Turunnya Indikator Politik Gambarkan Problem Tata Kelola Pemerintahan
Turunnya dua indikator dalam aspek politik Indonesia yang diukur di dalam Fragile State Index (FSI) atau Indeks Negara Rentan 2021 menunjukkan ada persoalan di dalam tata kelola pemerintahan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Turunnya dua indikator dalam aspek politik yang diukur di dalam Indeks Negara Rentan atau Fragile State Index 2021 menunjukkan ada problem tata kelola pemerintahan di Indonesia. Keberfungsian peran pemerintahan perlu terus ditingkatkan sebagai upaya memperbaiki pelayanan publik dan menguatkan kembali legitimasi negara di mata masyarakat.
Dalam Indeks Negara Rentan atau Fragile State Index (FSI) 2021, peringkat Indonesia secara umum membaik karena tiga aspek yang diukur menunjukkan perkembangan, yakni aspek ekonomi, sosial, dan kohesi. Namun, aspek politik menurun. Penurunan pada aspek politik itu disumbang dari melemahnya dua indikator, yaitu legitimasi negara dan pelayanan publik (Kompas, 22/5/2021).
Pada FSI 2020, skor indikator legitimasi negara (state legitimacy) Indonesia 4,2, sedangkan indikator pelayanan publik (public services) 5,1. Angka itu memburuk dalam indeks terbaru yang dirilis oleh The Fund for Peace, 21 Mei 2021. Dalam indeks terbaru, skor legitimasi negara turun menjadi 4,4, sedangkan skor pelayanan publik menjadi 6,1.
Angka skor makin rendah atau mendekati 0 menunjukkan perbaikan, sedangkan angka makin tinggi mendekati 10 menunjukkan penurunan.
Hasil FSI yang menunjukkan adanya tekanan pada aspek politik, menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo, perlu segera direspons oleh pemerintah. Pasalnya, aspek legitimasi negara dan pelayanan publik menjadi indikator kritikal dan strategis bagi sebuah bangsa dan negara. Kritikal berarti sangat memiliki urgensi kritis dan strategis berarti sangat menentukan pada masa yang akan datang.
”Kedua indikator ini berkaitan dengan tingkat akseptansi negara di mata masyarakat. Artinya apakah keberadaan negara dirasakan perlu oleh masyarakat. Di tingkat paling dasar hal ini tentu berkaitan dengan kualitas dan akses atas pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat,” ujarnya, saat dihubungi, Minggu (23/5/2021), dari Jakarta.
Upaya perbaikan terhadap kedua indikator itu dapat dilakukan dengan memperkuat aspek governansi (pemerintahan), profesionalisme dan sistem merit dalam birokrasi. Artinya, harus didorong karakter pemerintahan yang memiliki budaya melayani masyarakat, mengedepankan kepentingan masyarakat, dan pemerintah yang bertanggung jawab, akuntabel, dan transparan.
”Dalam praktiknya, pelayanan publik saat ini dipenuhi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme, terutama pelayanan yang dilakukan oleh pemerintahan daerah seperti di kecamatan, kelurahan, dan beberapa UPTD pelayanan publik. Keberadaan pelayanan publik di daerah masih sangat dominan membentuk persepsi masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan publik,” ujar Eko.
Di sisi lain, legitimasi negara yang melemah dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh oligarki ekonomi dan politik di berbagai proses kebijakan publik dan keputusan pemerintah. Pemilu sebagai salah satu tiang yang menentukan kualitas demokrasi, pada kenyatannya belum menghasilkan kualitas demokrasi yang berorientasi pada kinerja pemerintahan dan kualitas pelayanan publik.
Fungsi pemerintahan lemah
Kebermanfaatan demokrasi, lanjut Eko, belum optimal karena fungsi pemerintahan yang lemah. Hal ini menyebakan masih maraknya potensi dan praktik KKN di pengadaan barang dan jasa, pengangkatan dalam jabatan, pemberian perizinan usaha dan non-usaha, pemberian subsidi sosial, dan penetapan anggaran.
”Mahalnya praktik demokrasi yang berbiaya mahal dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) dan pileg (pemilu legislatif) masih menjadi penyebab. Ongkos politik menyebabkan praktik bad governance di pemerintahan,” katanya.
Salah satu upaya fundamental yang mesti dilakukan segera ialah membenahi sistem partai politik yang mandiri dengan alokasi dana pembiayaan dari APBN. Hal itu dipandang sebagai kunci, supaya birokrasi tidak menjadi sumber pendanaan parpol. Hal itu juga dapat berdampak pada sistem pilkada dan pemilu yang berbiaya murah.
Di sisi lain, reformasi birokrasi harus tetap dijalankan. ”Reformasi birokrasi harus tetap digalakkan. Sebab, ini akan memperbaiki profesionalisme pelayanan publik,” kata Eko.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pihaknya akan terus mendorong upaya perbaikan pemerintahan melalui pelayanan publik dan penguatan legitimasi negara. Pelayanan publik diharapkan menjadi lebh efektif, efisien, dan tidak melibatkan birokrasi yang rumit.
”Tujuannya supaya masyarakat mendapatkan layanan yang terkait dengan berbagai kebutuhan dan keperluan mereka. Ini terus kami dorong, terutama yang terkait dengan peran Kemenpan dan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi). Selain itu, mitra kami dari Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) juga akan kami dorong, karena mereka salah satu ujung tombak pelayanan publik di daerah,” katanya.
Terkait dengan legitimasi negara, Saan mengatakan, hal yang diharapkan bisa diperbaiki ialah respons pemerintah terhadap berbagai artikulasi kepentingan publik. Baik kepentingan yang disampaikan secara formal, maupun melalui unjuk rasa dan pernyataan sikap secara terbuka. Cara-cara persuasif, dialogis, dan demokratis mesti dikedepankan.
”Pastilah dalam setiap kebijakan itu ada reaksi atau ketidaksetujuan, tetapi artikulasi dari pendapat publik itu janganlah sampai menimbulkan kesan ditangani dengan represif, atau dikriminalisasi. Hal-hal semacam itu perlu dijauhi sehingga legitimasi negara menjadi kuat kembali,” ujarnya.
Tidak mudah
Secara terpisah, anggota Ombudsman RI (ORI), Robert Na Endi Jaweng, Minggu, di Jakarta, menuturkan, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah pada masa pandemi ini memang tidak mudah dalam memberikan pelayanan publik yang maksimal. Sebab, dalam kondisi demikian, publik semakin banyak membutuhkan pelayanan publik dari negara.
Di satu sisi, negara terpukul dengan gelombang pandemi yang mengakibatkan pelemahan pada kemampuan finansial negara, efektivitas pemerintahan, dan tata kelola pemerintahan. ”Ada gap antara kebutuhan pelayanan publik yang semakin tinggi pada masa pandemi dan pelemahan negara dalam kekuatan fiskal, efektivitas, dan tata kelola pemerintahan,” katanya.
Kesenjangan itu dapat dipahami menimbulkan persoalan pada legitimasi negara dan pelayanan publik. Dua hal itu saling terkait satu sama lain. Robert mengatakan, tidak ada cara lain untuk mengatasi hal itu kecuali pemerintah belajar secara cepat mengatasi persoalan ini dan segera membangun kapasitasnya kembali.
”Memang perlu dilakukan upaya-upaya luar biasa dalam mencari cara-cara baru merespons kebutuhan dan permintaan layanan publik,” kata Robert.
Hadirnya UU Cipta Kerja di satu sisi memang diharapkan bisa mempercepat perizinan, membantu perekonomian tumbuh, dan mengungkit investasi. Namun, dalam hal pelayanan publik, ORI mewaspadai kemungkinan adanya lebih banyak pengaduan dari masyarakat terkait mekanisme baru yang diatur di dalam UU Cipta Kerja itu.
”Paling tidak ORI mengawasi agar tidak terjadi malaadministrasi dalam pelayanan publik. Syukur-syukur kalau pemerintah bisa meningkatkan kualitas layanan publik pada masa pandemi yang memang tidak mudah ini,” tuturnya.