Revisi terbatas pada empat pasal, plus penambahan satu pasal penjelasan. Revisi diyakini mampu mengatasi masalah multitafsir dan kriminalisasi yang selama ini muncul dalam penerapan UU ITE.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Pemerintah resmi memutuskan untuk merevisi terbatas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Revisi diyakini mampu mengatasi masalah multitafsir dan kriminalisasi yang selama ini muncul dalam penerapan UU ITE.
Keputusan itu diambil Presiden Joko Widodo setelah menerima laporan rekomendasi dari Tim Kajian UU ITE yang dibentuk Kementerian Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Selasa (8/6/2021). Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD untuk menyampaikan sikap resmi pemerintah itu.
Sebelumnya, dalam rapat kerja nasional TNI Polri, Februari lalu, Jokowi memberikan arahan agar dilakukan kajian terhadap UU ITE. Kajian meliputi substansi dan kriteria implementasi pasal agar tidak multitafsir di lapangan.
”Kami baru saja laporkan hasil rekomendasi dari tim kajian UU ITE ke Presiden dan sudah disetujui untuk dilanjutkan,” ujar Mahfud kepada wartawan, Selasa.
Mahfud mengatakan, Presiden setuju dilakukan revisi terbatas terhadap empat pasal UU ITE, yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36.
Pasal 27 UU ITE mengatur tentang pelanggaran kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, serta pemerasan dan atau pengancaman. Pasal 28 mengatur tentang penyebaran berita bohong, dan ujaran kebencian dan permusuhan. Pasal 29 mengatur tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti. Adapun Pasal 36 mengatur tentang perbuatan melawan hukum pada Pasal 27-34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Menurut Mahfud, revisi hanya dilakukan secara terbatas tanpa mencabut pasal lama. Sebab, UU ITE dinilai pemerintah masih relevan dan penting untuk mengatur lalu lintas komunikasi melalui dunia digital.
Revisi untuk memberikan penjelasan substansi pasal atau menambah kalimat untuk memperjelas istilah yang ada di UU tersebut. Revisi mengenai aturan ujaran kebencian, misalnya, dibuat dengan mendetailkan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian itu. Demikian juga untuk pasal yang mengatur tentang distribusi konten merugikan, ditambah penjelasan mengenai distribusi dengan maksud diketahui umum. Jika konten disebarkan secara pribadi, tidak bisa disebut sebagai konten pencemaran nama baik atau fitnah.
”Seperti kasus Baiq Nuril itu, kan, tidak ditujukan untuk umum, hanya melalui pesan jalur pribadi, tetapi bisa dihukum. Itu tidak ada lagi nanti. Misalnya saya melapor diperlakukan kurang baik di rumah sakit, kalau melalui jalur pribadi ke anak, tidak bisa dihukum,” tutur Mahfud.
Selain itu, pemerintah juga akan menambah pasal penjelasan untuk delik pidana ujaran kebencian, kebohongan, perjudian secara daring, kesusilaan seperti prostitusi daring, fitnah, pencemaran nama baik, dan penghinaan.
Dalam revisi, pasal akan direformulasi agar tidak multitafsir penerapannya di lapangan. Dengan demikian, tidak ada lagi kesan penanganan diskriminatif dengan UU ITE. Selain penambahan penjelasan di empat pasal yang dimaksud, pemerintah juga akan menambah satu penjelasan pasal khusus di Pasal 45 C.
”Ini akan dimasukkan dalam proses legislasi di DPR melalui Kemenkumham (Kementerian Hukum dan HAM). Kemenkumham juga akan melakukan sinkronisasi revisi pasal-pasal karet tersebut,” kata Mahfud.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum saat dimintai pendapat soal sikap pemerintah mengatakan, pasal-pasal yang akan direvisi itu memang pasal-pasal yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi. Namun, sebenarnya masih ada pasal lain yang bermasalah. Dari hasil kajian Safenet, setidaknya ada sembilan pasal bermasalah di UU ITE.
”Jadi, kalau masih meninggalkan pasal-pasal bermasalah, kemungkinan penyalahgunaan UU ITE masih terbuka,” kata Nenden.
Nenden berharap, revisi UU ITE digunakan sebagai momentum untuk merekonstruksi UU ITE secara menyeluruh dan lebih substantif. Misalnya, dengan mengecek ulang pasal-pasal bermasalah dengan teori penormaan yang menjadi dasar aturan yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi atau HAM. Pemerintah juga perlu memastikan tidak ada konten multitafsir yang bisa disalahgunakan. Pasal-pasal tersebut benar-benar masih relevan dibutuhkan atau tidak, karena sebenarnya sudah diatur di KUHP.
”Proses revisi ini diharapkan melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasannya, masukan demi perbaikan yang lebih komprehensif harus didengar,” kata Nenden.
Kepala Departemen Hukum Telekomunikasi, Informasi, Komunikasi, dan Kekayaan Intelektual Universitas Padjadjaran Sinta Dewi Rosadi mengatakan, pemerintah harus membuka rancangan naskah akademis revisi terbatas UU tersebut. Ini agar masyarakat sipil dan akademisi bisa memberikan masukan.
Ia mengingatkan, pada 2016, revisi UU ITE secara terbatas juga pernah dilakukan oleh pemerintah, tetapi masih muncul persoalan yang sama.
”Ini harus dilihat secara komprehensif risiko dan keuntungan seperti apa. Dulu, kan, pernah direvisi secara terbatas juga pasal-pasal karet yang itu. Pemerintah harus membuka alasan yuridis, filosofis, dan sosiologis alasan merevisi terbatas UU ITE tersebut,” kata Sinta.
Mahfud MD juga menyebut bahwa secara jangka panjang, pemerintah akan menyiapkan aturan komprehensif yang akan mengatur dan memberikan perlindungan keamanan digital.
Menurut Mahfud, saat ini pemerintah sedang membahas secara intensif RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Keamanan Siber, RUU Perlindungan Data Konsumen, dan sebagainya. Untuk mengatur permasalahan itu secara komprehensif, pemerintah akan membuat semacam omnibus law di bidang elektronik agar Indonesia memiliki kekuatan pertahanan dunia digital.
”Ini strategi jangka panjangnya, aturan-aturan dalam sejumlah sektor digital itu akan diintegrasikan dalam sebuah aturan. Sembari menunggu diundangkan Rancangan KUHP yang baru karena di situ induknya. Nanti baru dibuat aturan lain yang lebih teknis,” kata Mahfud.