Kemenkumham gencar menyosialisasikan RKUHP ke banyak daerah. Diharapkan tahun ini RKUHP dapat disahkan. Namun, masyarakat sipil minta pemerintah membuka diskusi lebih inklusif dan membuka draf RKUHP terbaru.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terus melakukan sosialisasi ulang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana di banyak daerah. Dalam tahapan ini kritik dan masukan dari masyarakat, termasuk para pakar hukum pidana, ditampung. Masyarakat sipil berharap diskusi publik lebih inklusif sehingga bisa menghasilkan pembahasan yang komprehensif.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej saat dihubungi, Minggu (25/4/2021), mengatakan, sosialisasi ulang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan dilaksanakan di 12 kota di Tanah Air. Sosialisasi sudah dilaksanakan di Medan, Semarang, Denpasar, Yogyakarta, Ambon, Padang, Makassar, dan Banjarmasin. Sosialisasi lanjutan masih akan digelar di empat kota besar, yaitu Surabaya, Manado, Mataram, dan Jakarta.
Menurut Eddy, sapaan akrabnya, karena situasi masih pandemi Covid-19, sosialisasi dilakukan secara hibrida, yaitu daring dan luring. Secara luring, peserta dibatasi 100 orang dengan cakupan peserta yang luas mulai dari pakar hukum, aparat penegak hukum baik kepolisian maupun kejaksaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan anggota Komisi III DPR. Selain peserta luring, elemen masyarakat lain juga bisa mengikuti sosialisasi kegiatan secara daring.
”Pada setiap sosialisasi di masing-masing kota, setiap isu kontroversial selalu dipaparkan dan mendapat feedback yang sangat baik,” ujar Eddy.
Eddy menampik tudingan bahwa sosialisasi itu tidak inklusif dan terkesan elitis. Menurut dia, dalam setiap sosialisasi di kota-kota besar, unsur masyarakat sipil seperti lembaga bantuan hukum (LBH) selalu dilibatkan. Selain LBH, juga ada narasumber yang dihadirkan berasal dari LSM, misalnya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Eddy berharap unsur masyarakat sipil di kota-kota yang belum mendapat giliran sosialisasi dapat menunggu. Misalnya di Jakarta, rencananya sosialisasi baru akan dilaksanakan pada Juni. Pihaknya berupaya untuk mengundang berbagai elemen masyarakat, termasuk kelompok minoritas dan rentan.
”Kami berharap masyarakat mendukung sosialisasi ulang RKUHP ini. Sebab, Kemenkumham juga sudah banyak melakukan perbaikan-perbaikan substansi dari pasal yang dianggap problematik. Semoga RKUHP bisa segera disahkan pada tahun 2021 ini,” kata Eddy.
Sejumlah isu krusial yang pada tahun 2019 disoroti masyarakat seperti pasal penghinaan presiden telah diperbaiki. (Edward Omar Sharif Hiariej)
Eddy mengatakan, sejumlah isu krusial yang pada tahun 2019 disoroti masyarakat seperti pasal penghinaan presiden telah diperbaiki. Seperti diketahui, pasal penghinaan kepala negara dalam KUHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap inkonstitusional. Dalam draf terbaru RKUHP, pasal penghinaan presiden hanya bisa dilakukan dengan delik aduan. Artinya, harus presiden dan wakil presiden sendiri yang melaporkan tindakan penghinaan tersebut.
Selain itu, pasal terkait dengan tindakan aborsi juga sudah disesuaikan dengan UU Kesehatan dan masukan dari masyarakat sipil. Untuk pasal yang mengatur tentang pidana mati, dalam draf RKUHP masuk dalam pengaturan pidana khusus, bukan pidana pokok. Artinya, hukuman pidana mati dijatuhkan dengan percobaan. Seseorang yang divonis dengan hukuman pidana mati, dia diberi waktu percobaan pidana penjara 10 tahun. Jika dalam 10 tahun itu dia bisa berkelakuan baik, pidananya dapat diubah dengan pidana seumur hidup atau dalam waktu tertentu.
”Sebenarnya kita sudah melakukan perbaikan dalam banyak hal, termasuk pasal-pasal yang berpotensi over kriminalisasi, banyak yang diubah kata-katanya maupun dihapuskan,” kata Eddy.
Eddy menegaskan, terhadap pasal-pasal yang dianggap kontroversial oleh masyarakat, telah dilakukan tiga hal sebagai solusinya. Pertama, pasal-pasal tersebut direformulasi, dihapuskan, atau dipertahankan dengan argumen tertentu. Oleh karena itu, Kemenkumham meminta dukungan dari masyarakat agar proses sosialisasi RKUHP ini lancar. Sebab, diyakini pengesahan RKUHP ini dapat mengatasi masalah-masalah seperti kelebihan penghuni lembaga pemasyarakat. Di RKUHP ini, hukuman tidak hanya berfokus pada pemenjaraan badan, tetapi juga pidana denda, kerja sosial, dan pidana pengawasan.
Inklusif dan transparan
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, masyarakat sipil berharap diskusi publik terkait dengan penyusunan penyempurnaan RKUHP dapat dilakukan secara lebih inklusif. Inklusivitas itu bisa dilakukan dengan mengundang pihak terdampak yang mewakili isu/sektor, wilayah baik secara geografis maupun jenis kewilayahan seperti kepulauan, desa, daerah terjauh, daerah miskin, dan sebagainya. Selain itu, kelompok minoritas dan rentan juga perlu diberi ruang untuk berpartisipasi dalam diskusi.
”Pihak yang dilibatkan dalam sosialisasi kemarin seolah hanya milik akademisi. Padahal, saat diundangkan, KUHP akan menyasar semua kalangan tanpa pandang bulu. Seharusnya diskusi bisa lebih inklusif sehingga masalah dan dampak RKUHP dapat dikalkulasi secara holistik oleh masyarakat Indonesia,” kata Maidina.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP berharap diskusi publik yang dilakukan oleh Kemenkumham tidak formalistik, dan satu arah. Apalagi, jika yang diharapkan dari diskusi publik itu adalah percepatan pengesahan RKUHP sehingga diskusi yang dilaksanakan tidak mendalam. (Maidina Rahmawati)
Maidina menambahkan, Aliansi Nasional Reformasi KUHP berharap diskusi publik yang dilakukan oleh Kemenkumham tidak formalistik, dan satu arah. Apalagi, jika yang diharapkan dari diskusi publik itu adalah percepatan pengesahan RKUHP sehingga diskusi yang dilaksanakan tidak mendalam. Aliansi berharap, pembicara yang diundang dalam diskusi tersebut lebih berimbang terutama pihak-pihak yang kritis terhadap RKUHP.
”Jangan sampai penyempurnaan dan penyusunan RKUHP ini hanya formalitas belaka yang masih menyisakan permasalahan tak kunjung selesai,” kata Maidina.
Maidina juga menyampaikan soal transparansi naskah RKUHP yang menurut dia masih sulit diakses publik. Hal itu mengakibatkan masyarakat kesulitan memberikan masukan yang komprehensif. Saat hendak memberikan masukan, masyarakat dianggap dalam posisi tidak membaca keseluruhan draf. Padahal, draf yang dimaksud pemerintah itu masih sulit diakses.
”Aliansi memetakan ada 24 isu krusial, sementara pemerintah hanya menyatakan ada 14 isu yang dibahas mendalam, tanpa penjelasan komprehensif. Kami berharap pemerintah lebih transparan dan membuka draf terbaru ke publik, serta menjelaskan perubahan dan pembahasan yang dilakukan pasca September 2019,” tegas Maidina.