Meningkatkan pengawasan atas kinerja KPK sekaligus memastikan lembaga ini bekerja independen, menjadi dua agenda krusial. Hal itu penting agar publik tetap punya harapan pada agenda pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ Litbang Kompas
·4 menit baca
Agenda peningkatan pengawasan publik dan independensi kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi temuan dari hasil jajak pendapat Kompas akhir April lalu terkait sejumlah kejadian yang menjadi sorotan publik pada KPK belakangan ini.
Salah satu kejadian berlangsung pada paruh awal tahun ini saat publik digemparkan oleh kasus penyidik KPK yang terjerat suap. Kasus ini terjadi dua pekan setelah sebelumnya pegawai KPK lainnya kedapatan mencuri barang bukti. Deretan kasus ini membuat publik bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan KPK.
Lebih dari tiga perempat responden dalam jajak pendapat ini mengakui, mereka mengikuti pemberitaan kasus tersebut, bahkan lebih dari sepertiganya menyatakan terus ikut mengawal isu ini. Atas pelanggaran yang melibatkan sejumlah pihak di lingkup internal KPK ini, jajak pendapat Kompas menangkap gejala publik yang mulai mempertanyakan integritas personel di lembaga ini.
Menurut responden, pelanggaran itu disebabkan kurangnya integritas oknum pegawai yang terjerat suap. Hal ini sekaligus dianggap sebagai sinyal persoalan pada mekanisme pengawasan internal lembaga itu.
Dua hal di atas disebutkan separuh lebih responden jajak pendapat. Tidak itu saja, hampir separuh dari responden juga menyebutkan, perilaku koruptif pada kasus suap yang melibatkan oknum pegawai KPK ini akhirnya mengganggu kepercayaan publik pada lembaga itu.
Kasus penyelewengan ini pun memengaruhi kepercayaan publik kepada pegawai KPK. Munculnya ketidakpercayaan ini sedikit banyak dipengaruhi kekhawatiran responden terhadap potensi munculnya konflik kepentingan. Kekhawatiran ini disampaikan lebih kurang separuh responden.
Status ASN
Kekhawatiran ini makin menguat dengan proses perubahan status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) sebagai konsekuensi dari lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau KPK. Perubahan tersebut berpengaruh pada status pegawai KPK.
Perubahan status itu juga disikapi secara skeptis oleh banyak pihak. Apalagi dengan kejadian kasus suap dan penyelewengan oknum KPK belakangan ini, perubahan status ASN ini dinilai responden tidak akan berdampak apa pun dalam mencegah terulangnya potensi penyelewengan yang dilakukan oknum pegawai KPK.
Jajak pendapat ini berlangsung sebelum riuh pemberitaan atas bentuk dan hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dijadikan salah satu prosedur alih status pegawai KPK.
Awal Mei, ruang publik riuh oleh polemik tes wawasan kebangsaan. Berdasarkan laporan Kompas, 1.349 pegawai KPK mengikuti tes itu. Sebanyak 1.274 peserta dinyatakan memenuhi syarat, sedangkan 75 pegawai dinyatakan tidak memenuhi syarat. Mereka lalu diperintahkan menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsungnya sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Di antara 75 pegawai KPK yang tidak lulus dalam seleksi ini termasuk penyidik senior KPK, Novel Baswedan; Kepala Satuan Tugas Penyidikan Kasus Bantuan Sosial di Kementerian Sosial Andre Dedi Nainggolan; Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap; serta Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono. Menariknya, Giri sebelumnya adalah penerima penghargaan Makarti Bhakti Nigari Award 2020 dari Lembaga Administrasi Negara. Pada Desember 2020, dia dinyatakan sebagai peserta diklat terbaik yang dilakukan bersama direktur kementerian/lembaga.
Proses tes wawasan kebangsaan ini juga dianggap mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 terkait uji materi UU No 19/2019. MK dalam pertimbangannya menyatakan, pengalihan status kepegawaian itu tak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat sebagai ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang ditentukan UU tersebut.
Integritas KPK
Berbagai persoalan yang dihadapi KPK belakangan ini sedikit banyak membuat publik mengkhawatirkan masa depan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini tampak dari sikap hampir 60 persen responden jajak pendapat ini yang mengkhawatirkan kerja-kerja KPK akan terganggu dalam pemberantasan korupsi.
Apalagi, ujian ini cenderung lebih berat dibandingkan kasus-kasus ujian KPK sebelumnya yang lebih banyak berkaitan dengan pihak di luar KPK. Sebut saja sejumlah episode kasus ”Cicak Versus Buaya” yang membuat KPK bersitegang dengan kepolisian. Kali ini, ujian KPK justru terjadi dalam diri KPK sendiri. Revisi terhadap Undang-Undang KPK disinyalir banyak pihak sebagai awal pelemahan lembaga ini.
Di sisi lain, keraguan terhadap pemberantasan korupsi di Tanah Air juga terekam dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International. IPK Indonesia tahun 2020 berada di skor 37. Angka ini turun tiga poin dibandingkan 2019. Dari rentang 0-100, makin tinggi skor sebuah negara makin dipersepsikan bebas dari korupsi. Dengan skor 37, Indonesia berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.
Ke depan, seperti yang tertuang dalam jajak pendapat ini, dua agenda penting harus dilakukan KPK, yakni meningkatkan pengawasan terhadap pegawainya dan memastikan independensi KPK dalam bekerja melawan korupsi. Dua agenda ini disebutkan total hampir 80 persen responden.
Kepercayaan dan harapan publik yang relatif masih terjaga semestinya menjadi modal sosial bagi KPK untuk membuktikan kepada publik bahwa kasus dan polemik yang belakangan ini melanda tidak akan mengoyak integritas lembaga.
Jangan sampai sejumlah kasus yang menjadi sorotan publik terhadap KPK dibiarkan berlarut-larut dan tidak dijadikan sebagai bahan pelajaran. Sebab, jika begitu, pada akhirnya hal ini juga menipiskan kepercayaan publik pada KPK. Jika ini yang terjadi, bukan tidak mungkin KPK akan kehilangan modal sosial selama ini yang menjadi penopang eksistensinya, yakni suara dan dukungan publik. (Litbang Kompas)