Badan Pengawas Pemilu menerima 24 laporan dugaan pelanggaran pada pemungutan suara ulang Pemilihan Kepala Daerah 2020. Agar tak tumpang tindih, Bawaslu hanya memproses dugaan pelanggaran sampai tahapan pembuktian,
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu menerima 24 laporan dugaan pelanggaran saat masa pemungutan suara ulang Pemilihan Kepala Daerah 2020. Dari seluruh laporan itu, hanya 14 laporan yang tetap diproses karena memenuhi unsur dugaan pelanggaran, sembilan sisanya tak termasuk pelanggaran, dan satu lainnya masuk kategori pelanggaran kode etik.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, dihubungi dari Jakarta, Senin (17/5/2021), mengatakan, laporan dugaan pelanggaran pemungutan suara ulang (PSU) berasal dari daerah yang menyelenggarakan PSU di Sumatera Utara (17 laporan), Papua Barat (6 laporan), dan Kalimantan Barat (1 laporan). ”Sebanyak 14 laporan dugaan pelanggaran pemilu yang memenuhi unsur masih diproses,” katanya.
Fritz mengatakan, Bawaslu tetap memproses laporan dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut meski sebagian daerah sudah dijadwalkan melaksanakan sidang perselisihan hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Ini karena kewenangan Bawaslu dengan MK berbeda. Bawaslu punya kewenangan menangani pelanggaran administrasi dan pidana, sedangkan MK menyelesaikan perselisihan hasil.
”Setiap proses dugaan pelanggaran akan ditindaklanjuti dan MK tetap bisa menyelesaikan sengekata karena undang-undang tidak melarang untuk menghentikan proses penanganan dugaan pelanggaran,” ucap Fritz.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengatakan, ada potensi tumpang tindih penegakan hukum saat PSU. Hal ini disebabkan dua lembaga, yakni Bawaslu dan MK, masing-masing menangani laporan dugaan pelanggaran dan perselisihan hasil pada waktu yang sama.
Ia berpandangan agar sebaiknya Bawaslu hanya memproses dugaan pelanggaran sampai tahapan pembuktian, bentuk pelanggaran, pelaku pelanggaran, dan hal-hal yang perlu dikoreksi atas pelanggaran tersebut. Bawaslu mesti menahan diri agar tidak membuat putusan yang berimplikasi pada perolehan suara dan keterpilihan calon karena putusannya bisa tumpang tindih dengan proses hukum di MK.
”Perlu menjaga agar proses penegakan hukum tidak tumpang tindih antara lembaga satu dan yang lain karena itu akan menjadi ujian kedewasaan bagi lembaga-lembaga tersebut mengelola kewenangannya,” ujar Fadli.