Dialog dengan Masyarakat Papua Perlu Lebih Inklusif
Menko Polhukam Mahfud MD menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat Papua. Tujuannya untuk membuka ruang dialog kembal bagi perdamaian Papua. Komnas HAM dan peneliti masalah Papua pun apresiatif atas langkah tersebut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk membuka ruang dialog bagi perdamaian di Papua, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat Papua. Komnas HAM dan peneliti masalah Papua mengapresiasi dibukanya kembali ruang dialog tersebut. Namun, jika tujuannya untuk mewujudkan perdamaian Papua, pihak yang dirangkul untuk berdialog perlu lebih diperluas dan inklusif. Dukungan diperoleh Mahfud yang akan menggelar dialog untuk perdamaian Papua.
Sepekan terakhir, Mahfud MD mengadakan dialog intensif dengan berbagai tokoh di Papua. Pada Senin (24/5/2021), misalnya, Mahfud berdialog dengan Wakil Uskup Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Mgr Innocentius Rettobjaan; Uskup Merauke Mgr Petrus Canisius Mandagi; Michael Manufandu; dan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Kardinal Ignatius Suharyo. Dialog pada hari itu juga dihadiri oleh perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Marsudi Syuhud, dan perwakilan Majelis Ulama Indonesia, KH Cholil Nafis.
Kemudian, pada hari berikutnya, Selasa (25/5/2021), Mahfud berdialog kembali dengan Komisi I DPR yang merupakan legislator asal Papua. Dialog digelar juga dengan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII), yaitu Pendeta Ronny Mandang dan Pendeta Nur Reimas.
Dalam dialog tersebut, Mahfud menegaskan bahwa untuk menangani kelompok kriminal bersenjata (KKB), pemerintah akan melakukan operasi penegakan hukum. Selain itu, pemerintah juga akan mengutamakan jalan dialog.
Kami ajak dialog dan bertukar pikiran dengan beberapa tokoh dan pihak lain yang bisa membuka ruang perdamaian dan keamanan bagi masyarakat Papua. (Mahfud MD)
”Kami ajak dialog dan bertukar pikiran dengan beberapa tokoh dan pihak lain yang bisa membuka ruang perdamaian dan keamanan bagi masyarakat Papua,” ujar Mahfud melalui keterangan resmi, Selasa (25/5/2021).
Mahfud menyampaikan, menurut pemerintah, 92 persen masyarakat Papua itu pro Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Data didapatkan dari survei Badan Intelijen Negara (BIN) bersama perguruan tinggi.
Menurut dia, hasil survei itu menunjukkan bahwa 82 persen responden mendukung rancangan revisi UU Otsus. Sisanya, sekitar 10 persen, menyatakan terserah dan hanya 8 persen yang menolak. Pemerintah kemudian mengategorikan 8 persen ini menjadi tiga, yaitu kelompok politik, kelompok klandestin, dan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
”Nah, yang kita hadapi sekarang ini adalah KKB karena mengganggu masyarakat Papua yang 92 persen itu,” terang Mahfud.
Mediasi untuk kelompok-kelompok di Papua
Pendeta Ronny Mandang mengatakan, PGLII menawarkan kepada pemerintah untuk menjadi mediator dalam dialog dengan kelompok-kelompok di Papua. Harapan dari tokoh agama di Papua adalah pemerintah membuka ruang dialog dan berharap kekerasan-kekerasan di Papua segera berakhir.
”Masyarakat Papua berharap kekerasan di Papua segera berakhir,” ujar Ronny menambahkan.
Selain itu, Pendeta Nus Reimas juga menekankan pentingnya pendekatan kultural bagi orang Papua. Sebab, orang Papua hidup dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda dengan masyarakat lain di Indonesia. Dalam bidang kebijakan pembangunan, misalnya, masyarakat Papua tidak bisa disamaratakan dengan orang dari daerah lain.
Masyarakat Papua berharap kekerasan di Papua segera berakhir. (Pendeta Nur Reimas)
Saat ditanya, Mahfud menyambut baik masukan itu, terutama tawaran dari PGLII yang mau menjadi mediator perdamaian di Papua. Mahfud berharap PGLII dapat diterima oleh masyarakat Papua. Sebab, untuk menentukan kelompok mana yang merepresentasikan Papua saja sulit dilakukan. Menurut dia, selalu ada pihak yang merasa tidak terwakili dan tidak puas.
”Apabila ada yang bisa menjadi mediator dan diterima berbagai pihak di Papua tentu akan kami libatkan dan fasilitasi,” kata Mahfud.
Kesempatan untuk berdialog itu akan digunakan oleh pemerintah guna menangani masalah Papua. Sebab, secara umum, pendekatan pemerintah untuk Papua adalah kesejahteraan dan pembangunan. Melalui revisi UU Otsus, pemerintah akan menambah pagu dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen.
Selain itu, pemerintah juga memiliki berbagai program afirmasi, seperti pendidikan ataupun penerimaan aparatur sipil negara (ASN) khusus bagi orang asli Papua (OAP). Pemerintah juga akan mengevaluasi dan mengawasi penggunaan dana otsus yang selama ini diklaim tidak dirasakan oleh masyarakat. Salah satunya adalah dengan melakukan penindakan hukum untuk 10 kasus korupsi terbesar di Papua.
”Penegakan hukum bagi kelompok separatis ini adalah pendekatan khusus untuk mengatasi gangguan keamanan di sana,” kata Mahfud.
Siapa yang tepat dilibatkan
Peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, saat dihubungi, Rabu (26/5/2021), berpendapat, dirinya mengapresiasi dibukanya ruang dialog antara pemerintah pusat dan Papua. Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan apakah yang diajak berdialog adalah pihak yang tepat. Dialog seharusnya dilakukan secara inklusif, baik kelompok sipil, pemerintah daerah Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), maupun Dewan Perwakilan Daerah Papua (DPRP). Asumsinya, mereka adalah orang-orang yang dianggap pro NKRI.
Sementara itu, dialog dengan kelompok yang berideologi Organisasi Papua Merdeka (OPM) seharusnya juga dibuka. Ada dua kelompok OPM yang harus dilibatkan, yaitu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan Serikat Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP). TPNPB, misalnya, selama ini dianggap sebagai aktor kunci gangguan keamanan di Papua. Jika memang ingin mewujudkan perdamaian dan memperbaiki situasi keamanan di Papua, seharusnya dua kelompok itu tidak ditinggalkan dalam dialog bersama pemerintah.
”Idealnya, dialog itu dilakukan secara bertingkat. Mulai dari dialog antarorang asli Papua untuk menentukan siapa juru runding yang dianggap representatif. Kedua, baru dengan pihak-pihak yang berseberangan, yaitu OPM. Itu kalau pemerintah benar-benar serius ingin mengatasi masalah Papua secara komprehensif,” kata Cahyo.
Dalam dialog dengan kelompok berseberangan, imbuh Cahyo, juga penting dilibatkan mediator yang dapat dipercaya oleh kedua belah pihak. Mediator itu bisa kelompok dari dalam ataupun luar Papua. Adapun aspirasi dari OPM, mereka ingin melibatkan masyarakat internasional dalam dialog tersebut. Sebab, mereka memiliki distrust atau ketidakpercayaan yang tinggi dengan pemerintah.
”Selama ini, yang menjadi kendala untuk melakukan dialog inklusif dengan warga Papua itu. OPM meminta agar mediator dari masyarakat internasional, sementara pemerintah tidak mau,” kata Cahyo.
Penegakan hukum
Saya kira juga penting untuk melibatkan kelompok OPM. Hanya saja, dibutuhkan mediator nasional atau pihak yang dipercaya kedua belah pihak sebagai jembatan dialog. (Beka Ulung Hapsara)
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, juga mengapresiasi dibukanya ruang dialog antara pemerintah dan warga Papua. Namun, menurut dia, dialog harus lebih inklusif. Misalnya, melibatkan tokoh akar rumput, sukarelawan kemanusiaan, dan akademisi yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah soal Papua.
”Saya kira juga penting untuk melibatkan kelompok OPM. Hanya saja, dibutuhkan mediator nasional atau pihak yang dipercaya kedua belah pihak sebagai jembatan dialog,” kata Beka.
Selain membuka dialog, upaya untuk merebut hati masyarakat Papua sebenarnya juga bisa dilakukan dengan membangun kepercayaan dengan langkah konkret. Mislanya, menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, penegakan hukum baik dari pelaku, masyarakat sipil, maupun aparat keamanan. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi masyarakat Papua.