Ekspor Ilegal dan Bank Garansi untuk Benur Dinilai Tanpa Dasar Hukum
Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diadili. Ia didakwa memberi izin dua perusahaan pengekspor benih bening lobster alias benur melakukan ekspor tanpa surat ketetapan waktu pengeluaran.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengungkap bahwa dua perusahaan pengekspor benih bening lobster alias benur yang melakukan ekspor tanpa surat ketetapan waktu pengeluaran. Kedua perusahaan itu adalah PT Aquatic SS Lautan Rejeki dan PT Tania Asia Marina. Mereka melakukan ekspor benur pertama kali sekitar bulan Juni tanpa prosedur seharusnya.
Mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M Zulficar Mochtar mengatakan, ada dua perusahaan yang melakukan ekspor benih bening lobster (BBL) pada pertengahan Juni 2020. Dua perusahaan itu lolos sebagai eksportir walaupun belum mendapatkan surat ketetapan waktu pengeluaran (SKWP) dari pihaknya. Padahal, jika sesuai prosedur, prosesnya harus melewati perizinan di Dirjen Perikanan Tangkap KKP.
”Saya belum pernah mengeluarkan surat apa pun kok tiba-tiba lolos dua perusahaan itu (sebagai eksportir). Jadi, saya anggap itu ilegal karena banyak proses dilanggar. Tidak boleh lagi ke depan, tata kelola harus pas,” ujar Zulficar saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu.
Ketua majelis hakim Albertus Usada sempat mengkritik jaksa penuntut umum yang dinilai setengah-setengah dalam menggali fakta di persidangan. Menurut dia, persoalan dua perusahaan yang mendapatkan izin ekspor tanpa mekanisme yang benar itu adalah masalah besar. Jaksa diharapkan dapat menggali lebih dalam fakta-fakta tersebut. Apalagi, terdakwa lain dalam kasus ini, yaitu Suharjito, telah ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatan (justice collaborator).
Saya belum pernah mengeluarkan surat apa pun kok tiba-tiba lolos dua perusahaan itu (sebagai eksportir). Jadi, saya anggap itu ilegal karena banyak proses dilanggar. Tidak boleh lagi ke depan, tata kelola harus pas.
”Jangan sampai ada kesan perusahaan ini tidak tersentuh. Kenapa tidak bisa disentuh? Sebab melakukan ekspor tanpa SPWP itu adalah masalah besar. Ini seharusnya menjadi kewenangan penyidik,” kata Usada.
Belum ada dasar hukum
Lebih jauh, Zulficar menjelaskan, dirinya pun hanya mengetahui bahwa dua perusahaan itu sudah lolos untuk mengekspor BBL melalui pemberitaan media. Setelah itu, dia melaporkan temuan itu kepada Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Rina.
Rina mengonfirmasi benar dua perusahaan itu telah melakukan ekspor benur. Menurut dia, perizinan yang dimiliki dua perusahaan itu sudah sesuai dengan aturan Peraturan Menteri KKP Nomor 12 Tahun 2020.
Namun, Rina juga mengungkapkan bahwa uang senilai Rp 52,3 miliar yang disetorkan melalui bank garansi belum ada dasar hukumnya. Uang tersebut seharusnya dipungut untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang Tarif Atas Jenis PNBP, setiap 1.000 ekor BBL dikenai tarif Rp 250. Namun, PNBP itu belum diatur secara rinci di Permen KKP Nomor 12 Tahun 2020.
Apakah pungutan setoran jaminan perikanan (dalam bank garansi) ini belum ada dasar hukumnya?
”Apakah pungutan setoran jaminan perikanan (dalam bank garansi) ini belum ada dasar hukumnya?” tanya jaksa KPK.
Rina menjelaskan, uang tersebut diterima dari sejumlah eksportir sebagai bentuk komitmen atas diberikannya izin ekspor kepada sejumlah perusahaan untuk mengirimkan BBL ke Vietnam.
Direktur PNBP Sumber Daya Alam Kementerian Keuangan Kurnia Charir membenarkan bahwa pungutan itu belum ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, tak bisa dikategorikan sebagai PNBP. Pungutan itu baru bisa disebut sebagai PNBP apabila sudah diatur dalam Permen KKP.