Putusan Mahkamah Konstitusi Menentukan Arah Pemberantasan Korupsi
MK dijadwalkan memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi UU KPK pada Selasa (4/5/2021) ini. Keputusan MK ini dinilai akan sangat bergantung pada nyali para hakim.
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi dinilai bermasalah sedari awal dan turut andil menurunkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji formil dan uji materiil pada UU ini akan menentukan arah pemberantasan korupsi Indonesia ke depan.
MK dijadwalkan memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi terhadap UU KPK pada Selasa (4/5/2021) ini. Semenjak UU KPK terdahulu selesai direvisi dan disahkan pada akhir 2019 lalu, tujuh pemohon dalam perkara berbeda meminta MK menguji konstitusionalitas sejumlah pasal dalam UU tersebut.
”Dari hasil Corruption Perspective Index Indonesia di 2020 sudah sangat tegas memperlihatkan persepsi para pelaku dan investor global diseluruh dunia bahwa revisi Undang-Undang KPK yang menghasilkan UU KPK 19 Tahun 2019 sebagai hal yang berbahaya bagi pemberantasan korupsi,” kata Alvin Nicola, peneliti di Transparency International Indonesia, saat dihubungi pada Senin (3/5/2021).
Alvin menyampaikan, kebijakan revisi UU KPK dilakukan tanpa partisipasi publik dan secara formil tidak merepresentasikan kepentingan penegakan hukum. Secara substansial, UU 19 Tahun 2019 tentang KPK itu tidak mewakili kepentingan publik.
Baca juga: Revisi UU KPK dan Kekecewaan terhadap Pemberantasan Korupsi
Adapun pasal-pasal yang dimohon untuk diuji itu, antara lain, pasal yang mengatur KPK menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, izin penyadapan yang harus melalui Dewan Pengawas KPK, dan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Sejumlah pemohon juga meminta MK memeriksa prosedur pembentukan UU itu. Mereka mendalilkan proses pembentukan dan pengesahan UU KPK cacat prosedural. Banyak aturan tentang pembentukan aturan perundangan yang dinilai dilanggar.
Dalam salah satu permohonan uji formil yang diajukan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dkk (perkara nomor 79/PUU-XVII/2019), pemohon mempersoalkan tentang kuorum yang tidak terpenuhi pada saat pengesahan RUU KPK menjadi UU. Sebanyak 180 anggota DPR tidak hadir secara fisik di DPR, dan hanya menitipkan absen sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum.
Dalam salah satu permohonan uji formil yang diajukan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dkk (perkara nomor 79/PUU-XVII/2019), pemohon mempersoalkan tentang kuorum yang tidak terpenuhi pada saat pengesahan RUU KPK menjadi UU. Sebanyak 180 anggota DPR tidak hadir secara fisik di DPR, dan hanya menitipkan absen sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum.
Proses revisi UU KPK itu juga dinilai sangat kilat, hanya memakan waktu 12 hari pembahasan oleh pemerintah dan DPR, sejak disetujui untuk direvisi di dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 September 2019. Pada 11 September 2019, Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat presiden menunjuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo sebagai perwakilan pemerintah untuk membahas RUU tersebut bersama DPR.
Pada 13-15 September, rapat pembahasan dilakukan secara tertutup. Pada 16 September dilakukan pengambilan keputusan tingkat pertama dan sehari kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU.
Baca juga: Pengujian UU KPK Hasil Revisi, Setelah 1,5 Tahun Berlalu...
Perubahan paling mendasar pada UU KPK revisi ini, menurut Alvin, adanya pergeseran paradigma pemberantasan korupsi melalui pemidanaan fisik menjadi pencegahan. Yang menjadi masalah, ide-ide pencegahan yang ditawarkan KPK tidak relevan dengan situasi sesungguhnya.
”Yang paling problematik ada di sektor kebijakan publik. Seperti saat ini politisi dan kepala daerah banyak ditangkap karena terkait korupsi, tapi hal itu justru tidak disentuh. Alih-alih masuk ke area kunci, tapi nyatanya tidak disentuh sama sekali oleh KPK,” ujar Alvin.
Di sisi lain, lanjut Alvin, terjadi ketidaksesuaian antara kebijakan yang dihasilkan pemerintah dan realitas di lapangan. Keinginan merelaksasi regulasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja tidak terjadi karena UU tersebut justru membutuhkan banyak peraturan turunan. Padahal, yang dibutuhkan pelaku usaha, termasuk investor global, adalah kepastian hukum dan tidak adanya pungutan liar, bukan hanya kelonggaran regulasi.
Jika MK menolak uji materi UU 19/2019, lanjut Alvin, KPK akan semakin sulit diharapkan untuk melakukan pemberantasan korupsi seperti sebelumnya. Terlebih, saat ini KPK telah didera krisis integritas dengan terungkapnya penyidik yang mengambil barang bukti maupun yang diduga menerima suap.
Baca juga: Koalisi Guru Besar Berharap MK Batalkan UU KPK
Hal senada juga diungkapkan Indonesia Corruption Watch. Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, keberadaan UU KPK yang baru telah menimbulkan masalah serius. Hal itu dapat dibuktikan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 yang merosot. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 ada di skor 37 atau turun tiga poin dibandingkan dengan 2019.
”Turunnya IPK dapat dikaitkan dengan ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi pemerintah. Alih-alih memperkuat KPK, yang dilakukan justru menggembosi seluruh kewenangan lembaga antikorupsi itu,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, empat masalah utama dari UU KPK saat ini adalah Presiden dan DPR sama sekali tidak melibatkan publik, termasuk KPK, saat UU itu melalui proses revisi. Kemudian, substansi revisi UU KPK bertentangan dengan banyak putusan MK, khususnya terkait independensi KPK dan terkait kewenangan menerbitkan SP3.
Masalah berikutnya, lanjut Kurnia, adalah tidak jelasnya norma dalam UU KPK pada Pasal 37 A dan Pasal 37 B perihal pembentukan Dewan Pengawas beserta tugasnya. Hal itu terutama dalam hal memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Jika ingin mengacu pada sistem peradilan pidana, satu-satunya lembaga yang dibenarkan melakukan hal tersebut hanya pengadilan, bukan Dewan Pengawas. Pasal tersebut sekaligus menciptakan alur yang rumit serta birokratis ketika KPK hendak melakukan penindakan.
”Revisi UU KPK sarat kepentingan politik. Produk legislasi kontroversi ini dihasilkan secara kilat, praktis hanya 14 hari. Revisi UU KPK sedari awal tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019, tetapi tetap dipaksakan,” ujar Kurnia.
Baca juga: Kewenangan KPK Terbitkan SP3 Bertentangan dengan Putusan MK
Nyali
Apabila MK mengabulkan permohonan uji formil UU KPK, putusan tersebut akan menjadi landmark atau putusan monumental sebab baru pertama kali terjadi.
Mantan panitera pengganti MK, Wiwik Budi Wasito, yang membuat sejumlah catatan tentang perkara-perkara uji formil yang pernah diputus MK, menyampaikan, keputusan uji formil UU KPK akan sangat bergantung pada nyali para hakim MK.
”Pertanyaannya, mereka (para hakim konstitusi) punya nyali apa enggak? Bahkan, untuk yang secara nyata sudah terbukti melanggar prosedur saja, masih bisa dicarikan alasan-alasan pembenaran untuk menolak permohonan uji formil,” kata Wiwik.
Pertanyaannya, mereka (para hakim konstitusi) punya nyali apa enggak? Bahkan, untuk yang secara nyata sudah terbukti melanggar prosedur saja, masih bisa dicarikan alasan-alasan pembenaran untuk menolak permohonan uji formil. (Wiwik Budi Wasito)
Baca juga: Uji Formil KPK, Akankah Jadi Putusan Monumental?
Alasan-alasan pembenar tersebut, menurut Wiwik, tampak dalam putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 terkait uji materi UU Mahkamah Agung. Meski diwarnai dissenting opinion dari dua hakim konstitusi dan concurring opinion dari seorang hakim, MK menyatakan bahwa ada cacat prosedural dalam pembuatan UU MA. Akan tetapi dengan alasan materi muatannya lebih baik daripada UU sebelumnya dan tidak memunculkan persoalan hukum, serta sudah dapat diterapkan dan menimbulkan akibat hukum, maka demi asas manfaat demi tercapainya tujuan hukum, UU dinyatakan tetap konstitusional.
Lebih jauh Wiwik mengelaborasi tentang nyali yang disebutkannya di atas. Nyali itu, menurut dia, termasuk nyali untuk menghadapi kekuasaan. Sebab, meskipun hakim konstitusi dipilih oleh DPR dan Presiden yang notabene merupakan pembentuk undang-undang, seharusnya para hakim tersebut harus tetap independen.