi penduduk tak hanya terjadi di perusahaan swasta, tetapi juga institusi pemerintah, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir. ”(Kenyataan) Ini yang mengharuskan otoritas ini berdiri independen sehingga dia bisa bekerja secara adil dan akuntabel ketika menegakkan hukum ke sektor swasta dan publik,” ujar Wahyudi.
Ia mengusulkan, pemerintah dan DPR juga membicarakan format kelembagaan secara mendalam. Sebab, selama ini, tidak ada standar khusus terkait lembaga negara independen.
Dalam pembahasan nanti, Wahyudi menambahkan, pemerintah dan DPR juga harus merumuskan sanksi yang paling untuk para pelanggar. RUU dinilai tidak perlu mengatur ketentuan pidana baru karena bisa mengacu ke Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Diperlukan juga penjelasan teknis terkait hak pemilik data dan mekanisme pemenuhan hak tersebut. Selain itu, isu kewajiban pengendali dan pemroses data mesti diperjelas sesuai dengan cakupan kerja dan skala institusi terkait karena setiap perusahaan atau instansi pemerintah dengan skala tertentu memiliki level sumber daya yang berbeda.
Kepentingan rakyat
Dihubungi secara terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, UU PDP sangat penting dan mendesak karena menyangkut kepentingan rakyat. Regulasi itu disusun untuk melindungi data rakyat, menjaga kedaulatan data penduduk, dan menjaga kedaulatan Indonesia atas data. ”Karena itu, saya berharap penyelesaian dan pengesahannya bisa dilakukan dengan cepat,” katanya.
Tujuan penyusunan UU PDP, kata Johnny, sudah sangat jelas, yakni memberikan perlindungan terhadap data pribadi masyarakat sekaligus mengatur sanksi bagi penyelenggara elektronik yang melakukan pelanggaran. Pemerintah tidak memiliki kepentingan lain dalam pengelolaan data pribadi.
”UU ini tak ada hubungannya dengan politik, dengan pemilu, pilkada, pilpres, karena data pemilih adanya di Dukcapil (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil) dan KPU (Komisi Pemilihan Umum),” tuturnya.
Menurut Johnny, pemerintah hanya mengurus tata kelola, bukan menguasai data penduduk. Selain itu, data yang dikelola Ditjen Dukcapil dan KPU pun telah menggunakan sistem keamanan dan enkripsi yang tinggi. ”Jadi, Kemenkominfo tak bisa melihat data masyarakat, yang punya adalah wali datanya,” katanya.
Kemenkominfo mengusulkan otoritas perlindungan data diserahkan kepada pemerintah hanya karena ingin melindungi kepentingan masyarakat dan negara. Kehadiran pemerintah penting sebagai pelaksanaan amanat konstitusi.