Wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi tak perlu diragukan lagi. Mereka telah melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan kedisiplinan dan kebangsaan begitu diterima sebagai pegawai KPK.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Bukan perkara mudah untuk menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Semua kandidat harus melakui serangkaian proses seleksi yang panjang lagi ketat untuk bisa menyandang status pegawai lembaga antirasuah yang disegani para koruptor.
”Indonesia Memanggil”, itulah nama program seleksi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar sejak tahun 2005. Tak cukup memenuhi syarat administrasi, para kandidat pegawai KPK juga harus menjalani tes potensi, tes kompetensi bidang, serta tes bahasa Inggris.
Mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Jumat (7/5/2021), menceritakan sulitnya mengikuti serangkaian seleksi Indonesia Memanggil 7 atau IM-7, delapan tahun yang lalu. Aktivis Indonesia Corruption Watch itu harus menjalani proses seleksi yang melibatkan konsultan independen sekitar enam bulan lamanya. Ia mendaftar pada Mei 2013 dan baru menyelesaikan masa pendidikan calon pegawai KPK pada November 2013.
”Proses yang dilalui cukup panjang dan saringan yang sangat ketat. Terakhir, kami mengikuti tes kesehatan,” kata Febri.
Proses seleksi diawali dengan tes administrasi. Peserta seleksi diberi pertanyaan seputar fondasi integritas dan motivasi masuk KPK. Jika lolos, barulah peserta mengikuti tes potensi yang soalnya tak jauh beda dengan selesi CPNS. ”Ada beberapa soal yang mirip. Tetapi, saya merasakan tesnya sangat berat hari itu. Selain menguji potensi IQ (kecerdasan intelektual), juga kesabaran dan konsistensi,” tutur Febri.
Saat tes kompetensi bidang, selain pertanyaan terkait bidang yang dilamar, calon pegawai juga diberi soal seputar kehidupan berbangsa, bernegara, hukum, dan pemberantasan korupsi. Ada pula tes wawancara yang berisi pertanyaan mendalam tentang integritas, independensi, serta hal lain yang relevan.
Materi kebangsaan
Setelah lolos seleksi, calon pegawai KPK tak langsung bekerja. Mereka harus melalui tahapan pendidikan dasar yang disebut induksi pegawai KPK. Selama dua bulan penuh, mereka mengikuti pendidikan dan pelatihan fisik dan kedisiplinan. Materi tentang kebangsaan, cinta Tanah Air, intelijen, hukum, juga diajarkan. Tak tanggung-tanggung, pelatihan dilaksanakan di Pusat Pendidikan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, dan Akademi Kepolisian (Akpol).
Meski demikian, Febri menuturkan, kisahnya dalam melalui tahapan untuk bisa menjadi pegawai KPK itu masih terbilang ringan dibanding angkatan sebelumnya.
Mantan Juru Bicara KPK Johan Budi yang merupakan peserta IM-1 membenarkan banyak tahapan yang harus dilalui untuk menjadi pegawai KPK. ”Menurut saya, ketat sekali seleksinya,” tuturnya.
Karena itu, Febri tak habis pikir, para pegawai senior yang berdedikasi dan berkinerja bagus terancam diberhentikan hanya karena tak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan.
Tak ada fanatisme
Polemik kepegawaian muncul setelah KPK menyatakan 75 pegawai gagal alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena tak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan. Tes ini menjadi salah satu persyaratan pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua UU 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Tes wawasan kebangsaan itu pulalah yang membuat 75 pegawai KPK, termasuk di dalamnya para penyidik senior, terancam diberhentikan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan, tidak boleh ada satu pun hak pegawai KPK yang dirugikan dalam proses pengalihan status kepegawaian menjadi ASN.
Banyak kalangan mempertanyakan karena sebelumnya semua pegawai KPK sudah melalui serangkaian ujian selama lebih kurang enam bulan lamanya. Mereka bahkan telah menjalani pendidikan kedisiplinan, kebangsaan, kenegaraan, dan cinta Tanah Air selama dua bulan penuh.
Sebenarnya, tujuan tes wawasan kebangsaan relatif baik, untuk mengukur integritas, netralitas, serta antiradikalisme. Tetapi, Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap melihat kejanggalan saat mengikuti tes wawasan kebangsaan. ”Saya heran ada pertanyaan ke saya tentang apakah saya mengucapkan selamat hari raya ke umat beragama lain. Padahal, di KPK, mengucapkan selamat hari raya kepada sesama rekan merupakan hal biasa,” tuturnya.
Sebagai Ketua WP KPK, Yudi juga sudah biasa hadir memberi sambutan langsung saat acara Natal bersama di kantor KPK. Bahkan, Yudi pernah mengajak serta istrinya yang mengenakan jilbab hadir di acara Natal bersama.
Dalam sebuah diskusi, mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menekankan, tidak ada pegawai KPK yang memiliki fanatisme terhadap agama tertentu. Ia juga membantah isu taliban yang disebut tumbuh di lembaga antirasuah tersebut. ”Saya persaksikan, di KPK selama ini tidak pernah ada fanatisme kelompok agama tertentu, baik Kristen, Islam, maupun Buddha,” tuturnya.
Bahkan, dari 75 pegawai KPK yang lolos tes wawasan kebangsaan, delapan di antaranya beragama Kristen dan Budha. Karena itu, Busyro mendesak agar 75 pegawai KPK tidak diberhentikan. Sebab, ia tidak melihat tes wawasan kebangsaan yang digelar memiliki legitimasi moral, akademis, ataupun metodologis.
Peran BKN
Terkait seleksi ASN, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK KPK Ali Fikri menegaskan, KPK bukanlah pihak yang menyelenggarakan asesmen. Asesmen tes wawasan kebangsaan dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
”Semua alat tes berupa soal dan materi wawancara disusun oleh BKN bersama lembaga-lembaga tersebut. Sebelum melakukan wawancara telah dilakukan penyamaan persepsi dengan pewawancara dari beberapa lembaga tersebut,” tutur Ali.
Pertanyaan pada saat wawancara, lanjut Ali, merupakan pengembangan dari tes tulis yang dilaksanakan sebelumnya. Baik tes tertulis maupun wawancara difokuskan untuk mengukur penguatan integritas dan netralitas ASN. Adapun mengenai aspek kompetensi, pegawai KPK telah memenuhi persyaratan kompetensi dan integritas pada saat perekrutan awal sehingga aspek ini tidak dilakukan tes kembali
Sementara terkait nasib 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawancara kebangsaan, Kepala BKN Bima Haria Wibisana menegaskan, saat ini masih dibahas bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo.
Tjahjo menegaskan bahwa dalam sebuah seleksi, tentu ada yang lulus dan tidak lulus. ”Dalam tes ada yang lulus dan ada yang tidak lulus,” tuturnya.
Jika dirunut, sebenarnya jiwa kebangsaan dan cinta Tanah Air para pegawai KPK tak perlu diragukan lagi. Tak hanya karena pernah ditempa pendidikan kedisiplinan dan kebangsaan, mereka juga sudah menunjukkan melalui dedikasi dalam pemberantasan korupsi. Begitu pun loyalitas kepada bangsa dan negara sudah teruji dengan upaya mereka menyelamatkan bangsa dari korupsi. Lalu, apa lagi yang membuat para pengambil kebijakan ragu memberikan hak para pegawai KPK?