Presiden Diminta Panggil Pejabat Terkait untuk Jelaskan Pemberhentian Pegawai KPK
Presiden Jokowi diminta memanggil pejabat instansi terkait untuk meminta penjelasan soal pemberhentian 51 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan. Sebab, hal ini dianggap tak sesuai arahan Presiden.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan memberikan penjelasan detail mengenai alasan tidak dapat diangkatnya 51 orang dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Masyarakat sipil juga meminta Presiden Joko Widodo memanggil pimpinan instansi terkait guna menjelaskan kebijakan tersebut.
Pasalnya, kebijakan ini seolah bertentangan dengan arahan Presiden Jokowi yang menyatakan hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak serta-merta bisa dijadikan dasar memberhentikan pegawai yang tidak lolos tes. Di sisi lain, juga ada putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam pertimbangannya mengatakan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara tidak boleh merugikan pegawai yang telah bekerja di lembaga tersebut.
Sebelumnya, rapat koordinasi antara KPK, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Selasa (25/5/2021), memutuskan 51 pegawai KPK tidak bisa diangkat menjadi ASN. Mereka dianggap tidak bisa lagi dibina. Sementara itu, 24 pegawai lainnya dinyatakan masih bisa dibina.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Rumadi Ahmad, Rabu (26/5/2021), di Jakarta mengatakan, Presiden Jokowi dapat memanggil BKN, KPK, serta Kemenpan dan RB untuk meminta penjelasan soal hal ini. Terlebih keputusan yang diambil mereka dipandang tidak sesuai dengan arahan Presiden.
”Dengan arahan dan sikap yang jelas dari Presiden itu, kami pikir KPK dan lembaga lainnya akan menindaklanjutinya sesuai arahan Presiden. Tetapi, kok, sikap yang diambil itu berbeda. Itu seperti ada pembangkangan. Oleh karena itu, menurut saya, tiga lembaga yang memutuskan itu harus segera memberikan laporan yang komprehensif kepada Presiden,” katanya.
Terkait integritas 75 pegawai KPK, menurut Rumadi, sudah tidak diragukan lagi. Mereka juga orang-orang lama di KPK, terlepas apakah hubungannya dengan pimpinan KPK baik ataukah tidak. Oleh karena itu, jalan tengah yang bisa diambil ialah dengan melakukan pembinaan kepada mereka yang dinilai belum memenuhi TWK.
”NU setuju jika alih status pegawai KPK menjadi ASN dilakukan, tetapi sesuai dengan arahan Presiden, TWK tidak serta-merta menjadi sarana pemberhentian pegawai KPK. Kalau mereka diberhentikan, berarti mereka dirugikan. Menurut kami, harus ada pembinaan yang jelas kepada 51 orang ini,” ujarnya.
Sikap Presiden soal status pegawai KPK ini penting, tambah Rumadi, karena selama ini pemerintahan di bawah Presiden Jokowi kerap dicurigai ingin melemahkan KPK. Pemerintah tentu harus melakukan suatu tindakan atas hal ini sehingga tuduhan kepada pemerintah itu tidak makin menguat dengan adanya peristiwa ini.
Pembina tertinggi ASN
Pandangan kritis juga disampaikan sejumlah anggota Komisi III DPR yang membawahkan bidang penegakan hukum. Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengingatkan, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, presiden merupakan pembina tertinggi ASN. Karena itu, menjadi kewajiban semua pimpinan kementerian atau lembaga memastikan kebijakan dan keputusan mereka sesuai dengan arahan presiden.
”Ini agar tidak ada suara di ruang publik bahwa ada pembangkangan terhadap perintah atau arahan Presiden. Nah, setelah Presiden memberikan arahannya yang kemudian dibaca atau didengarkan publik, tetapi kemudian keputusan akan memberhentikan 51 pegawai, wajar kalau kemudian banyak elemen masyarakat mempertanyakan mengapa arahan Presiden seperti tidak didengarkan,” ucap Arsul.
Terkait wacana yang berkembang soal pemberhentian mereka lantaran terafiliasi dengan paham radikalisme atau organisasi terlarang, Arsul menegaskan, hal itu harus dilihat kembali dalam konteks politik hukum yang dianut Indonesia. Dalam politik hukum Indonesia, yakni UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dijelaskan adanya upaya deradikalisasi dan kontraradikalisasi terhadap siapa pun yang berpaham atau punya potensi terpapar paham radikal intoleran.
”Artinya, ASN sekalipun yang terpapar paham radikal harus dilakukan upaya deradikalisasi dulu, bukan langsung diberhentikan. Persis seperti yang disampaikan Presiden Jokowi, dibina atau disekolahkan atau apa pun istilahnya,” ucap Arsul yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dengan persoalan kepegawaian yang menimpa KPK saat ini, lanjut Arsul, akan memicu kinerja yang tidak optimal dari KPK. Salah satunya jika membandingkan kinerja pengembalian keuangan atau kerugian negara antara KPK dan kejaksaan. Dalam waktu lama, jika persoalan di tubuh KPK dibiarkan, kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi akan turun.
”Yang jelas dampak dari gegeran atau gonjang-ganjing yang berkepanjangan akan terlihat pada tidak maksimalnya kinerja KPK. Lihat saja kalau kita bandingkan kinerja pengembalian kerugian negara, antara KPK dan kejaksaan, maka lebih baik kinerja kejaksaan,” ujarnya.
Presiden di satu sisi bisa saja melakukan sesuatu atas peristiwa yang terjadi di KPK. Namun, menurut Arsul, Presiden tentu akan melihat semua sisinya.
Pertimbangkan putusan MK
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, menuturkan, seharusnya semua pihak berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pertimbangannya, MK menegaskan alih status pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan hak konstitusional pegawai KPK. MK bahkan mengatakan pegawai KPK tidak perlu khawatir atas status mereka karena, menurut MK, proses alih status ini berbeda dengan para pegawai yang sejak semula memang melamar menjadi ASN.
”MK menyatakan bahwa pegawai KPK ini berbeda dengan mereka yang memang sedari awal melamar untuk jadi ASN. Pegawai KPK ini telah bertahun-tahun menunjukkan integritasnya dalam pemberantasan korupsi sehingga peralihan statusnya akan berlaku secara hukum dan tidak merugikan mereka,” ujarnya.
Memahami pertimbangan hukum MK itu, lanjut Basari, seharusnya alih status kepegawaian di KPK berlangsung otomatis. Mereka yang telah menjadi pegawai KPK otomatis menjadi pegawai berstatus ASN. Kalaupun ada penyaringan dan pertimbangan lain dalam mekanismenya, hal itu harus kembali merujuk pada poin penting dalam putusan MK, yakni tidak merugikan mereka.
”MK memang tidak menguraikan pertimbangan teknisnya dalam alih status pegawai KPK itu. Namun, kalaupun pertimbangan teknisnya adalah dengan TWK, tidak masalah. Akan tetapi, dengan merujuk pada kalimat awalnya di pertimbangan MK, seharusnya secara hukum mereka langsung menjadi ASN,” katanya.
Dengan telah diputuskannya 51 orang tidak diangkat menjadi ASN, menurut Basari, pemerintah melalui BKN harus menerangkan alasannya secara detail kepada publik. Hal lainnya, mereka yang dikenai putusan ini masih bisa melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
”Saat ini, kan, belum ada keputusan tertulis atau SK soal 51 orang yang tidak diangkat menjadi ASN ini. Ketika sudah ada SK, mereka bisa melakukan upaya hukum ke PTUN. Sebab, siapa saja yang dirugikan dari setiap proses administrasi itu berhak melakukan perlawanan hukum ke PTUN,” katanya.
Jalan tengah sebenarnya dapat ditempuh jika mereka yang tidak lolos TWK diberi pembinaan lagi, penyesuaian penempatan tugas, dan kebijakan terkait hal itu disesuaikan dengan hasil TWK. Namun, menurut Basari, mereka sebelumnya harus diangkat sebagai ASN terlebih dulu.
”Dengan jalan ini, TWK bukan menjadi alat satu-satunya untuk menyatakan seseorang itu layak atau tidak menjadi ASN. Di sisi lain, hasil TWK juga tetap berguna menjadi alat pertimbangan dalam penempatan kerja mereka, selain tetap mengikuti pembinaan. Mereka juga tidak kehilangan haknya menjadi ASN secara hukum sesuai putusan MK. Jalan ini menyelamatkan muka semua orang,” tutur Basari.
Namun, apakah jalan tengah ini akan diambil, hal itu sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah, terutama BKN, KPK, serta Kemenpan dan RB.