Rekonstruksi Menyeluruh UU ITE
Keputusan pemerintah untuk merevisi secara terbatas UU ITE dinilai belum cukup. Revisi diharapkan sekaligus jadi momentum untuk merekonstruksi UU ITE secara menyeluruh.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah resmi memutuskan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Revisi terbatas pada empat pasal plus akan ada penambahan satu pasal baru, dengan harapan, ke depan, tidak ada lagi multitafsir atas penerapan pasal-pasal di UU ITE.
Namun, langkah pemerintah itu dinilai belum cukup. Selain masih adanya pasal bermasalah lainnya di UU ITE, revisi diharapkan menjadi momentum untuk merekonstruksi UU ITE secara menyeluruh.
Keputusan merevisi tersebut diambil setelah Presiden Joko Widodo menerima laporan rekomendasi dari Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dibentuk Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Selasa (8/6/2021).
”Kami baru saja laporkan hasil rekomendasi dari Tim Kajian UU ITE ke Presiden, dan sudah disetujui untuk dilanjutkan,” ujar Menko Polhukam Mahfud MD kepada wartawan.
Baca juga: Pemerintah Putuskan Revisi Terbatas UU ITE
Keempat pasal yang akan direvisi: Pasal 27, 28, 29, dan 36. Pasal 27 mengatur tentang pelanggaran kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, serta pemerasan dan atau pengancaman. Pasal 28 mengatur tentang penyebaran berita bohong serta ujaran kebencian dan permusuhan. Pasal 29 mengatur tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti. Adapun, Pasal 36 mengatur perbuatan melawan hukum pada Pasal 27-34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Namun, Mahfud tak menjelaskan secara rinci bunyi dari revisi keempat pasal tersebut. Ia hanya mencontohkan, revisi mengenai aturan ujaran kebencian akan menerangkan lebih detail maksud dari ujaran kebencian. Kemudian, pasal yang mengatur tentang distribusi konten merugikan akan ditambah penjelasan bahwa distribusi konten tersebut dengan maksud diketahui oleh masyarakat umum. Jika tidak, tak bisa disebut sebagai pencemaran nama baik atau fitnah.
”Seperti kasus Baiq Nuril (tahun 2012) itu, kan, tidak ditujukan untuk umum, hanya melalui pesan jalur pribadi, tetapi bisa dihukum. Itu tidak ada lagi nanti. Misalnya, saya melapor diperlakukan kurang baik di rumah sakit, kalau melalui jalur pribadi ke anak, tidak bisa dihukum,” tambahnya.
Selain merevisi keempat pasal tersebut, pemerintah akan menambahkan satu pasal, yakni Pasal 45C. Pasal ini akan mengatur penjelasan mengenai tindak pidana yang diatur di luar ketentuan UU ITE. ”Misalnya, pemberitaan bohong yang berhubungan dengan konsumen, itu berbeda dengan pemberitaan bohong lainnya yang menimbulkan keonaran. Itu coba dikonstruksikan dalam Pasal 45C,” ujarnya.
Baca juga: Pelajaran dari Perjuangan Panjang Baiq Nuril
Masih relevan
Mahfud menekankan, melalui revisi, pasal akan direformulasi agar tidak multitafsir penerapannya di lapangan. Dengan demikian, tak ada lagi kesan penanganan pelanggaran UU ITE yang diskriminatif ataupun penyalahgunaan pasal di UU ITE. Adapun mengenai pasal lain di UU ITE ataupun keberadaan UU ITE itu sendiri akan tetap dipertahankan. Pasalnya, UU ITE dinilai masih relevan dan penting untuk mengatur lalu lintas komunikasi melalui dunia digital.
Setelah pemerintah memutuskan merevisi UU ITE, selanjutnya pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan memasukkan revisi UU ITE itu ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 agar revisi bisa dibahas bersama DPR.
”Ini akan dimasukkan dalam proses legislasi di DPR melalui Kementerian Hukum dan HAM. Kemenkumham juga akan melakukan sinkronisasi revisi pasal-pasal karet tersebut,” kata Mahfud.
Pasal bermasalah lain
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum menilai pasal-pasal yang akan direvisi tersebut memang pasal-pasal yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi. Namun, sebenarnya, berdasarkan hasil kajian Safenet, masih ada setidaknya empat pasal lain yang bermasalah.
Keempat pasal dimaksud, Pasal 26 Ayat 3 tentang penghapusan informasi tidak relevan, Pasal 40 Ayat 2(a) tentang muatan yang dilarang, Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang pemutusan akses internet, dan Pasal 45 Ayat 3 tentang ancaman penjara tindakan defamasi.
Pasal 26 Ayat 3 dinilai membuka peluang bagi siapa pun untuk mengajukan penghapusan informasi negatif tentang dirinya, termasuk informasi yang diproduksi media pers. Pasal 40 Ayat 2(a) membuka peluang kesewenang-wenangan dan konflik kepentingan karena kewenangan pemerintah mendefinisikan informasi yang dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, tanpa ada mekanisme kontrol dari lembaga lain.
Kemudian Pasal 40 Ayat 2 (b) yang lebih mengutamakan peran pemerintah daripada putusan pengadilan dalam memutus akses internet. Adapun Pasal 45 Ayat 3 dinilai bermasalah karena membolehkan penahanan saat penyidikan.
”Jadi, kalau masih meninggalkan pasal bermasalah, kemungkinan penyalahgunaan masih terbuka,” kata Nenden.
Ia berharap, revisi UU ITE digunakan sebagai momentum untuk merekonstruksi UU ITE secara menyeluruh dan lebih substantif. Misalnya, dengan mengecek ulang pasal-pasal bermasalah dengan teori penormaan yang menjadi dasar aturan yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi atau hak asasi manusia.
”Ini dengan memastikan lagi sudah tidak ada konten yang multitafsir yang bisa disalahgunakan, melihat apakah pasal tersebut betul-betul dibutuhkan atau tidak, karena banyak pasal yang sebenarnya sudah ada di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),” ujarnya.
Selain itu, proses revisi diharapkan melibatkan masyarakat. ”Masukan demi perbaikan yang lebih komprehensif harus didengar,” katanya lagi.
Sebagai tahap awal, Kepala Departemen Hukum Telekomunikasi, Informasi, Komunikasi, dan Kekayaan Intelektual Universitas Padjadjaran Sinta Dewi Rosadi meminta pemerintah membuka rancangan naskah akademis revisi terbatas UU ITE ke publik. Dengan demikian, publik bisa menilai sejauh mana revisi itu bisa mencegah problem multitafsir dan kriminalisasi terulang.
Ia mengingatkan, pada 2016, revisi UU ITE secara terbatas pernah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah kriminalisasi dan multitafsir. Namun, setelah revisi, problem yang sama terulang.
Buka masukan publik
Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Meutya Hafidz mengatakan, pihaknya menunggu draf revisi UU ITE dari pemerintah. Ia berjanji, jika kelak revisi UU ITE tersebut disetujui untuk dibahas dengan DPR, ruang partisipasi publik untuk memberi masukan akan dibuka selebar-lebarnya.
”Dan, jika memang pembahasan revisi terbatas disepakati, pembahasan diharapkan tidak berlangsung lama karena hanya akan memfokuskan pada pasal-pasal tertentu,” ujarnya.
Baca juga: Revisi UU ITE Didukung Masyarakat
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya menambahkan, sekalipun Prolegnas 2021 telah disahkan beberapa bulan lalu, dimungkinkan adanya evaluasi atas prolegnas tahunan tersebut di pertengahan tahun. Saat proses evaluasi ini, revisi UU ITE bisa diusulkan oleh pemerintah untuk dimasukkan dalam Prolegnas 2021.
”Kami tentu menyambut baik inisiatif itu karena sesuai dengan keinginan publik. Kita akan menunggu konfirmasi dari Menteri Hukum dan HAM dalam hal ini sebagai perwakilan pemerintah, dan secara jadwal, akan diagendakan pada masa persidangan DPR berikutnya,” ujarnya.