Pemerintah dinilai tak serius dalam menuntaskan kasus HAM berat. Komitmen Presiden dibutuhkan karena penyelesaian kasus HAM tidak hanya persoalan prosedural antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengharapkan komitmen Presiden untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Ini karena penyelesaian 13 kasus pelanggaran HAM berat tersebut dinilai bukan semata persoalan teknis prosedural antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, Selasa (18/5/2021), mengatakan, salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang paling mungkin diselesaikan adalah kasus Paniai pada tahun 2014. Komnas HAM pun telah mengajukan berkas kasus Paniai kepada Kejaksaan Agung, awal tahun 2020.
Namun, pada Senin (17/5/2021), berkas kasus Paniai justru dikembalikan lagi ke Komnas HAM. Komnas HAM menilai, Kejaksaan Agung tidak serius dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM berpandangan, komitmen Presiden Joko Widodo menjadi satu-satunya harapan untuk menuntaskan kasus Paniai. ”Untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat ini kita tidak bisa berharap saja pada Jaksa Agung. Satu-satunya harapan ada pada Presiden. Khusus untuk kasus Paniai, Presiden telah berjanji kepada publik saat Perayaan Natal Bersama pada Desember 2014 di Jayapura,” kata Amiruddin.
Amiruddin menjelaskan, selama ini publik hanya disuguhi persoalan bolak-baliknya berkas kasus antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Namun, sebenarnya persoalan prosedural tersebut dapat diatasi jika ada kemauan, bukan dari Jaksa Agung, melainkan dari Presiden.
Dalam kasus pelanggaran HAM berat, lanjut Amiruddin, yang mestinya dipikirkan pertama-tama adalah persoalan kemanusiaan. Sebab, keluarga korban pelanggaran HAM selama ini terus berharap mendapatkan hak dan keadilan.
Sementara membiarkan berkas perkara hasil penyelidikan Komnas HAM sebenarnya sama saja dengan mematikan harapan para keluarga korban. Di sisi lain, hal itu juga sama dengan tidak menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
”Kita harus kembali menuntut komitmen Presiden agar harapan mereka yang mengalami perlakuan buruk di masa lalu tetap tumbuh. Satu-satunya harapan untuk agenda pemenuhan HAM adalah pada presiden. Ini bukan soal teknis,” ujar Amiruddin.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos berpandangan, pemerintah atau eksekutif saat ini tidak memiliki kemauan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat. Hal itu tampak dari sikap Jaksa Agung, dari beberapa periode sebelumnya hingga saat ini, yang tidak berupaya menuntaskan berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat.
”Saya melihat Jaksa Agung memang tidak punya komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Mungkin ada ketakutan terjadi konflik dengan instansi lain dan tidak ada support dari pemerintah. Ketika eksekutif tidak mendukung sungguh-sungguh, maka Jaksa Agung pun akan berpikir dua kali,” ujar Bonar.
Di sisi lain, lanjut Bonar, bolak-baliknya berkas kasus pelanggaran HAM berat antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung adalah karena Komnas HAM tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan hingga penuntutan. Idealnya, Komnas HAM memiliki kewenangan itu seperti yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam kondisi seperti itu sebenarnya Jaksa Agung dapat mencoba memulai penyidikan kasus-kasus yang relatif belum lama terjadi. Komnas HAM dapat diminta memberikan peran pendukung, termasuk dalam hal melengkapi berkas perkara atau memberikan masukan jika sebuah kasus dinilai sulit untuk dilanjutkan ke pengadilan. Akan tetapi, hal itu membutuhkan komitmen dari pimpinan lembaga eksekutif.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, hingga saat ini, berkas perkara kasus pelanggaran HAM berat dalam proses untuk dilengkapi kembali berkas perkaranya. Berkas perkara tersebut dilengkapi oleh Komnas HAM selaku penyelidik atas petunjuk dari penyidik.