Bukan Ronde Terakhir Melawan Korupsi
Film dokumenter yang menghadirkan testimoni 16 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan mulai diputar di beberapa tempat, Sabtu (5/6/2021). Momen merefleksikan jejak langkah dan komitmen pemberantasan korupsi.
Pembuat film theEndGame, Dandhy Laksono, dalam diskusi yang diselenggarakan Jaringan Gusdurian pada Jumat (4/6/2021) malam, mengatakan, film yang akan mulai diputar pada Sabtu (5/6/2021) tersebut tidak hanya membahas mengenai tes wawasan kebangsaan atau TWK. TWK hanya menjadi salah satu segmen yang dibahas secara cukup dalam dari hasil wawancara 16 narasumber yang direkam selama 20 jam.
Namun, menurut Dandhy, film tersebut ingin merekam sejarah upaya-upaya secara sistematis melemahkan KPK melalui agenda besar revisi UU KPK dan bagaimana hal itu berkaitan dengan korupsi-korupsi yang dilakukan politisi. Sisi menarik dari film itu, dari kacamata Dandhy, ialah bagaimana untuk pertama kalinya pegawai KPK yang bekerja di belakang layar atau garis depan pemberantasan korupsi bersaksi di depan kamera secara terbuka dan jumlahnya cukup banyak.
”Media biasanya paling banyak hanya mengumpulkan satu atau dua atau tiga orang, ini 16 orang yang akan memberi kesaksian terbuka di depan kamera. Dan, sebagian besar adalah para penyidik dan penyelidik yang menceritakan bagaimana 17 tahun menjalani pemberantasan korupsi dari balik layar. Ini bukan seperti hal yang biasa disampaikan oleh Bung Febri (juru bicara KPK Febri Diansyah) sebagai bagian dari humas. Sebab, Bung Febri masih punya rambu-rambu untuk menyampaikan sesuatu,” ujar Dandhy.
Selain Dandhy, diskusi juga menghadirkan Anita Wahid dari Jaringan Gusdurian, Febri Diansyah yang juga mantan Juru Bicara KPK, dan Tata Khoiriyah yang merupakan salah satu pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Pelaksanaan nonton bareng secara luring dilakukan di sejumlah tempat oleh penyelenggara yang berbeda-beda. The Watch Doc membuka kesempatan bagi berbagai pihak yang ingin mengadakan nonton bareng dengan cara mendaftar di google form yang telah disediakan, yakni bit.ly/NobarKPK_EndGame. Sejumlah syarat pelaksanaan nonton bareng diberikan, seperti minimal diikuti 15 orang dan wajib mengikuti protokol kesehatan.
Dhandy mengatakan, pelaksanaan nobar di beberapa tempat dilakukan agar masyarakat dapat berkumpul dan berdiskusi mengenai film tersebut. Berbeda halnya jika peluncuran film dilakukan secara daring, seusai menonton di Youtube atau telepon genggam masing-masing, mereka kemudian pergi tidur tanpa ada suatu diskusi.
Baca juga: Demokrasi Itu Mendengar Suara Rakyat
”Kami juga ingin menunjukkkan bahwa ini salah satu kegiatan atau satu-satunya kegiatan yang tidak bisa dicemari buzzer. Orang berkumpul, nonton, kemudian berdiskusi, seperti (yang dilakukan) kawan-kawan santri pengajian, itu sesuatu yang tidak bisa dijangkau buzzer. (Mereka) tidak bisa nge-buzz seperti satu orang yang mungkin mengoperasikan ratusan akun. Jadi terdistorsi diskusinya,” ujarnya.
Menurut dia, media sosial hanya salah satu ruang saja dalam kehidupan demokrasi. Masih banyak ruang lain di luar media sosial yang perlu digunakan.
”Saya pikir bagaimana oligarki bekerja mengusahakan omnibus law, mengusahakan revisi UU KPK, dan mengusahakan TWK, itu kerja offline juga. Jadi jangan terjebak di media sosial. Saya pikir mungkin kalau waktunya sudah tiba kawan-kawan dalam dukungan secara riil di jalanan, misalnya, ya, bagian dari proses demokrasi juga,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia mengakui pandemi Covid-19 membatasi kegiatan luring karena ada sejumlah ketentuan atau pembatasan terkait dengan protokol kesehatan. Namun, persoalannya justru di masa pandemi, banyak kebijakan-kebijakan yang sangat signifikan bagi publik dilakukan. Protes atau kritik terhadap kebijakan tersebut ”dihadapi” dengan UU Kekarantinaan Kesehatan dan lainnya.
Peristiwa revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang dilakukan pada dua tahun lalu memang menjadi isu publik yang mencuat kala itu. Para pimpinan KPK periode itu, di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo, berupaya untuk mencegah revisi terjadi karena undang-undang yang ada masih memadai digunakan sebagai dasar hukum KPK bekerja. Upaya membatalkan revisi yang diajukan pun kandas di Mahkamah Konstitusi.
Belum usai publik membahas masalah revisi yang dinilai melemahkan komisi antikorupsi, muncul persoalan tes wawasan kebangsaan yang menjadi sarana mendepak keluar 75 pegawai KPK, termasuk di antaranya sejumlah penyidik senior dan kepala satuan tugas yang menangani sejumlah kasus besar. Sebut saja kasus dugaan korupsi bantuan sosial, ekspor benur, dan lainnya.
Dana Politik
Pertanyaan awam yang muncul ke permukaan kemudian adalah apakah pelemahan KPK tersebut ada kaitannya dengan Pemilu 2024. Seperti diketahui, pada tahun tersebut, ada agenda besar ketatanegaraan yang berlangsung, yaitu pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) yang diadakan serentak di seluruh Indonesia. Hajatan politik besar itu dipastikan membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Febri mencoba melihat hal tersebut dengan melihat kasus-kasus yang selama ini ditangani oleh KPK. Menurut dia, lebih dari 400 perkara yang ditangani KPK melibatkan politisi sebagai aktor korupsi, baik itu anggota DPR RI, DPRD, ataupun gubernur/bupati/wali kota. Mayoritas perkara yang ditangani pun korupsi di sektor politik seperti ”menjual” kewenangan untuk menerima suap atau pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana negara.
Oleh karena itu, pada saat KPK lemah, kekuatan para koruptor di sektor politik menguat. ”Tidak tertutup kemungkinan korupsi akan lebih masif tanpa bisa dibongkar,” ujarnya.
Dalam konteks agenda politik di tahun 2024 yang membutuhkan dana besar, Febri kemudian mempertanyakan dari mana para politikus tersebut mendapatkan dana. ”Apakah dari uang saku atau dari kekayaan. Rasanya hampir tidak mungkin,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan, pada saat KPK tak independen dan di bawah pengaruh kepentingan politik tertentu, bukan tidak mungkin KPK menjadi alat untuk menjatuhkan lawan politik. Karenanya, kontestasi politik yang fair pada 2024 menjadi sulit dibayangkan. Yang terjadi, tambahnya, oligarki akan menguat karena tidak ada kontestasi politik yang fair.
”Tidak ada pihak yang berani oposisi dengan kekuasaan karena mereka bisa dihajar dengan tool pemberantasan korupsi yang tidak independen. Ini risiko-risiko yang perlu dihitung secara serius sehingga kami sering bilang ini bukan masalah 75 pegawai saja, tapi yang kita perjuangkan independensi KPK,” ujarnya.
Anita Wahid melihat lebih jauh dari pada persoalan 2024. Menurut dia, kontestasi politik pada tahun tersebut hanya satu tahapan yang harus dilewati. Siapa pun yang terpilih tidak masalah buat para oligark, sebab pada ujungya semua hanya urusan bagi-bagi kue kekuasaan.
Baca juga: Ada Kedaruratan, MK Didesak Cepat Putus Perkara Uji Materi yang Diajukan Pegawai KPK
”Goal terbesarnya adalah bahwa semua ada di bawah kekuasaan mereka, sumber daya ekonomi, sumber daya alam, dan semua yang ada terkait dengan pemerintahan ada di kendali mereka,” ujarnya.
Kembali ke masyarakat
Dalam kondisi seperti saat ini, ketika KPK dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki komitmen pemberantasan korupsi secara sungguh-sungguh, baik Febri maupun Anita sepakat bahwa masyarakat sipil yang kini harus mengambil peran. Masyarakat sesuai dengan kapasitas masing-masing perlu menjaga nyala lilin semangat antikorupsi agar tidak pudar.
Misalnya, kalangan akademisi terus memberikan pemahaman kepada publik mengenai kondisi yang sebenarnya agar gerakan pemberantasan korupsi tidak dibajak sedemikian rupa oleh orang-orang yang disewa untuk membenarkan kebijakan atau robot-robot yang dipakai untuk mendistorsi informasi (buzzer).
Selain itu, masyarakat sipil juga perlu kembali memperkuat warga sebagai korban korupsi, yang merasakan dampak langsung dari korupsi. Isu-isu korupsi dalam pelayanan publik menjadi signifikan karena masyarakat bisa dijelaskan bagaimana sebenarnya korupsi tersebut bersinggungan langsung dengan kehidupan mereka.
Hal tersebut juga sekaligus menjadi otokritik terhadap upaya pemberantasan korupsi yang selama ini terjadi yang seolah ada di menara gading. Masyarakat hanya menonton dari kejauhan dan bertepuk tangan ketika ada sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, pada saat ditanya kenapa mendukung pemberantasan korupsi, apakah karena berdampak langsung pada kehidupan mereka, seakan ada missing link atau tidak ketemu hubungannya.
”Tidak bisa kita menjadikan KPK saat ini menjadi fondasi utama pemberantasan korupsi. Fondasinya harus dikembalikan kepada masyarakat. Mengapa? Pertama, masyarakat sebagai pemilik kedaulatan karena kedaulatan ada di tangan rakyat. Kita hanya menitipkan sebagian saja kepada KPK dan lembaga lain. Kedua, masyarakat sebagai korban yang dirugikan langsung oleh korupsi. Ini perlu diidentifikasi, perlu gerak langsung di masyarakat,” ujar Febri.
Sementara Anita mengingatkan kembali perjuangan Gus Dur di masa Orde Baru dimana saat itu korupsi merajalela, kebebasan berpikir dikekang, dan informasi dibatasi hanya yang sesuai dengan keinginan penguasa. Di tengah berbagai tekanan tersebut, Gus Dur tetap ”berjalan” ke semua arah.
”Ke akar rumput iya, ke akademisi dan kaum intelektual iya, membentuk forum-forum diskusi iya, melalui ruang-ruang budaya iya. Semua dijelajah. Yang dibahas pun semuanya berkaitan seperti permasalahan HAM, demokrasi, antikorupsi, ketimpangan sosial, ketimpangan keadilan. Semuanya itu beliau perjuangkan dengan gerak ke segala arah,” ujar Anita.
Dalam konteks kondisi KPK dan pemberantasan korupsi saat ini, ia mengungkapkan, meskipun 75 pegawai KPK saat ini dinonaktifkan, publik perlu tetap mendukung KPK yang masih memiliki lebih dari 1.000 pegawai yang lolos TWK. Seiring dengan itu, kampanye antikorupsi perlu dikibarkan ke kalangan akar rumput sampai akhirnya masyarakat betul-betul memahami korupsi.
”Kalau di akar rumput kuat, sebenarnya kita punya peluang untuk nantinya merebut kembali gerakan pemberantasan korupsi. PR-nya kita tidak boleh berhenti, tidak boleh menyerah,” pungkasnya.
Setelah revisi UU KPK dan 75 pegawainya dinonaktifkan, KPK barang kali akan berubah. Permasalahan independensi KPK barang kali masih menggantung dan menunggu pembuktian, jika tetap independen seperti diklaim oleh pimpinan saat ini. Namun, satu yang pasti, hal ini diharapkan bukan merupakan perang terakhir melawan korupsi.