Ada Kedaruratan, MK Didesak Cepat Putus Perkara Uji Materi oleh Pegawai KPK
Mahkamah Konstitusi diharapkan bisa cepat memutus perkara uji materi terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN. Ada yang masih menaruh harapan MK bisa memberi solusi, tetapi juga tak sedikit yang kini skeptis pada MK.
Oleh
Susana Rita
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi didorong untuk dapat memutus perkara pengujian norma alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi pegawai aparatur sipil negara dengan cepat, tanpa berlama-lama sidang pemeriksaan perkara. Selain berkenaan dengan hak atas pekerjaan yang dijamin oleh konstitusi, ada kedaruratan konstitusional yang menuntut perkara tersebut segera diselesaikan.
Hal ini berkait dengan nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diangkat menjadi pegawai ASN karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan atau TWK. Pimpinan KPK pada 25 Mei 2021 mengumumkan, dari 75 orang yang dinyatakan tak memenuhi syarat, 24 orang akan dibina dan dapat ikut tes kembali. Sementara 51 orang lainnya tidak dapat dibina sehingga akan diberhentikan maksimal pada 1 November 2021.
”Kenapa ini penting? Karena ini berkaitan dengan hak orang atas pekerjaan yang dijamin konstitusi. Karena itu, harus diberikan (putusan) jelang 1 November. Karena jika diputus setelah 1 November, putusan MK tidak ada gunanya,” ujar pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, saat dihubungi, Kamis (3/6/2021).
Pada 2 Juni kemarin, sembilan dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan mendaftarkan permohonan uji materi atas Pasal 69 B Ayat (1) dan Pasal 69 C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No 30/2002 tentang KPK. Kedua pasal tersebut mengatur bahwa pegawai KPK dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
MK diminta untuk menyatakan dua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan: 1. Bersedia menjadi pegawai ASN, 2. Belum memasuki batas usia pensiun, 3. Tidak melakukan pelanggaran kode etik berat, dan 4. Tidak dihukum penjara berdasar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap”.
Sebelumnya, Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi KPK Hotman Tambunan yang merupakan salah satu pemohon uji materi mengatakan, pengujian kedua norma tersebut dilakukan agar kesimpangsiuran di publik berkait dengan proses alih status seperti bagaimana proses ukur, cara mengukur, dan alat ukur dapat dibuka seluruhnya. Ia juga berharap agar tidak ada yang dirugikan dalam proses alih status pegawai KPK seperti amanat dalam putusan MK sebelumnya (Kompas, 3/6/2021).
MK sebenarnya telah menyinggung persoalan alih status pegawai KPK menjadi pegawai ASN tersebut di dalam putusan nomor 70/PUU-XVII/2019 di bagian pertimbangan. Disebutkan bahwa adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK.
MK menegaskan bahwa adanya pengalihan status pegawai tersebut tak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi pegawai ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang ditentukan dalam Ketentuan Peralihan UU No 19/2019.
Menurut Charles, putusan MK nomor 70 secara tegas mengamanatkan tidak boleh adanya kerugian hak pegawai dalam proses alih status. Faktanya, sebanyak 51 pegawai akan diberhentikan. Putusan MK tersebut tidak diikuti oleh pimpinan KPK dan pemerintah. Ia menduga ketidakpatuhan itu terjadi karena pernyataan MK tersebut ada di bagian pertimbangan.
”Pertimbangan itu mestinya menjadi satu napas dengan amar putusan. Itu yang mau diterjemahkan lagi supaya lebih tegas. Pertimbangan di putusan nomor 70 harus ditarik ke amar (putusan) sehingga tafsir mengenai frasa ’dapat diangkat menjadi pegawai ASN’ tidak diterjemahkan lain lagi,” katanya.
Ia mengaku optimistis MK akan mengabulkan permohonan kesembilan pegawai KPK tersebut. Sebab, kerugian konstitusional yang dialami para pegawai KPK tersebut sudah faktual. Sidang pemeriksaan perkara itu pun sebenarnya tidak perlu dilakukan dengan berlama-lama sebab sudah ada rujukan putusan sebelumnya. Atau MK bisa menjatuhkan putusan sela dengan memerintahkan agar segala tindakan hukum terkait nasib 75 pegawai tersebut ditunda hingga ada putusan MK yang bersifat final.
Sebelumnya, Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso saat dikonfirmasi mengenai kemungkinan dikabulkannya putusan sela mengungkapkan, pemohon dapat meminta putusan sela dalam perkara pengujian undang-undang. Akan tetapi, soal dikabulkan atau tidak oleh majelis hakim, hal tersebut sangat bergantung pada pertimbangan majelis hakim.
Pilihan terakhir
Berbeda dengan Charles, pakar hukum tata negara Refly Harun pesimistis MK dapat diharapkan menyelesaikan persoalan ke-75 pegawai KPK tersebut. Sebab, dia menilai MK sudah kehilangan roh perjuangannya, dalam hal ini perjuangan antikorupsi dan menegakkan demokrasi.
Salah satu indikator yang menunjukkan hilangnya roh perjuangan MK ada pada putusan MK terkait angket DPR terhadap KPK, putusan KPK menjadi bagian eksekutif yang kemudian menjadi jalan untuk meng-ASN-kan pegawai KPK. Indikator kedua adalah putusan MK mengenai presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang bertentangan dengan konstitusi ketika diterapkan di dalam pemilu serentak.
”Berdasarkan hal itu, saya lihat MK sudah terlalu selingkuh dengan kekuasaan dan gratifikasinya sudah ada. Jabatan hakim MK menjadi 15 tahun,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah dan DPR menyetujui perubahan UU MK yang pada pokoknya mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK serta masa jabatan hakim MK dari lima tahun menjadi maksimal 15 tahun.
Ditanya mengenai adanya pertimbangan di dalam putusan MK sebelumnya terkait proses alih status yang tidak boleh merugikan hak pegawai KPK, Refly mengatakan, hal tersebut tidak serta-merta membuat para hakim konstitusi mengikuti putusan tersebut. Menurut Refly, MK akan melihat ke mana arus kekuasaan akan bergerak dan putusan MK akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan.
Pengajar sosiologi hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, memahami, langkah pegawai KPK mengajukan uji materi ke MK tersebut sebagai the last resort atau pilihan konstitusional terakhir yang dapat dilakukan. Uji materi dilakukan karena tidak ada pilihan lain.
Padahal, menurut dia, para pegawai tersebut sangat sadar ”siapa” MK dan bagaimana putusan dan kualitas putusannya terkait uji materi UU No 19/2019. Ternyata, pada akhirnya, MK memilih tidak mendengarkan suara publik. Putusan MK dalam perkara uji formil dan materiil tersebut dinilai mengingkari banyak hal yang substantif dan mendasar bagi upaya menegakkan independensi institusi KPK.
”Artinya, sampai di titik itu saja teman-teman pegawai KPK itu sadar betul siapa MK. Artinya, dia (MK) lebih berpihak pada posisi yang ingin melemahkan independensi KPK, mereduksi peran-peran KPK yang sudah sangat baik dengan alasan formal yang sangat selektif, yaitu untuk kepentingan rezim. Itu tak terhindarkan. Perkara hakim MK menolak (pandangan itu) ya silakan, publik menilainya dengan optik tersendiri yang berbeda dengan optiknya MK,” ujar Herlambang.
Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa apa yang terjadi hari-hari ini adalah sebuah kudeta merayap di dalam demokrasi. Saat ini, kudeta tidak dilakukan di tengah malam dengan menggunakan senjata, tetapi menggunakan instrumen politik formal ketatanegaraan.
Menurut dia, MK menjadi pilihan terakhir karena sudah tidak ada lagi jalur konstitusional lainnya. Sementara wewenang konstitusional yang ada, misalnya kewenangan konstitusional yang dimiliki Presiden, tidak digunakan.
”Atau justru membiarkan kejahatan birokrasi itu terjadi. Wewenang konstitusional di parlemen tidak digunakan, justru mereka terlibat dalam menyalahkan atau justru terlibat dalam mengamini apa yang dilakukan pimpinan KPK. Semua itu menjadikan the last resort adalah peradilan. Saya kira peradilan yang ada, dalam konteks hari ini, sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang sarat dengan oligarki,” ujar Herlambang.