Desakan pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kian menguat. Krisis integritas dan demoralisasi KPK serta kemunduran pemberantasan korupsi jadi pertimbangan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Guru Besar Antikorupsi berharap Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain situasi pemberantasan korupsi yang tak kunjung membaik pasca-perubahan UU KPK, pembatalan juga diperlukan mengingat lembaga antirasuah yang menjadi harapan masyarakat justru mengalami krisis integritas.
Hingga Minggu (2/5/2021), setidaknya terdapat 69 guru besar dari berbagai perguruan tinggi yang menandatangani surat permohonan pembatalan pengundangan UU KPK hasil revisi. Pendekatan pencegahan dalam pemberantasan korupsi yang diatur dalam UU No 19/2019 mengakibatkan keseriusan dalam penanggulangan rasuah diragukan.
”Pendekatan yang ditawarkan Presiden maupun KPK sejak keluarnya revisi UU KPK lebih menekankan pada pencegahan. Namun, menurut saya, itu hanya gimmick untuk mengalihkan perhatian dari keseriusan pemberantasan korupsi. Di pihak lain, lembaga yang tugasnya memberantas korupsi mengalami krisis,” kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam konferensi pers daring ”Mengembalikan Khittah Pemberantasan Korupsi: Menelisik Pendapat Guru Besar Terkait Judicial Review Revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi”, Minggu (2/5/2021).
Krisis yang dimaksud adalah krisis integritas dan demoralisasi. Kasus pencurian barang bukti emas seberat 1,9 kilogram dan kasus pemerasan terhadap pejabat yang baru-baru ini terjadi menjadi contoh nyata adanya krisis integritas di tubuh lembaga antirasuah. Sementara demoralisasi terjadi ketika banyak pegawai yang berhenti atau keluar dari KPK.
Dengan situasi seperti itu, lanjut Azyumardi, sulit untuk mengharapkan KPK berperan efektif dan signifikan dalam pemberantasan korupsi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU No 19/2019, yang sebelumnya diharapkan publik, ternyata tidak kunjung terbit.
”Tidak kelihatan ada isyarat dari Presiden untuk mengeluarkan perppu. Maka, harapan kita satu-satunya adalah MK membatalkan UU KPK hasil revisi. MK adalah pemelihara hak konstitusional rakyat Indonesia untuk mendapat pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta mendapat pemimpin yang bersih dari KKN,” terang Azyumardi.
Jika permohonan pembatalan tidak dikabulkan, Azyumardi berpandangan, MK seolah merestui korupsi yang merajalela sekaligus merestui KPK yang tidak berdaya. Korupsi ditengarai akan semakin merajalela dan peluang pemberian surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) bagi para koruptor pun terbuka lebar.
Kunci kemajuan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto menyampaikan, belajar dari sejumlah negara maju, penerimaan paradigma tidak ada toleransi bagi korupsi adalah kunci kemajuan sebuah bangsa. Sebenarnya dengan terbitnya UU No 30/2002 tentang KPK, Indonesia telah berada di jalur yang benar dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun, tiga tahun terakhir terjadi kemunduran. Kendati Presiden Joko Widodo menyatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, kenyataannya UU No 19/2019 yang merupakan hasil revisi UU No 30/2002 justru membuat KPK menjadi lemah jika dilihat dari struktur kelembagaan.
”Kita semua menyaksikan, meskipun Presiden menyatakan demikian, faktanya pembantu-pembantu terdekat Presiden justru menjadi pelaku korupsi. Dan itu disertai dengan kinerja pemberantasan korupsi yang makin jauh dari apa yang diharapkan masyarakat,” kata Sigit.
Jika MK tidak mengabulkan permohonan uji materi, menurut Sigit, investor dari luar negeri yang peduli pada isu keberlanjutan, hak asasi manusia, serta ekosistem akan enggan masuk. Sebaliknya, investor yang masuk adalah mereka yang menikmati iklim koruptif dengan pola investasi yang ekstraktif terhadap sumber daya alam.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menambahkan, yang terjadi saat ini adalah perumusan hukum yang tidak mengakomodasi realitas dan pengalaman masyarakat. Ketika sebagian besar masyarakat menolak UU direvisi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru menyepakati perubahan UU KPK.
Selama ini harapan besar dibebankan kepada KPK karena merupakan lembaga yang paling dipercaya masyarakat. Sebagai kejahatan yang luar biasa, pemberantasan korupsi pun mesti dilakukan secara luar biasa.
”Kami yang ada di sini akan menjadi pagar hidup untuk tetap mendukung KPK yang sejatinya menjadi lembaga terdepan untuk memberantas korupsi yang sangat luar biasa ini,” ujar Sulistyowati.
Sementara Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Bambang Hero Saharjo berpandangan, proses revisi UU KPK yang tidak benar dan tidak transparan berbuah pada hasil yang salah. Buahnya adalah berbagai kasus yang dilakukan pegawai KPK, seperti mencuri barang bukti dan melakukan pemerasan.
Hal itu mestinya tidak dilanjutkan karena justru menunjukkan bahwa pelemahan KPK seperti tampak disengaja. Untuk itu, Bambang berharap agar UU KPK dapat kembali kepada UU KPK yang lama (UU No 30/2002).
Mantan Wakil Ketua KPK Haryono Umar juga berpandangan, pembentukan KPK telah menjadi senjata makan tuan. Oleh karena itu, KPK dilemahkan dengan segala cara, seperti melalui kasus ”cicak vs buaya” hingga opini bahwa KPK adalah lembaga ”superbodi”. Terakhir, dilakukan revisi UU KPK yang awalnya dinyatakan untuk memperkuat KPK.
Padahal, lanjut Haryono, saat ini bentuk korupsi menjadi semakin berlapis dan rumit. Jika KPK tidak dapat berbuat banyak, ke depan Indonesia tidak akan maju karena korupsi makin merajalela.
”Kita tidak ingin banyak. Cukup KPK dikembalikan ke UU 30/2002 tentang KPK meski itu punya kelemahan. Itu saja. Kita ingin MK tidak menjadi bagian dari (pelemahan) itu,” ujar Haryono.
Sementara itu, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), persidangan di MK tentang permohonan uji materi UU No 19/2019 terakhir digelar pada pertengahan 2020. MK dijadwalkan memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi terhadap UU KPK hasil revisi pada Selasa (4/5/2021). Sejak akhir 2019, tujuh pemohon dalam perkara berbeda itu meminta MK menguji konstitusionalitas sejumlah pasal dalam UU tersebut.