Pemerintah akhirnya memutuskan untuk merevisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik secara terbatas. Melalui revisi itu diharapkan tidak ada lagi pasal-pasal karet yang multitafsir.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keseriusan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE disambut baik oleh berbagai kalangan masyarakat. Dengan perombakan itu diharapkan tidak ada lagi pasal-pasal karet yang multitafsir yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerap merugikan masyarakat.
Sambutan positif salah satunya disampaikan Ketua Forum Keamanan Siber Indonesia (Indonesia Cyber Security Forum/ICSF) Ardi Sutedja, Rabu (9/6/2021) malam. ”ICSF menyambut baik adanya niat baik dari semua pihak dalam merevisi UU ITE, terutama Pasal 27, 28, 29, dan 36 ditambah Pasal 45C,” tuturnya.
Rencana perombakan UU ITE ini awalnya disampaikan Presiden Joko Widodo pada pertengahan Februari lalu. Presiden menegaskan, penerapan UU ITE harus memberikan keadilan bagi masyarakat. Jika prinsip keadilan itu tak terpenuhi, pemerintah akan meminta DPR bersama-sama merevisi UU ITE.
Pemerintah kemudian membentuk tim untuk menyusun draf revisi UU ITE untuk mengkaji pasal-pasal yang layak diubah karena berpotensi multitafsir. Hingga Selasa (8/6/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan keputusan pemerintah untuk mengusulkan revisi UU ITE.
Setidaknya ada empat pasal yang diusulkan untuk diubah, yakni Pasal 27, 28, 29, dan 36. Keempat pasal itu di antaranya mengatur larangan menyebarkan muatan yang mengarah pada penghinaan dan pencemaran nama baik, pemerasan, informasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang berpotensi menyulut kebencian, dan lainnya.
Rencana revisi UU ITE itu pun disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021). Yasonna menyebut pembahasan revisi UU ITE menjadi salah satu prioritas pemerintah tahun 2021, selain Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Ardi mengatakan, UU ITE sudah waktunya diperbaiki, disesuaikan dengan perkembangan terkini di masyarakat. Keempat pasal yang akan diubah pemerintah itu merupakan ketentuan yang selama ini menjadi masalah bagi masyarakat. Dengan perombakan itu diharapkan tidak ada lagi pasal karet yang multitafsir.
Penyempurnaan
Dihubungi secara terpisah, Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia (CISSRec) Pratama Persadha mengatakan, empat pasal yang direvisi tersebut sudah cukup untuk menghilangkan salah tafsir dalam UU ITE. Namun, jika Pasal 26 juga direvisi, akan lebih bagus lagi karena bisa melindungi pers.
Keempat pasal yang akan diubah pemerintah, kataPratama, merupakan pasal karet yang sering menjadi polemik di publik. ”Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 adalah pasal paling sering mendapat sorotan, tetapi ayat lain juga perlu mendapatkan penyempurnaan,” tuturnya.
Pasal 27 Ayat 1 tentang distribusi data yang mengandung konten kesusilaan, misalnya, bisa diperjelas dengan menambahkan kalimat memiliki muatan asusila dan/atau pornografi. Kemudian Pasal 27 Ayat 2 tentang konten perjudian juga perlu diperjelas, terutama terkait definisi.
Pratama memprediksikan, perdebatan panjang akan terjadi saat membahas Pasal 27 Ayat 3 UU ITE karena dianggap paling multitafsir. ”Frasa pencemaran nama baik harus merujuk pada Pasal 310 dan 311 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), artinya bisa diperjelas dengan kalimat seperti tindakan merusak nama baik yang nyata,” katanya.
Selain itu, kata Pratama, pasal lain yang ditengarai akan ramai dibahas adalah Pasal 28 Ayat 2 yang mengatur penyebaran kebencian atau hate speech. Ketentuan dalam pasal itu harus diperjelas karena selama ini kerap menimbulkan polemik, bahkan kekerasan di masyarakat.
Pratama juga menyampaikan, khusus untuk Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 paling tidak ada empat opsi yang bisa diambil. Opsi pertama, pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian dalam UU ITE tetap dipertahankan dengan memperbaiki implementasi penegakan hukum. Selain itu, juga menyamakan persepsi para penegak hukum dan praktisi hukum agar tidak lagi ditafsirkan beragam.
Opsi kedua, pasal pencemaran nama baik direvisi dengan menyesuaikan norma dalam KUHP (Pasal 310/311), sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Demikian juga pasal ujaran kebencian, dapat dirombak dengan penjelasan makna SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Opsi ketiga, pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian UU ITE direvisi sebagaimana opsi kedua. Namun, untuk pasal pencemaran nama baik, hukuman pidana penjara diubah menjadi hukuman pidana ganti kerugian terhadap korban, denda, atau kurungan pengganti denda/ganti rugi.
Opsi keempat, pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian UU ITE dihapuskan dan mengembalikan/memindahkannya dalam rumusan rancangan KUHP yang saat ini dibahas di DPR.
Selain itu, Pratama juga berpandangan, penting pula mengubah ketentuan dalam Pasal 26 Ayat (3) karena dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers. Pasal itu memang mengatur ketentuan pemaksaan kepada pers dan media untuk menghapus berita.