Siasat Para Advokat Hadapi Badai Pandemi
Badai pandemi tak hanya menghantam wirausaha, tetapi juga kalangan advokat. Ada yang harus bertahan dengan mengurangi pengacara di firma hukumnya, tetapi ada pula yang melihat peluang lebih baik berkat pandemi ini.
Penampilan perlente, mewah, bergelimang harta, dikelilingi bidadari-bidadari cantik. Itu, barang kali, gambaran kehidupan advokat yang sukses membangun ”kerajaan” di industri jasa hukum. Jumlahnya barang kali cuma segelintir, tetapi gambaran itu seperti mewakili ribuan advokat yang sebenarnya kini tengah berjuang dari gempuran krisis akibat pandemi Covid-19.
Sudah setahun lebih Covid-19 ”merusak” situasi normal segala sisi kehidupan, tak terkecuali para advokat. Di masa-masa ini, tak sedikit kantor advokat bertumbangan dan akhirnya memutuskan untuk menutup kantor demi mengurangi biaya operasional sewa kantor dan full bekerja dari rumah (work from home).
”Banyak yang tutup. Biaya operasional kantor itu kan tinggi, misalnya untuk sewa. Daripada sewa mahal, kantornya sudah close aja. Bekerja dari rumah,” ujar Ronny Talapessy, Managing Partner RBT Law Firm, saat ditemui di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (21/5/2021).
Ronny merupakan salah satu anggota tim hukum yang mendampingi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghadapi perkara penghinaan agama pada 2016-2017 silam. Namun, namanya mulai dikenal publik saat mendampingi keluarga sembilan korban tabrakan Xenia maut di sekitaran monumen Tugu Tani, pada 2012 silam. Dalam kasus Xenia maut itu, Afriani selaku pengemudi dihukum 15 tahun penjara dan 4 tahun penjara karena terbukti mengonsumi narkoba.
Baca juga : Musim ”Panen” Advokat Telah Tiba...
Dalam masa ”sulit” karena pandemi ini, Ronny masih mampu mempertahankan dua kantornya. Selain di bilangan Kuningan, ia juga memiliki kantor kedua di Belleza BSA lantai 1, Jalan Letjen Soepomo, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Ia mengakui hal itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Sebab, banyak orang akhirnya berpikir dua kali sebelum berurusan dengan hukum. Bahkan, untuk sesuatu yang sifatnya urgen seperti terjerat kasus pidana, banyak pihak yang tetap enggan menggunakan jasa pengacara karena berpikir bagaimana membayarnya.
Meski urgen, mereka (warga yang berperkara) tetap enggak membutuhkan lawyer. Mereka berpikir dijalani dulu saja. Ya ketika pandemi orang mikirnya seperti itu, enggak apa-apa saya masuk penjara. Ini misalnya jika sudah telanjur proses pidana ya. (Ronny, Managing Partner RBT Law Firm)
”Meski urgen, mereka (warga yang berperkara) tetap enggak membutuhkan lawyer. Mereka berpikir dijalani dulu saja. Ya ketika pandemi orang mikirnya seperti itu, enggak apa-apa saya masuk penjara. Ini misalnya jika sudah telanjur proses pidana ya,” kata Ronny.
Apa yang disampaikan Ronny tergambar jelas dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2020. Berdasarkan laporan tersebut, jumlah perkara yang diterima badan peradilan Indonesia tahun 2020 berkurang hingga 42,63 persen jika dibanding tahun sebelumnya.
Pada 2020, badan peradilan tingkat pertama, banding, hingga Mahkamah Agung plus pengadilan pajak menerima 3.861.700 perkara. Sebelumnya, pada 2019, jumlah perkara masuk mencapai 6.730.663.
Baca juga : Advokat Ingin Dilibatkan dalam Pembentukan Undang-Undang
Banting harga
Dalam kondisi demikian, saat perkara berkurang sementara jumlah advokat bahkan cenderung bertambah setiap tahun, persaingan dalam industri jasa hukum menjadi sengit. ”Banting harga” jasa layanan hukum pun terjadi. Standar honor pengacara (lawyer fee) yang berlaku sebelum pandemi Covid-19 tak berlaku lagi. Dari sisi nominal, lawyer fee di saat pandemi ini bisa dibilang terjun bebas. Tak hanya turun 50 persen, bahkan hingga 70 persen.
Ronny menceritakan, salah satu kantor hukum advokat senior yang biasa menetapkan tarif lebih dari Rp 1 miliar, pun kini bersedia menangani perkara dengan honor Rp 300 juta hingga Rp 400 juta. Ia sendiri yang biasa mematok harga di kisaran Rp 300 juta untuk menangani satu kasus, kini bersedia mengambil kasus dengan nilai Rp 45 juta. Meskipun terkesan ”banting harga”, Ronny menjamin pelayanan yang diberikan tidak akan berkurang.
Dari sisi pembayaran honor, apabila sebelumnya ada lawyer fee (yang dihitung berdasarkan waktu/jam yang didedikasikan) dan success fee (honor yang diberikan ketika perkara menang), kini pihaknya memberikan pelayanan hukum hanya dengan success fee.
”Kami akhirnya sekarang tidak pakai (hitungan) jam-jaman. Standarnya turun jauh. Untuk jasanya, ya sudah enggak apa-apa. Yang penting kita berharap ada kegiatan, biar bisa pendampingan. Kalau berhasil, kita dapat fee. Sekarang seperti itu harus kita akalin,” ujarnya.
Baca juga : Bersatu Lagi, Yasonna Minta Peradi Hasilkan Advokat Berkualitas dan Melek Teknologi
Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Praktik di lapangan, kata Ronny, klien bisa membatalkan kontrak atau beralih advokat karena beda honor Rp 5 juta, atau bahkan Rp 1 juta. Masalah honor akhirnya menjadi sesuatu yang teramat sensitif.
Meskipun ”badai” pandemi tak juga mereda, kantor RBT and Partners tetap tegak berdiri di salah satu tower perkantoran di Kuningan. Walau jika ditilik dari pendapatan, firma hukum itu mengalami penurunan hingga separuh dari tahun 2019. Beruntung RBT and Partners memiliki klien salah satu badan usaha milik daerah (BUMD) dan perusahaan teknologi informasi yang kini justru sedang berkembang. Pengurangan advokat tidak dilakukan, begitu pun pengurangan jumlah pegawai. Yang terjadi adalah pengurangan gaji 10-20 persen.
Setelah pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, pihaknya sempat melakukan efisiensi dengan mengurangi ”lemak-lemak” di organisasinya. Dari semula 14 pengacara, Rivai menguranginya menjadi sembilan pengacara. (Managing Partner Kantor Advokat Kusumanegara and Partner, Rivai Kusumanegara)
Berbeda dengan Ronny, Managing Partner Kantor Advokat Kusumanegara and Partner Rivai Kusumanegara mengatakan, setelah pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, pihaknya sempat melakukan efisiensi dengan mengurangi ”lemak-lemak” di organisasinya. Dari semula 14 pengacara, Rivai menguranginya menjadi sembilan pengacara.
”Daripada banyak nganggur, ya saya kurangi lawyer-nya. Tetapi saat mulai naik lagi, saya tambah lagi menjadi 11 orang,” ujarnya.
Baca juga : Program Profesi Advokat di Perguruan Tinggi Perlu Dikaji Ulang
Kegiatan di kantor advokat Rivai berkurang karena banyak klien menunda penyelesaian kasus hukum yang kurang mendesak. Misalnya, gugatan kekurangan pembayaran dan perubahan spesifik produk tidak termasuk sesuatu yang harus diselesaikan saat itu juga.
Ada pula perusahaan sawit di Kalimantan Utara yang berencana menggugat karena ribuan hektar lahannya rusak akibat proyek sebelah. Gugatan itu semula akan dilayangkan tahun ini, tetapi kemudian ditunda.
”Perkara-perkara yang memang ada kerugiannya, tetapi tidak urgen, itu rata-rata pending (tunda) semua. Hilang,” ungkapnya.
Namun, Rivai mengambil sisi positif dari badai di dunia industri jasa hukum ini. Sebab, menurut dia, tercipta ekuilibrium atau keseimbangan baru setelah masa-masa ini terlewati. Misalnya, ia bisa menggandeng klien-klien baru yang semula menggunakan jasa kantor advokat yang satu atau dua level di atasnya.
”Ini opportunity untuk naik kelas. Maksudnya begini, advokat ini kan boleh dibilang ada kelas-kelasnya dari segi harga. Biasanya semakin senior, yang banyak pengalaman dan jam terbangnya, tentu lebih mahal. Sekarang gara-gara krisis, orang bayar lawyer mahal ini tidak sanggup. Dia (klien) mulai turun ke (advokat) kelas dua. Yang biasa ke kelas dua turun ke kelas tiga. Sementara kita (lawyer) jadi naik kelas. Makanya, saya bilang ke advokat muda, jangan lunglai. Ini kesempatan you tangani klien yang ditangani oleh seniormu,” ujarnya.
Baca juga : Pemerintah Buat Standar Layanan Hukum Warga Miskin
Kasus PKPU dan kepailitan
Salah satu fenomena selama masa krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini adalah naiknya perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan kepailitan. Pandemi telah ”melimbungkan” banyak perusahaan.
Selain pengurangan karyawan yang terjadi di banyak sektor usaha, banyak perusahaan yang mengajukan permohonan PKPU dan kepailitan. Ini setidaknya terlihat dari jumlah perkara di lima pengadilan niaga (PN), yaitu PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya, dan PN Makassar.
Jika pada tahun 2019 terdapat 434 perkara PKPU, jumlah tersebut meningkat menjadi 641 perkara pada 2020. Sementara perkara kepailitan naik dari 124 permohonan pada 2019 menjadi 132 permohonan pada 2020. Sementara jika mengacu pada laporan tahunan MA, jumlah perkara di pengadilan niaga pada 2019 adalah 669 perkara, dan pada 2020 menjadi 848 perkara.
Bagi kantor advokat yang menjadi pengacara retainer (hubungan advokat dengan klien corporate dalam jangka waktu tertentu), kondisi ini jelas tidak membuat ”happy”. Sebab, tidak sedikit perusahaan yang meminta penundaan pembayaran jasa hukum atau bahkan memutuskan kontrak.
Hal ini setidaknya memberi gambaran mengenai situasi perusahaan-perusahaan yang kebanyakan memiliki masalah dalam hal cash flow. Bagi kantor advokat yang menjadi pengacara retainer (hubungan advokat dengan klien corporate dalam jangka waktu tertentu), kondisi ini jelas tidak membuat ”happy”. Sebab, tidak sedikit perusahaan yang meminta penundaan pembayaran jasa hukum atau bahkan memutuskan kontrak. Baik Ronny maupun Rivai mengungkapkan pengalamannya terkait hal tersebut.
Meningkatnya perkara kepailitan, di satu sisi seakan memberi harapan untuk kantor advokat, tetapi di sisi lain tidak demikian. Sebab, nilai fee untuk perkara kepailitan tersebut dihitung dari sisa aset yang tersisa dan bukan nilai kredit awal yang diberikan.
Sebut saja, misalnya, kepailitan diajukan karena ada utang Rp 10 miliar yang belum terbayar. Setelah dihitung, ternyata aset yang tersisa tinggal senilai Rp 2 miliar. Success fee untuk kantor advokat dihitung dari persentase yang disepakat dari nilai sisa aset, bukan nilai awal.
Realisasinya pun tidak seindah yang dibayangkan. Terkadang, pembayaran fee tersendat karena keadaan.
Baca juga : Anggota Peradi Diingatkan untuk Melayani dan Melindungi Masyarakat
Sisi lain
Beda cerita dengan Budidjaja International Lawyer (BIL) yang pada 2020 menduduki peringkat ke-19 dalam Top 30 Corporate Law Firm Indonesia 2020 versi hukumonline.com. Pendiri dan Managing Partner BIL, Tony Budidjaja, mengaku tahun lalu membukukan kenaikan revenue hingga 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
”Semua perusahaan sebenarnya punya isu terkait financial cash flow. Kalau perusahaan yang menjadi klien kami, beruntungnya (mereka) adalah perusahaan besar dan sangat besar yang sudah bisa mengalokasikan untuk kepentingan legal mereka. Karena itu, kami tidak mengalami gangguan yang berarti. (gangguan) Sangat kecil karena profile kliennya,” ujar Tony yang mengungkapkan 80 persen kliennya merupakan perusahaan yang memiliki usaha di sejumlah negara.
Justru, tambahnya, BIL mendapatkan efek ketika kliennya memiliki permasalahan dengan pihak lain sehingga membutuhkan bantuan konsultasi bagaimana menangani permasalahan tersebut. Menurut Tony, memang terjadi guncangan besar di traditional law firm atau kantor advokat yang bisnis modelnya masih tradisional. Kebetulan, kebanyakan kantor advokat masih menjalankan bisnis model tersebut.
”Law firm yang tradisional itulah terguncang hebat. Apalagi kalau manajemennya masih tradisional, itu sangat terganggu. Kami beruntung juga mendapat kepercayaan dari perusahaan besar dan sangat besar,” ujar Tony sembari mengungkapkan bahwa 80 persen kliennya dari banyak negara atau bersifat internasional.
Sejak awal, Tony mengatakan BIL sudah mempersiapkan infrastruktur kerja dengan dukungan teknologi informasi. Persiapan sudah dilakukan sejak 2017 sehingga ketika pandemi melanda dan cara kerja beralih ke digital, BIL tinggal lepas landas.
Baca juga : Otto Hasibuan, Doa untuk Wadah Tunggal Advokat
Dalam kondisi saat ini, para advokat berharap supaya pemulihan sektor ekonomi segera dilakukan. Tony memberi catatan penting terkait hal ini. Pemerintah perlu menjamin adanya kepastian hukum sehingga investor yang ingin menanamkan modal di negeri ini mendapatkan jaminan kepastian.
”Masalahnya, ketika ada masalah hukum, komunitas pengusaha kan melihat. Kok, penegakan hukum jadi industri, begitu agresif. Apalagi dalam situasi program pemulihan ekonomi nasional seperti sekarang ini. Orang mau naruh duit itu mikir, mau investasi mikir karena penegakan hukumnya tidak stabil,” ujarnya.
Dalam kondisi saat ini, para advokat berharap supaya pemulihan sektor ekonomi segera dilakukan.
Sementara Tony menyoroti jumlah advokat yang melimpah. Ia menyarankan perlunya moratorium advokat.
Saat ini, setiap organisasi advokat dapat melaksanakan ujian advokat kemudian mengeluarkan kartu tanda advokat (KTA). Sementara pengadilan wajib menyumpah tanpa harus melihat asal-muasal organisasinya.
Jurus mana yang lebih jitu, yang pasti, semua pihak saat ini perlu bersiasat untuk bertahan menghadapi pandemi Covid-19 dan keluar sebagai juara. Mengalahkan setiap kesulitan.