Pandemi Covid-19 bisa mengganggu kemajuan daya tahan Indonesia dalam menghadapi tekanan sosial, ekonomi, politik, dan kohesi, yang kemudian dapat membuat negara menjadi gagal.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/NINA SUSILO/Anita Yossihara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memunculkan tekanan yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi. Tekanan pada aspek kesejahteraan ini, jika tidak tertangani, dapat mengganggu kohesi sosial serta stabilitas politik yang akhirnya menggerus ketahanan bangsa.
Hal ini pada akhirnya bisa mengganggu kemajuan daya tahan Indonesia dalam menghadapi tekanan sosial, ekonomi, politik, dan kohesi, yang kemudian dapat membuat negara menjadi gagal.
Indeks Negara Rentan (Fragile States Index/FSI) 2010-2020 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-7 negara yang paling signifikan perbaikannya satu dekade terakhir. Meski demikian, Indonesia masih berada di peringkat ke-96 dari 178 negara. Semakin besar peringkat sebuah negara, negara itu dianggap makin tahan menghadapi tekanan.
Mengingat pandemi memberi tekanan yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat, pemerintah perlu mengkaji setiap kebijakan secara komprehensif supaya berdampak langsung kepada masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
Hal itu sangat penting dilakukan, antara lain, karena berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, hingga 20 April 2020, ada 1.304.777 pekerja dirumahkan dari 43.690 perusahaan. Sementara mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja 241.431 orang dari 41.236 perusahaan. Jumlah itu belum termasuk pekerja di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah.
Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Erwan Agus Purwanto saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/5/2020), mengatakan, pandemi tak lagi hanya menekan masalah kesehatan. Pandemi juga menekan masalah ekonomi, seperti penambahan angka pengangguran, penurunan pendapatan, serta peningkatan angka kemiskinan. Jika persoalan itu tidak direspons tepat dan cepat, aspek kohesi dapat tertekan.
Dampaknya, ketidakpuasan kelompok meningkat. ”Ini memunculkan dampak berantai dari satu persoalan ke persoalan lain. Jangan sampai jadi persoalan sosial. Harus diantisipasi sejak awal. Mereka yang terdampak langsung segera dibantu agar masih punya harapan,” ujar Erwan.
FSI 2020 juga menunjukkan Indonesia menghadapi tugas berat mengelola ketidakpuasan kelompok. Indikator ketidakpuasan kelompok memburuk dari 7,3 menjadi 7,4. Dalam skala 0-10, makin besar skor, makin buruk capaian sebuah negara.
Sejak indeks ini disusun tahun 2006, ketidakpuasan kelompok menjadi satu-satunya indikator yang skornya memburuk dibandingkan skor tahun 2006. Pada 2006, skor Indonesia di indikator ini, 6,3.
Kecepatan dan ketepatan sasaran kebijakan menjadi isu yang penting.
Erwan menyatakan, jika ketidakpuasan kelompok gagal diatasi, hal itu bisa memperburuk aspek lain, yakni politik. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintah berkurang.
”Kecepatan dan ketepatan sasaran kebijakan menjadi isu yang penting. Kemudian, konsistensi dari kebijakan pemerintah berpihak kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. Konsistensi itu harus ditunjukkan terus-menerus selama krisis ini sampai situasi berangsur normal,” ucap Erwan.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies Jakarta, Arya Fernandes, berpendapat, pandemi sangat mungkin menggerus indikator FSI 2020 yang sudah baik. Skor RI untuk legitimasi negara, penurunan ekonomi, dan pembangunan ekonomi tak setara, serta pengungsi, masing-masing di kisaran angka 4.
Menurut dia, jika tekanan kesejahteraan tak bisa diselesaikan dengan baik, legitimasi dan kepercayaan kepada pemerintah akan terdegradasi. Trust merupakan modal bagi stabilitas politik. Apabila warga negara tidak percaya lagi kepada pemerintah, hal itu akan memicu situasi kacau,” kata Arya.
Maka, menurut dia, tugas pemerintah adalah memastikan setiap kebijakan sudah diukur dan dikaji sehingga kebijakan itu memunculkan kepercayaan publik. Kepercayaan terbentuk karena kebijakan antar-kementerian dan antara pemerintah daerah dan pusat sejalan.
”Jadi, tak ada tumpang tindih regulasi. Butuh kolaborasi bersama dalam masa krisis, dengan indikator atau pengukuran yang sama. Penting juga memastikan ada konsistensi terhadap kebijakan yang telah diambil sehingga tidak membingungkan daerah,” ujar Arya.
Pemerintah harus memikirkan kemungkinan krisis pangan.
Dari sisi ekonomi, menurut Arya, pemerintah telah menunjukkan perhatian lewat paket kebijakan bantuan sosial. Namun, penyalurannya harus dipantau agar tepat sasaran dan transparan.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, mengatakan, di tengah pandemi, pemerintah harus mampu memberikan arahan yang jelas dan satu suara dari pusat hingga daerah. Dengan begitu, tiap persoalan dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat bersama-sama. Arif sependapat, pandemi berdampak besar pada ekonomi. Karena itu, pemerintah harus memikirkan kemungkinan krisis pangan. Pemerintah juga diminta aktif menggerakkan strategi kedaulatan pangan, bukan ketahanan pangan.
Polemik
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, berpendapat, sejauh ini masih terdapat kebijakan pemerintah yang tidak tepat sehingga memunculkan polemik di publik dan rentan memperluas penyebaran Covid-19. Hal itu, antara lain, pelonggaran PSBB dan penerapan normal baru di tengah jumlah kasus positif Covid-19 yang masih tinggi. ”Kebijakan pemerintah yang plin-plan akhirnya memunculkan pembangkangan sipil. Yang seperti ini membuat masyarakat mengalami ketidakpuasan,” ujar Netty.
Terkait kebijakan normal baru, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menegaskan, pemerintah pusat menawarkan membuka aktivitas yang lebih luas di 87 kabupaten/kota yang tak memiliki kasus positif Covid-19. Namun, keputusan membuka aktivitas lebih luas di daerah itu jadi kewenangan bupati, wali kota, ataupun gubernur setempat.