Kohesi Sosial Jadi Modal untuk Segera Keluar dari Pandemi
Skor Indonesia yang membaik pada Indeks Negara Rentan 2021 dinilai hasil kerja bersama pemerintah dan masyarakat. Perbaikan kohesi sosial, salah satunya, bisa jadi modal untuk segera keluar dari pandemi Covid-19.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan skor Indeks Negara Rentan 2021 dinilai sebagai hasil kerja bersama pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi tekanan akibat pandemi Covid-19. Capaian itu akan dijadikan modal sosial dan diubah menjadi energi bersama untuk keluar dari dampak pandemi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Indeks Negara Rentan (Fragile State Index/FSI) 2021 menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 179 negara yang dikaji. Semakin besar peringkat satu negara, semakin baik capaian negara tersebut. Pada FSI 2021, Indonesia mendapatkan skor 67,6 atau meningkat 0,2 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari skala penilaian 0-120, semakin kecil skor, semakin kuat negara menghadapi tekanan yang bisa membuat negara menjadi gagal.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani saat dihubungi, Minggu (23/5/2021), mengatakan, kenaikan skor 0,2 poin dari FSI 2020 bermakna sebagai pencapaian dari upaya bersama yang dilakukan selama ini. Pemerintah bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain sudah bekerja keras selama hampir 1,5 tahun ini untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Situasi pandemi sulit dihadapi, tetapi ternyata di balik tantangan itu, ada modal sosial berupa solidaritas dan gotong royong. Modal sosial ini perlu dilipatgandakan agar menjadi energi untuk keluar dari pandemi.
”Indeks ini merupakan prestasi bersama dari kerja gotong royong selama ini. Sekaligus memberi harapan bahwa situasi akan terus membaik. Di sisi lain, kita harus terus siaga, waspada, dan tidak mengabaikan perkembangan situasinya,” kata Jaleswari.
FSI adalah indeks yang disusun oleh LSM Amerika Serikat Fund for Peace. Indeks ini bertujuan untuk menilai kerentanan negara terhadap konflik atau kekacauan.
Menurut Jaleswari, FSI disusun sejak 2006 dan skor Indonesia mengalami tren peningkatan. Dari awalnya Indonesia menduduki peringkat ke-32 dengan skor 89,2, kini bisa menduduki beringkat ke-99 dengan skor 67,6. Dalam laporan FSI 2021, peringkat Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara besar lainnya seperti China, Arab Saudi, Meksiko, Brasil, dan India.
Ini menunjukkan kemampuan Indonesia untuk menjaga ketahanan nasional dari aspek kohesi, ekonomi, politik, dan sosial yang terus membaik. Bahkan, pada laporan FSI 2021, Indonesia secara khusus disebut oleh sebagai salah satu most improved countries atau negara paling berkembang.
”Walaupun peningkatan skor tahun ini tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya, Indonesia tetap harus bangga karena perbaikan itu terjadi di tengah pandemi Covid-19. Semoga kohesi sosial ini bisa menjadi modal sosial untuk akselerasi yang masif di bidang pembangunan, membajak pandemi untuk melakukan lompatan-lompatan besar,” kata Jaleswari.
Ia juga menyadari bahwa sekalipun skor FSI 2021 membaik, masih ada pekerjaan rumah pemerintah lainnya.
Pekerjaan rumah itu di antaranya adalah memperbaiki aspek politik yang dalam FSI 2021 dinilai menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan skor legitimasi negara dan pelayanan publik yang memburuk. Aspek yang memengaruhi di antaranya adalah tingginya kasus korupsi, meningkatnya kasus terorisme, menyempitnya ruang kebebasan sipil, dan respons pemerintah atas demokrasi.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo konsisten menyampaikan bahwa pencegahan dan penindakan korupsi harus dilakukan secara simultan. Namun, faktanya di lapangan, upaya itu kerap terkendala komitmen aparat penegak hukum, regulasi yang ada, ataupun kinerja penindakan dari aparat penegak hukum.
”Butuh kerja sama dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat (NGO), dan semua pihak untuk mengawal itu semua,” kata Jaleswari.
Terkait dengan peningkatan kasus terorisme, Jaleswari mengatakan bahwa potensi ancaman, bentuk, jenis, dan aktornya kini kian kompleks dan dinamis. Hal itu berkaitan dengan masyarakat yang hidup pada era digital.
Aktivitas sehari-hari mulai dari belajar, bekerja, dan hiburan dilakukan sebagian besar melalui dunia maya. Ini membuat pandangan terhadap potensi ancaman terhadap konflik horizontal, kejahatan siber, dan terorisme pun berubah. Pemerintah tidak bisa dihadapkan secara vis a vis kepada masyarakat seperti dulu. Sebab, ancaman dan tantangannya lebih kompleks dan dinamis.
”Di KSP, kami bertugas mengendalikan program prioritas nasional, pengelolaan isu strategis, melakukan komunikasi politik, dan publik dengan melakukan koordinasi dengan beberapa kementerian/lembaga terkait. Artinya, ada pengawasan, pengawalan apabila terjadi kemacetan dan memastikan bahwa semua berjalan dan bekerja,” kata Jaleswari.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada Ari Sujito menilai, meningkatnya kohesi sosial sekalipun di tengah pandemi menunjukkan negara telah memberikan peran secara proporsional kepada masyarakat untuk mengembangkan potensinya. Hal ini harus dilihat sebagai modal sosial ke depan agar masyarakat majemuk Indonesia bisa bertransformasi menjadi masyarakat tangguh.
Masyarakat yang pada dasarnya sudah plural tidak perlu lagi terjebak pada isu sengketa identitas. Energi harus dipusatkan pada isu kemanusiaan, gotong royong, dan kerja sama menghadapi situasi sulit seperti pandemi.
”Gesekan di masyarakat apabila tidak dikelola dengan baik bisa menjadi kekerasan. Ternyata, pada masa pandemi ini, kohesi sosial membaik. Ini adalah pelajaran berharga, ternyata pada masa krisis kita bisa memanfatkan potensi dengan baik dan harus dimanfaatkan untuk tranformasi kewarganegaraan yang lebih baik,” kata Ari.
Ari menambahkan, penguatan transformasi kewarganegaraan itu nantinya juga akan mengikis perdebatan nonsubstansial seperti isu identitas. Masyarakat akan semakin toleran, dan mau bergotong royong mengatasi masalah bersama.
Kendalanya, justru ada di level struktural, di mana elite partai politik masih kerap memanfaatkan isu politik identitas untuk mencapai kekuasaan. Fungsi parpol harus diperbaiki. Jangan sampai mereka menggunakan sentimen politik identitas sebagai bahan kampanye. Sebab, nantinya, publik juga akan semakin cerdas dan tidak menerima isu itu lagi.
”Masyarakatnya sudah semakin toleran, kalau parpol juga ikut berbenah ulang kemungkinan pemilu ke depan akan semakin membaik,” kata Ari.
Terkait dengan kasus korupsi yang meningkat dan pelayanan publik yang dinilai memburuk, Ari mengatakan, ini jadi pekerjaan rumah pemerintah. Pelayanan publik harus dibenahi agar tidak diskriminatif dan lebih transparan serta akuntabel.
Lembaga pemberantasan korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus segera menemukan pola agar organisasinya bisa lebih solid untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Dengan demikian, kegiatan pemerintahan dapat diawasi secara ketat akuntabilitasnya.
”Masyarakatnya pelan-pelan telah bertransformasi menjadi warga negara yang lebih baik. Pemerintah juga harus berbenah memperbaiki aspek demokrasi, pemberantasan korupsi, dan menjaga pelayanan publik agar lebih akuntabel. Supaya prestasi yang baik ini bisa dijaga atau ditingkatkan di masa depan,” kata Ari.