Darurat Standar Profesi Advokat
Banyaknya organisasi yang diberi kewenangan mengelola advokat membuat standar uji kompetensi advokat jadi tak sama. Pengawasan terhadap perilaku advokat juga diserahkan ke tiap organisasi. Masyarakat bisa jadi korban.
Seorang sarjana hukum yang selama beberapa tahun memilih bekerja mengaku ditawari langsung disumpah jadi advokat dengan membayar. Ia tak harus mengikuti pendidikan khusus profesi advokat atau masa magang dua tahun di kantor advokat sebelum diusulkan ke pengadilan tinggi untuk disumpah menjadi advokat dan memperoleh kartu tanda advokat.
”Ini bukan gosip. Ada teman saya bikin organisasi advokat, terus nawarin saya bayar Rp 6 juta-Rp 7 juta, langsung disumpah jadi advokat,” ujarnya melalui pesan singkat sembari menekankan peristiwa itu sungguh terjadi.
Saat ini, calon advokat memiliki banyak pilihan untuk memperoleh kartu advokat. Hampir semua organisasi advokat dapat menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), mengusulkan penyumpahan advokat, dan mengeluarkan kartu tanda advokat (KTA). Ini sesuai Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/2015 yang mengamanatkan agar pengadilan tinggi menyumpah calon advokat yang diusulkan oleh seluruh organisasi advokat yang terdaftar.
Mengenai berapa banyak organisasi advokat, jumlahnya tidak diketahui pasti. Ketua Peradi Rumah Bersama Advokat Luhut MP Pangaribuan menyebut ada sekitar 60 organisasi advokat. Sementara itu, ada sekitar 13.000 sarjana hukum di Indonesia yang lulus tiap tahun. Profesi advokat masih jadi salah satu favorit lulusan fakultas hukum itu. Artinya, ada ribuan orang yang akan mengikuti PKPA untuk dapat mendapat lisensi advokat.
Dunia advokat menjadi semacam pasar bebas di mana banyak organisasi yang dapat mengeluarkan kartu anggota. Hal ini jadi ladang bisnis yang sangat menjanjikan, misalnya satu calon advokat membayar Rp 8 juta untuk ikut PKPA atau bahkan Rp 15 juta untuk kelas akhir pekan. Juga ada biaya penyumpahan dan pengeluaran kartu. Bisa dibayangkan jumlah uang yang berputar jika ribuan orang mengikutinya tiap tahun.
Pertanyaan yang lebih jauh, bagaimana pengawasan para advokat ini. Sebab, pengawasan terhadap advokat murni dilakukan organisasi advokat itu sendiri. Dalam beberapa perkara dugaan korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, sejumlah advokat ikut terlibat. Meski jumlahnya kecil, hal itu menggambarkan adanya advokat yang melakukan pembelaan dengan melanggar norma-norma etika.
Baca juga : Siasat Para Advokat Hadapi Badai Pandemi
Bagaimana dengan pencari keadilan jika mendapatkan perlakuan tidak etis, seperti ditinggal di tengah jalan (ketika proses perkara masih berlangsung) atau fee tidak sesuai kesepakatan awal.
Organisasi advokatlah yang berperan menertibkan. Jikapun sudah ditertibkan, dipecat dari salah satu organisasi, oknum advokat itu masih bisa loncat ke organisasi lain mengingat jumlah organisasi advokat begitu banyak.
Sulit tentukan jumlah
Berapa jumlah total advokat di seluruh Indonesia? Sulit menjawabnya. Sebab, data itu dimiliki setiap organisasi. UU Advokat mengamanatkan adanya wadah tunggal atau single bar. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Peradi, yang merupakan gabungan delapan organisasi advokat pada awal tahun 2000-an.
Namun, Peradi kemudian pecah menjadi tiga pada 2015. Sebelumnya, sekelompok advokat senior sudah memisahkan diri dari Peradi dengan membentuk Kongres Advokat Indonesia (KAI), yang kemudian kini pecah menjadi tiga organisasi. Di luar itu, delapan organisasi sebelum Peradi sudah hidup kembali. Di sejumlah daerah pun menjamur berbagai organisasi advokat skala kecil.
”Kita tidak tahu (berapa jumlah organisasi advokat). Sebab, di daerah, pertumbuhan organisasi advokat yang mengajukan (penyumpahan advokat baru) ke pengadilan tinggi. Di Jawa Timur saja, ada delapan organisasi,” ujar Erwin Natosmal Oemar, Ketua Bidang Humas DPP Ikadin. Ikadin pada 2019 memiliki sekitar 3.000 advokat.
Sementara Ketua Dewan Pimpinan Nasional Peradi Otto Hasibuan mengungkapkan, hingga 2021, jumlah calon advokat yang sudah mengikuti PKPA hampir 90.000 orang. Adapun yang sudah diangkat menjadi advokat sekitar 60.000 orang. Dari jumlah itu, 54.000 orang resmi memegang KTA.
Baca juga : Advokat Diharapkan Bersuara Kritis
Dari jumlah advokat yang terdata di Peradi, Otto mengungkapkan, 80 persen berada di Pulau Jawa. Dari jumlah itu, separuhnya ada di Jakarta. ”Di Jakarta Selatan itu kami tahu jumlahnya hampir 5.000 advokat,” katanya.
Di luar itu, masih banyak organisasi advokat lainnya. ”Kalau dulu, untuk bisa disumpah di pengadilan tinggi itu harus diusulkan atau memiliki KTA dari Peradi. Sekarang tidak, tidak diusulkan Peradi pun bisa disumpah di pengadilan tinggi,” ujar Otto.
Dengan banyaknya organisasi yang diberi kewenangan mengelola advokat, standar uji kompetensi advokat tidak sama. Misalnya, untuk bisa lulus dan mendapatkan KTA Peradi, advokat harus lolos tujuh tahap tes. Namun, di organisasi lain, hanya tiga tahapan saja. Bahkan, ada yang tidak membuat tes, tetapi langsung membuat surat pengantar sumpah ke pengadilan. Akibatnya, kualitas advokat secara mental, moral, dan ilmu juga kurang teruji. Hal ini tentu saja akan merugikan masyarakat sebagai pencari keadilan.
Erwin menyoroti adanya pergeseran alasan terkait berdirinya organisasi-organisasi advokat. Sebelumnya, munculnya beragam organisasi advokat terjadi karena para advokat senior berebut legitimasi. Namun, saat ini pertumbuhan advokat dan organisasinya lebih banyak di-drive korporasi atau beberapa pihak yang mengomersialkan posisi ini.
Bahkan, ia menyebut ada organisasi advokat yang dibuat oleh korporasi untuk menampung produk-produk pelatihan yang banyak dikerjakannya.
Broker dan ”fixer”
Lantas bagaimana para advokat tersebut berpraktik? Santy Utami Kouwagam dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, dengan judul ”How Lawyers Win Land Conflicts for Corporation, Legal Strategy and its Influence on the Rule of Law in Indonesia” membagi advokat menjadi tiga bagian, yaitu profesional, fixer, dan broker.
Advokat profesional digambarkan memiliki pengetahuan mendalam di bidang hukum tertentu, kebanyakan bergerak sebagai corporate lawyer, membangun citra publik dengan memberikan kuliah dan pelatihan di universitas dan kantor pemerintah, serta menulis di jurnal hukum.
Sementara para litigator digambarkan kebanyakan berjenis fixer dan broker. Hanya segelintir yang masuk kategori profesional. Pada praktiknya, para litigator itu membela klien secara membabi buta dengan menggunakan semua sarana yang dimungkinkan, seperti mendekati hakim, jaksa, atau aparat kepolisian. Disebutkan, para litigator yang berjenis fixer dan broker ini sering kali mencari kelemahan hakim.
Mereka juga menjaga hubungan personal dengan hakim, terkadang mengunjungi kediamannya secara rutin untuk membicarakan kasus atau memberikan dukungan kepada yang bersangkutan.
Masyarakat jadi korban
Otto sepakat, apabila permasalahan advokat ini tak segera dicari jalan keluarnya, yang jadi korban ialah masyarakat sebagai pencari keadilan.
Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa lebih banyak mendengarkan aspirasi dari organisasi advokat. Organisasi advokat dapat diundang ke Istana untuk mendengarkan segala permasalahan mengenai hukum.
Pemerintah selama ini, menurut Otto, masih kurang menyadari peran penting advokat dalam memastikan berjalannya hukum. Advokat masih dianggap sebagai pihak swasta. Padahal, tanpa keberadaan advokat, peradilan dapat berhenti. Dalam perkara pidana, misalnya, perkara tak bisa disidangkan kalau terdakwa tidak didampingi advokat.
”Presiden Jokowi tak pernah menyebut peran penting advokat dalam penegakan hukum di Indonesia. Beliau hanya menyebut polisi, jaksa, KPK, tetapi tidak pernah menyebut advokat. Kalau paradigmanya seperti itu, tak akan maju hukum kita. Presiden harus memberi perhatian kepada advokat,” katanya.
Sementara itu, Luhut MP Pangaribuan mengungkapkan, kondisi dunia advokat saat ini sudah darurat. Pemerintah perlu turun tangan. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly sudah mengupayakan adanya pertemuan tiga organisasi Peradi. Saat itu disepakati pembentukan tim sembilan, yakni masing-masing menyetorkan tiga nama untuk bekerja dalam tim tersebut. Namun, upaya itu mandek.
Luhut menawarkan solusi untuk memecahkan persoalan tidak adanya standar dalam organisasi profesi tersebut. Bersama sejumlah organisasi advokat lainnya, ia mengusulkan pembentukan Dewan Kehormatan Nasional sebagai pemutus akhir (final and binding) dalam persoalan dugaan pelanggaran etik oleh advokat. Dengan demikian, apabila seorang advokat dijatuhi sanksi pencabutan izin beracara, yang bersangkutan tak dapat melompat ke organisasi lain guna mendapat izin baru.
Ia memaknai wadah tunggal advokat yang diamanatkan UU Advokat sebagai kesatuan standar profesi, bukan satu organisasi advokat yang memegang seluruh kewenangan yang diberikan UU.
Namun, usulan ini tak disetujui Otto. ”Single bar itu bukan berarti hanya ada satu organisasi advokat, yaitu Peradi. Single bar artinya adalah hanya ada satu organisasi advokat yang diberi kewenangan untuk mengelola advokat untuk membenahi kompleksitas permasalahan yang ada saat ini,” katanya.
Perdebatan soal wadah tunggal advokat ini merupakan isu lama yang tak juga menemui ujungnya. Persoalan single bar atau multibar menjadi isu yang bolak-balik diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi.
Sementara menunggu persoalan itu terselesaikan, tidak adil rasanya jika masyarakat pencari keadilan masih harus menunggu organisasi-organisasi advokat mencapai kata sepakat. Masyarakat berpotensi dirugikan oleh perilaku advokat hasil pendidikan abal-abal (tidak standar) tanpa ada upaya penegakan etik yang memberi kepastian.