Menjauh dari Cap Negara Gagal, Indonesia Miliki ”PR” di Bidang Politik dan Ekonomi
Dibandingkan 2020, Indonesia naik tiga peringkat dalam Indeks Negara Rentan 2021, dari 96 ke-99. Ini mengindikasikan Indonesia terus menjauh dari negara gagal, tetapi tetap masih ada ”PR” di sejumlah bidang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tantangan pandemi Covid-19, Indonesia mampu mempertahankan bahkan memperbaiki sejumlah sektor yang turut meningkatkan ketahanan nasional. Namun, perbaikan itu tidak cukup signifikan sehingga capaian Indonesia tidak beranjak terlalu jauh dari tahun lalu.
Indeks Negara Rentan (Fragile State Index/FSI) 2021, yang diluncurkan The Fund for Peace pada Kamis (20/5/2021), di Amerika Serikat, menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 179 negara yang dikaji. Makin besar peringkat satu negara, makin baik capaian negara tersebut.
Jika dibandingkan FSI 2020, skor Indonesia adalah 67,8 atau hanya berbeda -0,2 dari FSI 2021.
Indonesia mendapat skor 67,6 dari skala penilaian 0-120. Semakin kecil skor, semakin kuat negara menghadapi tekanan yang bisa membuat negara menjadi gagal. Jika dibandingkan FSI 2020, skor Indonesia adalah 67,8 atau hanya berbeda -0,2 dari FSI 2021. Saat itu Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 178 negara.
Di Indeks Negara Rentan 2021, Indonesia masuk kategori ”peringatan” (60-89,9), yang artinya sama dengan tahun sebelumnya. Negara dengan skor 90-120 masuk kategori ”bahaya”. Nilai 30-59,9 masuk kategori ”stabil”, sedangkan nilai 0-29,9 kategori berkelanjutan.
Indeks ini menilai ketahanan negara dari empat indikator besar, yakni sosial, ekonomi, politik, dan kohesi. Setiap bidang itu memiliki tiga indikator. Bidang ekonomi terdiri dari indikator penurunan ekonomi, pembangunan ekonomi tak setara, dan migrasi tenaga terampil ke luar negeri. Sementara itu, bidang politik terdiri dari indikator legitimasi negara, pelayanan publik, dan penegakan hukum serta hak asasi manusia.
Indikator-indikator di bidang kohesi ialah aparatur keamanan, elite yang terfragmentasi, dan ketidakpuasan kelompok. Adapun indikator sosial dan lintas sektoral ialah tekanan demografis, pengungsi internasional dan dalam negeri, serta intervensi eksternal.
Dari 12 indikator yang dikaji, di tahun 2021, 6 indikator membaik, 3 indikator memburuk, dan 3 indikator stagnan. Indikator yang stagnan ialah fragmentasi elite (7,1), tekanan demografis (6,8), dan intervensi eksternal (4,3). Adapun tiga indikator yang memburuk meliputi penurunan ekonomi, legitimasi negara, dan pelayanan publik.
Manajer Program Fund for Peace Natalie Fiertz, dalam laporan FSI 2021, menyampaikan, menjelang tahun 2020, dunia menghadapi situasi pandemi Covid-19, yang diikuti dengan karantina wilayah, gejolak sosial, serta gejolak ekonomi. Dari sudut pandang itulah penelitian ini dilakukan, dengan menilai efek sosial, ekonomi, dan politik di 179 negara.
Natalie menambahkan, FSI 2021 ingin menggambarkan bahwa pandemi tidak hanya mengejutkan sistem kesehatan masyarakat di suatu negara, tetapi juga berdampak pada pertimbangan ekonomi, politik, dan keamanan.
”Banyak dari negara-negara kaya dan maju telah berada di antara yang paling parah terkena dampak pandemi dan memiliki kerapuhan dan garis patahan yang terekspos dengan jelas. Sementara, negara-negara yang terlalu sering diabaikan malah menunjukkan ketahanan yang luar biasa sehingga seluruh dunia dapat dan harus belajar dari negara-negara tersebut,” ucap Natalie.
Perbaikan
Jika dilihat dari empat indikator besar dan dibandingkan tahun sebelumnya (FSI 2020), secara umum terjadi beberapa perubahan pada indikator kohesi. Dari tiga subindikator, secara gabungan skornya meningkat dari 20,6 menjadi 20 (angka semakin kecil, semakin baik).
Pekerjaan rumah Indonesia ke depan sangat serius di indikator politik dan ekonomi sehingga bisa berpengaruh ke skor secara umum. (Arya Fernandes, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies)
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes saat dihubungi, Sabtu (22/5/2021), di Jakarta, berpandangan, ada beberapa hal yang mempengaruhi perbaikan indikator kohesi, yaitu efek kebijakan, efek partisipasi dan stabilitas politik, serta kebijakan dialog.
Berkaitan dengan efek kebijakan, misalnya, itu dipengaruhi oleh inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. ”Apalagi, kebijakan ini diikuti dengan kebijakan di internal kepolisian terkait pengurangan pemidanaan sipil. Kinerja dan profesionalitas kepolisian juga semakin membaik, terutama dengan adanya kebijakan presisi,” ujar Arya.
Namun, Arya mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk memperbaiki di bidang politik, selain juga bidang ekonomi. Itu terlihat dari skor indikator legitimasi negara dan pelayanan publik yang malah menurun.
Menurut dia, penurunan skor di dua indikator tersebut disebabkan oleh masih tingginya kasus korupsi, mulai meningkatnya kasus terorisme, kebebasan sipil memburuk, dan respons pemerintah terhadap demonstrasi.
”Saya kira pekerjaan rumah Indonesia ke depan sangat serius di indikator politik dan ekonomi sehingga bisa berpengaruh ke skor secara umum,” ucap Arya.