Kasus Pidana Baru Bisa Terungkap Saat Perburuan Aset BLBI
Dalam upaya perburuan aset terkait BLBI, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan, bukan tidak mungkin ditemukan kasus pidana baru. Mereka yang terindikasi melakukan tindak pidana dijanjikan akan ”diseret” ke pengadilan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Kasus pidana baru terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI bisa saja terungkap ketika Satuan Tugas BLBI memburu seluruh aset BLBI untuk disita melalui mekanisme perdata. Bagi mereka yang terindikasi melakukan pidana, dijanjikan akan ”diseret” ke pengadilan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD seusai rapat perdana dengan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI bentukan pemerintah, Kamis (15/4/2021), mengatakan, total aset yang dijaminkan debitor dan obligor BLBI berdasarkan penghitungan terakhir oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencapai Rp 110.454.809.645.467.
Selain Mahfud MD, rapat dihadiri pula, antara lain, oleh Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Rapat berlangsung tertutup lebih dari satu jam. Sebelumnya, Mahfud menyebut total aset terkait BLBI Rp 108 triliun kemudian berubah jadi Rp 109 triliun.
Jumlah perhitungan terakhir Kemenkeu tersebut, menurut Mahfud, telah mengacu pada perkembangan kurs uang, pergerakan saham dan aset properti terkini. Kemenkeu pun telah memetakan seluruh aset tersebut, dari mulai uang yang bisa ditagih hingga aset lainnya, seperti saham dan properti.
Namun, sebelum satgas mulai menagih ataupun menyita aset-aset itu, Mahfud mendorong para obligor untuk secara sukarela melunasi utangnya. ”Akan sangat baik jika secara sukarela datang ke pemerintah, Kemenkeu,” ujarnya.
Sebaliknya, jika debitor atau obligor tak juga melunasi utangnya, negara mempertimbangkan hukuman penyanderaan fisik. ”Di perdata, kan, ada penyanderaan fisik yang dilakukan kepada orang yang ingkar dan tidak mau membenahi kewajiban itu,” tambahnya.
Mengenai jumlah debitor dan obligor BLBI yang belum melunasi utangnya, Mahfud mengatakan jumlah 48 debitor dan obligor yang pernah disebutnya, merujuk pada jumlah penerima dana BLBI pada 1998. Namun dari jumlah tersebut, ada yang sudah melunasi utangnya. ”Nanti kita beri tahu jumlahnya,” ujarnya.
Aset Sjamsul Nursalim
Adapun Sjamsul Nursalim disebutnya termasuk yang belum melunasi utang. Utang Sjamsul terkait BLBI untuk BDNI dan Bank Dewaruci. ”Itu akan ditagih dan masuk dalam hal tersebut (aset BLBI yang diincar untuk disita),” tambahnya.
Seperti diketahui, KPK pada 31 Maret lalu memutuskan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terkait kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) beserta istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. Penerbitan SP3 dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) dari KPK pada 2020.
Pengajuan PK ini terkait dengan putusan MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan hukum karena perbuatannya tak termasuk tindak pidana. Syafruddin adalah mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang pada 2004 mengeluarkan surat pembebasan dari tuntutan hukum (release and discharge) dalam bentuk Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
Meski demikian, dalam kasus tersebut, kerugian negara diduga Rp 4,58 triliun.
Dalam upaya perburuan aset terkait BLBI, Mahfud melanjutkan, bukan tidak mungkin ditemukan kasus pidana baru.
”Tetapi bukan karena SKL, misalnya memberikan jaminan tanahnya ternyata yang dijaminkan ke negara punya orang lain. Berarti memberikan pernyataan ternyata palsu. Bahkan ada di antara sekian jaminan itu yang kemudian menjadi perkara di pengadilan milik orang lain. Padahal yang menjaminkan pidananya tidak mengubah. Jadi nanti kalau dari sekian obligor atau debitor ini melakukan tindak pidana, ya, kita seret lagi ke pengadilan,” jelasnya.
Karena itu, Mahfud mengatakan, dalam satgas dilibatkan pula Kapolri dan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara pada Kejaksaan Agung (Kejagung).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yakin Satgas BLBI akan bekerja optimal hingga tenggat masa kerja satgas pada 2023 seperti diamanatkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021. ”Kita akan memetakan skala prioritas, tagihan-tagihan. Saya yakin Satgas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI bisa bekerja optimal, bisa kita lakukan sesuai target,” katanya.
Audit BPK
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, dalam diskusi Satu Meja The Forum yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (14/4/2021) malam, mengapresiasi pembentukan Satgas BLBI sebagai upaya dari eksekutif untuk memulihkan aset dan hak negara. Namun, ia mengingatkan, upaya pemulihan melalui jalur perdata akan terjal dan berliku.
Salah satunya karena sudah banyak aset beralih kepemilikan hingga ”dilarikan” ke luar negeri. ”Pakai jalur pidana saja kita kesandung-sandung (sulit). Apalagi pakai perdata,” kata Arsul.
Selain melalui jalur perdata, ia pun mendorong aparat penegak hukum, seperti KPK dan Kejaksaan Agung, untuk lebih jeli melihat kasus dugaan korupsi terkait BLBI. Pasalnya, putusan MA, yang menyatakan bahwa kasus dana BLBI tidak ada unsur pidananya, hanya untuk terdakwa Syafrudin Arsyad Tumenggung. Terlebih, audit BPK sudah jelas menyebutkan bahwa ada penyalahgunaan dana BLBI dengan potensi kerugian negara Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen.
”Indonesia, kan, tidak menganut asas binding, preseden yang lazim digunakan di negara common law. Kenapa tidak dilakukan analisis ulang potensi pidananya, jika memang ada. Di Indonesia, putusan MA berbeda antara satu majelis dan lainnya sudah biasa, tidak menjadi preseden pengadilan yang mengikat,” kata Arsul.