Buktikan Keseriusan Satgas BLBI
Komisi III DPR mengingatkan pemberantasan korupsi tidak semata-mata terkait dengan pengembalian uang negara, tetapi juga penegakan hukum, pencegahan, dan penindakan untuk memberikan efek jera.
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia akan menemui jalan berliku dalam tugasnya. Namun, mereka diharapkan bisa mengatasinya. Pembentukan satgas itu tidak hanya untuk memberikan harapan dan menjaga menjaga kepercayaan publik dalam pemberantasan korupsi, tetapi juga sungguh-sungguh ingin mengembalikan kekayaan negara.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto mengatakan, upaya pengembalian kekayaan negara melalui proses perdata dalam kasus BLBI ini kemungkinan akan rumit karena pemberian BLBI terjadi pada 1998. Upaya penanganan kasus perdata dinilai cukup terlambat karena kasus ini lebih dari satu dekade tidak ada kemajuan.
”Kalau saya membayangkan tentu tidak mudah karena mereka sendiri akan mulai dari pintu masuk mana untuk menagih dana itu. Sebenarnya BPK sejak awal 2000 telah membuat kajian yang menyatakan adanya kerugian negara dalam kasus ini. Artinya, kalau ada kerugian berarti ada yang merugikan. Siapa pihak yang merugikan itu, tentunya harus dibuktikan melalui proses hukum,” katanya, saat dihubungi, Jumat (16/4/2021), dari Jakarta.
Namun, dengan segala proses pidana yang dilalui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim, yang keduanya merupakan obligor penerima BLBI melalui Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dan Bank Dewa Ruci. Keduanya sebelumnya ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada 2019.
Baca juga : Penanganan Kasus BLBI Jangan Terpaku pada Jalur Perdata
Penerbitan SP3 oleh KPK, 1 April 2021, itu dilakukan setelah adanya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan tindakan penerbitan surat keterangan lunas (SKL) yang dilakukan oleh mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung bukanlah suatu perbuatan pidana, melainkan perdata. Ini menjadi penerbitan SP3 yang pertama kali dilakukan oleh KPK setelah adanya UU KPK yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2019.
Sigit berharap, Satgas BLBI itu benar-benar bekerja untuk merealisasikan tagihan terhadap para obligor dan debitor BLBI. Jangan sampai Satgas itu dibentuk hanya untuk memberikan harapan publik, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kasus ini.
Rasa keadilan publik
Kendati demikian, penyelesaian secara perdata dalam kasus ini belum mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Penuntasan secara perdata mungkin hanya menyelesaikan persoalan keuangan negara. Namun, siapa yang bertanggung jawab atas kerugian itu menjadi tidak dapat dijerat pidana.
”BPK telah melakukan audit dan ada ratusan triliun rupiah keuangan negara yang dirugikan karena kasus itu. Tentu harus ada yang bertanggung jawab atas kerugian negara itu. Tetapi, ketika pintu pidana tidak ditempuh, tentu itu melukai rasa keadilan masyarakat,” ucap Sigit.
Sementara itu, dalam keterangan pers, Jumat, Kepolisian Negara RI menyatakan sikapnya untuk mendukung tugas Satgas BLBI. Kepolisian ditunjuk menjadi salah satu pengarah Satgas BLBI bersama dengan kejaksaan dan lima kementerian lainnya.
”Bahwa sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, yang diterbitkan 6 April 2021, Polri siap mendukung Satgas BLBI ini. Polri tentunya akan hadir sebagai bagian dari pengarah yang memberikan arah kepada pelaksanaan percepatan penanganan pemulihan hak tagih negara dan aset BLBI,” kata Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri.
Target 2023
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan, Satgas akan bekerja optimal hingga tenggat waktu 2023. Tim Satgas BLBI segera menyusun skala prioritas untuk menentukan target yang harus dicapai.
”Kita akan memetakan skala prioritas, tagihan-tagihan, kemudian Satgas BLBI diberi waktu sampai 2023 untuk bekerja,” kata Yasonna seusai menghadiri rapat koordinasi Satgas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI di Kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Jakarta, Kamis.
Dalam rakor tersebut, hadir Menko Polhukam Mahfud MD, Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Berdasarkan hasil penghitungan terkini yang dilakukan Kementerian Keuangan, sesuai perkembangan kurs, pergerakan saham, nilai properti yang dijaminkan per hari ini, total aset hak tagih BLBI mencapai Rp 110 triliun. Dari jumlah itu, terdapat enam macam bentuk aset hak tagih BLBI, di antaranya kredit properti, rekening uang asing, serta saham. Lalu, ada juga 12 kompleksitas persoalan penagihan, di antaranya jaminan yang digugat pihak ketiga.
Pintu pidana terbuka
Dalam keterangan pers, Kamis, Mahfud menegaskan, dengan pembentukan Satgas itu bukan berarti pintu pidana tertutup dalam kasus itu. Pasalnya, ada beberapa jaminan yang diberikan oleh obligor dan debitor yang ternyata digugat oleh pihak ketiga, atau pihak lain. Akibatnya, jaminan itu tidak dapat dijadikan pengganti kerugiaan negara. Dalam hal ini, pihak debitor dan obligor dapat saja dikenai dugaan kasus penipuan. Sebab, sampai saat ini belum ada pengganti jaminan yang diberikan kepada negara.
”Nah, jadi kalau ada pidananya justru akan ketemu dari sini. Kita tidak menutup pidananya. Cuma menutup kasus Sjamsul Nurslaim. Oleh karena sudah ada putusan MA, dan melawan MA juga tidak mungkin. Karena itu, kita fokus ke perdatanya,” kata Mahfud.
Dalam prosesnya, ketika diketemukan ada obligor dan debitor yang melakukan tindak pidana, menurut Mahfud, mereka dapat diseret ke pengadilan. Salah satu contoh problem yang ditemui oleh satgas, antara lain adanya surat pernyataan jaminan palsu dari obligor dan debitor, atau ternyata jaminan yang diberikan kepada negara itu milik pihak lain.
Mahfud mengakui ada sejumlah kesulitan dalam pengembalian dan penagihan keuangan negara itu. Pada kenyataannya, ada bentuk jaminan berupa daftar properti yang penyerahannya kepada negara secara resmi belum ditandatangani. Selain itu, ada pula barang yang telah dijaminkan kepada negara, tetapi tidak pernah diserahkan kepada negara.
Problem lainnya, ada aset-aset yang sudah berpindah ke luar negeri. Untuk mengatasi aset-aset yang telah berpindah ini, lanjut Mahfud, pemerintah akan bekerja sama dengan Interpol, atau melakukan kerja sama internasional.
”Kami juga dapat melakukan langkah gijzeling, yakni upaya paksa berupa penahanan fisik kepada debitor yang ingkar atau tidak membayar utang kepada negara,” katanya.
Terkait masih dibukanya kemungkinan pidana ini, Sigit mengatakan, hal itu seharusnya dilakukan sejak awal oleh negara, dan bukan saat ini ketika SP3 telah dikeluarkan oleh KPK.
Upaya kembali kepada proses pidana, menurut dia, akan sangat tergantung kepada niatan pemerintah. Pasalnya, UU KPK yang baru seolah didesain untuk memberikan kemungkinan bagi KPK menghentikan penyidikan. Padahal, upaya ini tidak dapat ditempuh oleh KPK dalam UU KPK yang lama.
Preseden buruk
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ahmad Dimyati Natakusumah, mengatakan, penerbitan SP3 oleh KPK menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Kalaupun KPK mau membawa kembali proses tersebut ke ranah pidana, harus ada novum atau bukti baru yang diajukan kepada MA. Namun, pada kenyataannya, jaksa penuntut umum kini tidak dapat lagi mengajukan peninjauan kembali (PK).
”Memang berat untuk menuju ke sana. Peristiwa ini menjadi preseden buruk di tengah korupsi kita yang masif,” katanya.
Baca juga : Kasus Pidana Baru Bisa Terungkap Saat Perburuan Aset BLBI
Senada dengan Sigit, Dimyati menilai UU KPK yang baru membuka celah pada pelemahan pemberantasan korupsi. Sebab, kini KPK dapat menghentikan penyidikan perkara, dan itu secara tidak langsung menunjukkan KPK bisa keliru di mata hukum dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi.
”Jangan sampai perkara korupsi ini menjadi hal biasa karena korupsi di Indonesia ini sudah terstruktur, sistematis, dan masif,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, mengingatkan, pemberantasan korupsi tidak semata-mata terkait dengan pengembalian uang negara, tetapi juga penegakan hukum, pencegahan, dan penindakan untuk memberikan efek jera.