Lima Pemimpin KPK Dilaporkan kepada Dewan Pengawas
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaporkan kepada Dewan Pengawas, karena diindikasikan melanggar kode etik. Pelaporan itu dinilai tepat karena bisa mengikat pimpinan KPK agar mematuhi arahan Presiden Joko Widodo.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan melaporkan lima pemimpin lembaga antirasuah itu kepada Dewan Pengawas. Selain bertindak sewenang-wenang, kelima pemimpin KPK itu pun dinilai tidak jujur dalam menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan.
Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan seusai menyerahkan laporan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK, di kantor Dewas KPK, Jakarta, Selasa (18/5/2021), mengatakan, ada tiga hal yang dilaporkan kepada Dewas. Pertama pimpinan KPK dinilai telah tidak jujur terkait konsekuensi dari tes wawasan kebangsaan.
Dalam berbagai sosialisasi, lanjut Hotman, pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi dari tes wawasan kebangsaan. Para pegawai pun berpikir bahwa asesmen bukan syarat untuk bisa meluluskan atau tidak meluluskan pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).
”Karena ini berkaitan juga dengan hak-hak kami sebagai orang yang akan menentukan masa depan kami, maka sudah sewajarnya informasi yang diberikan kepada kami adalah informasi yang benar. Bisa bayangkan bahwa suatu hal yang menyangkut masa depan kami, kami mencari informasi itu, dan sama sekali kami tidak diberikan apa yang akan terjadi,” ujar Hotman.
Dalam penyerahan laporan tersebut, Hotman ditemani Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo dan penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, 75 pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan sebagai syarat menjadi ASN. Terhadap mereka, KPK meminta agar tugas dan tanggung jawabnya diserahkan kepada atasan sampai ada keputusan lebih lanjut.
Hotman melanjutkan, laporan kedua berkaitan dengan dugaan pelecehan seksual di dalam tes wawancara. Para pegawai menyayangkan pertanyaan yang mengarah pada pelecehan seksual muncul dalam materi tes di sebuah lembaga negara. Hotman pun menyebut bahwa Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tengah menginvestigasi indikasi pelecehan seksual dalam tes wawancara tersebut.
”Kita tunggu bagaimana nanti hasil investigasi Komnas (Perempuan), dan mungkin nanti hasil investigasi dari Komnas (Perempuan) bisa digunakan oleh Dewan Pengawas untuk memperkuat pemeriksaannya,” kata Hotman.
Ketiga, para pegawai melaporkan pimpinan kepada Dewas KPK berkaitan dengan perbuatan sewenang-wenang. Ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pengalihan status pegawai ini tidak boleh sampai merugikan hak pegawai. Namun, pada 7 Mei 2021, pimpinan KPK malah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai yang Tak Memenuhi Syarat dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN, yang dianggap merugikan pegawai.
Dengan dikeluarkan SK tersebut, menurut Hotman, pimpinan KPK telah tidak mengindahkan putusan MK. Padahal, putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat. Lebih dari itu, sebagai lembaga penegak hukum, kepastian hukum adalah suatu asas yang harus dipegang oleh KPK.
”Nanti biar Dewan Pengawas yang akan mengecek kepada pimpinan, mengapa (pimpinan KPK) tidak mengindahkan putusan MK? Apa yang akan terjadi kepada kepastian hukum kita kalau putusan MK yang bersifat final dan binding tidak dilaksanakan secara konsisten? Ini tentu menjadi tanda tanya bagi kami,” ucap Hotman.
Hotman menegaskan, pelaporan kepada Dewas KPK kali ini ditujukan kepada kelima unsur pemimpin KPK. Sebab, menurut dia, SK Pimpinan KPK No 651/2021 merupakan kebijakan yang dibuat secara kolektif kolegial. ”Sehingga semua pimpinan kami laporkan,” katanya.
Masalah serius
Sementara itu, Novel Baswedan mengaku bersedih karena harus melaporkan pimpinan KPK kepada Dewas. Sebab, seharusnya, pimpinan KPK memiliki integritas yang baik. ”Tetapi, dalam beberapa hal yang kami amati itu, ada hal-hal yang sangat mendasar dan kami lihat sebagai masalah yang serius,” ujarnya.
Novel pun menyayangkan pelanggaran kode etik berat yang serius ini bukan terjadi pertama kali. Sebelumnya, ada pimpinan KPK yang pernah diperiksa dan diputuskan melakukan suatu kesalahan dengan pelanggaran kode etik.
”Tentu, kami tidak suka dengan situasi itu. Kami berharap pimpinan KPK benar-benar orang yang bisa menjaga etika profesi untuk berbuat dengan sebaik mungkin dan dalam koridor integritas. Karena, kalau hal itu tidak dijadikan basis dari suatu tindakan atau perilaku, saya khawatir upaya pemberantasan korupsi pasti akan sangat terganggu,” kata Novel.
Ia pun merasa khawatir ada upaya penyingkiran yang sistematis, sewenang-wenang, dan tidak jujur terhadap 75 pegawai KPK yang berintegritas. Para pegawai yang berperilaku baik dan berprestasi justru dibuat seolah-olah tidak lulus atau tidak memenuhi syarat menjadi ASN.
Karena itu, ia berharap Dewas dapat berlaku profesional dalam menindaklanjuti laporan para pegawai KPK. ”Ini demi kebaikan dan demi pemberantasan korupsi yang lebih baik,” katanya.
Dikonfirmasi secara terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan menghargai laporan dari para pegawai. Selanjutnya, ia menyerahkan kepada Dewas sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan proses sesuai ketentuan, baik prosedur maupun substansi. ”Apakah benar yang diadukan merupakan dugaan pelanggaran etik,” katanya.
Harus dipatuhi
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai pelaporan kepada Dewas KPK itu merupakan langkah tepat. Sebab, pelaporan kepada Dewas dipandang dapat mencegah upaya pembangkangan yang dilakukan oleh pimpinan KPK.
”Jangan sampai perintah Presiden kemudian juga putusan MK hanya dianggap angin lalu saja. Jadi, itulah yang harus dijaga. Jangan sampai terjadi penyimpangan atau pembangkangan terselubung ataupun terang-terangan. Kan, bahaya kalau seperti itu,” kata Eko.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak merugikan hak pegawai. Ia pun meminta kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) serta Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan TMS.
Menurut Eko, pernyataan Presiden tersebut sangat lugas, jelas, dan tidak multitafsir. Karena itu, jika melihat posisi KPK sebagai salah satu lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, maka lembaga tersebut seharusnya tunduk kepada perintah Presiden.
”Dan ini bukan soal yudisial. Ini adalah soal kepegawaian sehingga mau tidak mau KPK harus tunduk kepada Presiden,” ucap Eko.
Di sisi lain, Eko mengingatkan bahwa pimpinan KPK telah disumpah jabatan. Salah satu sumpahnya adalah setia mempertahankan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Di dalam Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan begitu, putusan MK seharusnya dipatuhi oleh seluruh pihak. Artinya, KPK harus menaati bahwa pengalihan status pegawai KPK tidak boleh sampai merugikan hak pegawai.
”Nah, kalau caranya dinonaktifkan, itu jelas merugikan. Sehingga, menurut saya, pimpinan KPK kalau sampai tidak menaati putusan MK, maka itu melanggar sumpah dan janjinya. Kalau melanggar sumpah dan janjinya maka bisa diberhentikan sebagai pimpinan KPK,” ujar Eko.
Apalagi dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ditegaskan, salah satu kewajiban pimpinan KPK adalah menegakkan sumpah jabatan. ”Nah, kalau sumpah jabatannya dilanggar, otomatis bisa ada pemberhentian. Mekanisme pemberhentian akan bisa jalan kalau ada pelanggaran, kalau tidak memperhatikan arahan Presiden dan putusan MK. Itu, kan, berarti ada pembangkangan,” katanya.