Uji Formil KPK, Akankah Jadi Putusan Monumental?
Besok (4/5/2021), Mahkamah Konstitusi (MK) direncanakan akan membacakan putusan uji konstitusionalitas atas UU KPK. Sejauh ini, seluruh permohonan uji formil undang-undang, tidak ada yang dikabulkan oleh MK.
Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 akan menjadi landmark atau putusan monumental bagi pengujian formil di MK. Jika dikabulkan, maka ini akan menjadi putusan pertama MK mengabulkan permohonan uji formil sepanjang sejarah MK berdiri.
Hingga Mei 2021, MK telah menangani 1.392 perkara pengujian undang-undang (PUU). Ada sekitar 34 putusan yang merupakan perkara uji formil. Amar putusan seluruh permohonan uji formil itu semuanya tidak dikabulkan.
Mantan panitera pengganti MK, Wiwik Budi Wasito, membuat sejumlah catatan tentang perkara-perkara uji formil yang pernah diputus MK. Pada putusan 006/PUU-I/2003 misalnya, MK menyatakan tak berwenang menilai teknik perumusan, seperti sistematika, tata bahasa, dan tata tulis.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan naskah akademis bahkan bukan suatu keharusan konstitusional dan ketiadaannya bukan sebuah cacat hukum yang dapat mengakibatkan batalnya sebuah UU. MK juga menyinggung tentang aspirasi yang tidak tertampung dalam proses pembuatan sebuah undang-undang. Bagi MK saat itu, hal tersebut bukan merupakan salah satu penanda bahwa prosedur pembentukan UU inkonstitusional. Aksi demonstrasi, jika pun dilakukan oleh sebagian masyarakat, sebaliknya dinilai sebagai upaya memberi masukan dan menyerap aspirasi publik.
Baca juga: Harapan Besar di Ujung Penantian Uji Materi UU KPK...
Lebih jauh lagi, dalam putusan 012/PUU-I/2003, Wiwik menyitir bagian putusan yang menyebutkan bahwa kepentingan (modal) asing dalam proses legislasi bukanlah bentuk intervensi atas kedaulatan negara sepanjang pembentukan undang-undang tetap dilakukan secara bebas, independen, tanpa paksaan, tanpa tipu daya, tanpa intervensi (asing) secara langsung dan tetap memerhatikan kepentingan nasional.
Sementara pernyataaan keberatan, penolakan, atau abstain oleh anggota DPR saat pengambilan keputusan adalah lazim dalam praktik berdemokrasi dan tidak menghambat batalnya persetujuan. Sikap MK ini tercermin dalam putusan 002/PUU-I/2003.
Semua putusan tersebut diterbitkan sebelum ada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada beberapa putusan uji formil yang dijatuhkan MK setelah UU ini berlaku. Wiwik mencatat salah satu putusan, yaitu 009-014/PUU-III/2005. Dalam putusan MK itu disebutkan bahwa suatu UU yang tidak memenuhi persyaratan teknis pembentukan UU yang baik tidaklah otomatis secara formil menjadi inkonstitusional.
Hal ini lebih ditegaskan lagi di dalam putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 terkait uji materi UU Mahkamah Agung. Meski diwarnai dissenting opinion dari dua hakim konstitusi dan concurring opinion dari seorang hakim, MK menyatakan bahwa ada cacat prosedural dalam pembuatan UU MA. Akan tetapi dengan alasan materi muatannya lebih baik daripada UU sebelumnya dan tidak memunculkan persoalan hukum, serta sudah dapat diterapkan dan menimbulkan akibat hukum, maka demi asas manfaat demi tercapainya tujuan hukum, UU dinyatakan tetap konstitusional.
UU KPK
Lantas, bagaimana dengan uji formil UU KPK? UU KPK termasuk undang-undang yang direvisi sangat cepat, hanya 12 hari sejak disetujui untuk direvisi di dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 September 2019. Lalu, pada 11 September 2019 Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat presiden menunjuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo sebagai perwakilan pemerintah untuk membahas RUU tersebut bersama DPR.
Pada 13-15 September, rapat pembahasan dilakukan secara tertutup. Pada 16 September, dilakukan pengambilan keputusan tingkat pertama dan sehari kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU.
Dalam salah satu permohonan uji formil yang diajukan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dkk (perkara nomor 79/PUU-XVII/2019), pemohon mempersoalkan tentang kuorum yang tidak terpenuhi pada saat pengesahan RUU KPK menjadi UU. Sebanyak 180 anggota DPR tidak hadir secara fisik di DPR, dan hanya menitipkan absen sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum.
Waktu itu, 287-289 anggota DPR dianggap hadir di persidangan meskipun sebagian besar tidak hadir secara fisik. Hal tersebut, menurut kuasa hukum pemohon Feri Amsari pada sidang pemeriksaan pendahuluan 9 Desember 2019, bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang mengharuskan anggota DPR hadir secara fisik.
Selain itu, pemohon memersoalkan tentang diabaikannya putusan MK sebelumnya oleh pemerintah. Dalam putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017, disebutkan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif. Mengacu pada putusan tersebut, seharusnya, begitu Presiden mengirimkan surpres yang mengirimkan perwakilannya untuk membahas RUU tersebut di DPR, seharusnya ada perwakilan dari KPK mengingat KPK adalah bagian dari eksekutif. Apalagi, KPK merupakan lembaga yang berkaitan dengan pokok-pokok pembahasan revisi secara langsung.
Namun, berdasarkan keterangan Budi Santoso yang merupakan Penasihat KPK dalam sidang MK pada 24 Agustus 2020, sejak awal KPK tidak pernah diinformasikan mengenai rencana revisi UU KPK, apalagi dilibatkan. Menurut kesaksiannya, pimpinan KPK sudah mencoba mengakses melalui Kementerian Hukum dan HAM, melalui Istana, dan juga DPR, dan beberapa pihak yang terkait, tetapi tidak ada respon yang positif bagi KPK.
KPK pernah meminta daftar isian masalah (DIM) ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Namun, yang diterima KPK hanyalah janji, tetapi sampai terakhir RUU disahkan, DIM tidak pernah didapatkan. Begitu juga ketika meminta draf final RUU.
Pimpinan KPK, menurut Budi, sudah mengupayakan yang terbaik untuk dapat mengakses informasi dan data terkait revisi. Pimpinan pun juga mengirimkan dua surat ke Menkumham agar pemerintah bersedia menunda pengesahan revisi UU KPK. Sebab, tidak ada alasan mendesak untuk mempercepat proses revisi.
Apabila lembaga yang merupakan pelaksana undang-undang tak dilibatkan, masyarakat pun mengalami hal serupa. Ini setidaknya terungkap dari kesaksian Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia tahun 2019, Manik Marganama Hendra. Ia hadir di sidang MK untuk menjelaskan aksi-aksi demonstrasi menentang pembahasan revisi UU KPK yang dikenal dengan Aksi Reformasi diKorupsi September 2019. Ia juga menceritakan tentang sulitnya mengakses naskah akademik dan draf revisi UU.
MK akan memutus perkara tersebut pada Rabu (4/5/2021) pukul 10. Bagaimana nasib UU KPK tersebut ke depan? Apabila MK mengabulkan permohonan uji formil UU KPK, putusan tersebut akan menjadi landmark atau putusan monumental sebab baru pertama kali terjadi.
“Pertanyaannya, mereka (para hakim konstitusi) punya nyali apa enggak? Bahkan, untuk yang secara nyata sudah terbukti melanggar prosedur saja, masih bisa dicarikan alasan-alasan pembenaran untuk menolak permohonan uji formil,” kata Wiwik. Alasan-alasan pembenar tersebut tampak dalam putusan nomor 27/PUU-VII/2009.
Lebih jauh Wiwik mengelaborasi tentang nyali yang disebutkannya di atas. Nyali itu, menurutnya, termasuk nyali untuk menghadapi kekuasaan. Sebab, meskipun hakim konstitusi dipilih oleh DPR dan Presiden yang notabene merupakan pembentuk undang-undang, seharusnya para hakim tersebut harus tetap independen.
“Sebab, bagaimana mau mencapai keadilan substansial jika keadilan prosedural saja diabaikan?” ungkapnya.
Keadilan prosedural dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang proporsional kepada semua pihak (stakeholder) untuk ikut urun rembug. Dari sisi pembentukan undang-undang, keadilan prosedural adalah dipenuhinya tata cara pembentukan undang-undang secara amanah.
Meskipun di dalam putusan-putusan sebelumnya telah dinyatakan standing MK dalam melihat prosedur pembuatan undang-undang, para hakim konstitusi dapat membantah putusan tersebut. Hal ini pernah dilakukan ketika MK menyatakan pilkada merupakan rezim pemilu ataukah tidak. Pada awalnya, MK menyatakan bahwa pilkada merupakan rezim pemilu. Akan tetapi, MK kemudian berubah pandangan.
“Justru hal signifikan dari putusan uji formil besok adalah apakah MK berani membuat yurisprudensi baru. Misalnya terkait batas waktu putusan uji formil biar sesuai dengan prosedur pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan. Di putusan 27, MK bilang waktu untuk mengajukan permohonan uji formil perlu dibatasi 45 hari. Alasannya, biar cepat diputus demi kepastian hukum. Tapi nyatanya nggak ada tenggat waktu kapan diputuskan. Akhirnya molor. Akhirnya kepastian hukum juga terabaikan,”ujar Wiwik.
Baca juga: Era Baru KPK: Tersandera, Teramputasi, dan Birokratis
Berdasarkan penelusuran, sidang perdana uji formil UU KPK dilaksanakan pada 14 Oktober 2019. Putusan baru akan dijatuhkan pada 4 Mei 2021. Artinya, MK memerlukan waktu sekitar 1,5 tahun untuk memutus uji formil UU KPK.
Pada saat ini, UU KPK telah dilaksanakan. Amanat-amanat undang-undang seperti pembentukan Dewan Pengawas KPK, perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, dan lainnya sudah dilaksanakan. Permintaan dari para pemohon uji materi agar keberlakuan UU KPK ditunda dalam permohonan provisi, tidak dikabulkan.
Bagaimana sembilan penjaga konstitusi itu akan bersikap. Kita tunggu saja.