Pemerintah Kejar Aset Rp 110 Triliun dari 48 Obligor BLBI
Pemerintah akan menagih 48 obligor yang menerima dana BLBI dengan nilai aset mencapai Rp 110 triliun. Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah, termasuk penyanderaan badan, jika obligor tersebut ingkar.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tercatat 48 obligor penerima kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang akan ditagih utangnya secara perdata oleh negara. Nilai aset yang diburu diperkirakan mencapai Rp 110 triliun. Dengan adanya berbagai tantangan, sejumlah pihak pesimistis nilai aset tersebut sepenuhnya dapat dikembalikan ke kas negara.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melalui keterangan resmi, Selasa (13/4/2021), mengatakan, ke-48 obligor itu memberikan berbagai jenis jaminan utang kepada negara dalam kasus BLBI 1998. Para obligor itu menyerahkan aset berupa barang, sertifikat, uang, rekening, deposito, dan jaminan lainnya.
Ada 48 obligor yang memberikan berbagai jenis jaminan utang kepada negara dalam kasus BLBI 1998.
Dalam perkembangannya, nilai aset-aset tersebut harus diverifikasi dan dihitung ulang. Sebab, ada barang yang menyusut nilainya atau bahkan telah dialihkan kepemilikannya ke pihak lain. Ada pula yang asetnya dialihkan ke luar negeri, seperti ke Singapura dan Swiss. Masalah lainnya, jaminan berupa sertifikat dan barang yang dulu diserahkan kepada negara belum dialihkan kepemilikannya.
”Karena itu semula memang utang perdata, kita tagih secara perdata. Pemerintah membentuk satgas ini untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi,” ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, fungsi Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI adalah untuk menyelesaikan 12 masalah yang telah diidentifikasi sebelumnya. Misalnya, jika aset berada di luar negeri dan mesti berurusan dengan pengadilan setempat, jaksa pengacara negara perlu mengurusnya. Kerja intelijen pun dibutuhkan dalam mengejar aset BLBI, terutama jika aset itu disembunyikan asal-usulnya atau sudah dialihkan kepemilikannya.
Mahfud mengatakan, satgas dibentuk pemerintah untuk kepentingan pengembalian aset negara. Sementara putusan Mahkamah Agung dalam perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin A Temenggung menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan bukan termasuk ranah hukum pidana. Untuk itu, pemerintah akan mengejar aset-aset tersebut melalui jalur perdata.
”Aset dan dokumen yang dulu dijadikan jaminan utang supaya bisa dikembalikan kepada negara secara perdata,” terang Mahfud.
Apabila dalam perkembangannya para obligor ini membangkang atau melakukan pengingkaran terhadap kewajibannya, pemerintah dapat melakukan penyanderaan badan (gijzeling).
Penyanderaan badan
Mahfud menjelaskan, apabila dalam perkembangannya para obligor ini membangkang atau mengingkari kewajibannya, pemerintah dapat melakukan penyanderaan badan (gijzeling). Bahkan, jika mereka tetap mengelak untuk membayar utangnya, negara bisa menjerat para obligor ini dengan pasal penipuan terhadap negara yang merupakan tindakan pidana. Berbagai kemungkinan masih dijajaki dan dipelajari oleh satgas.
Selain itu, satgas juga mempelajari dan menghitung berapa aset utang perdata obligor yang bisa dieksekusi oleh negara. Setelah kasus berjalan selama 23 tahun, diperkirakan sudah banyak perubahan yang terjadi pada aset yang dijaminkan kepada pemerintah.
”Pemerintah akan menyiapkan metode khusus pembuktian harta dan juga menyiapkan upaya penyanderaan badan dalam hukum perdata jika para obligor ini membangkang. Yang jelas, uang harus dikembalikan kepada negara,” tegas Mahfud.
Kerja sama intelijen
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menambahkan, PPATK sudah dilibatkan dalam penyisiran aset jaminan utang perdata BLBI sejak beberapa bulan lalu. Secara teknis, PPATK sudah bekerja untuk mendukung upaya penelusuran aset utang perdata BLBI.
Upaya penelusuran itu merupakan kinerja intelijen seperti mengidentifikasi semua dokumen yang dihubungkan dengan tagihan para obligor. Selain itu, PPATK juga mengaudit penelusuran aset. Diperkirakan, aset sudah beralih ke mana-mana sehingga membutuhkan penelusuran dan pelacakan lebih teliti.
”Ini bukan hal baru bagi PPATK. Penelusuran aset merupakan kegiatan rutin apabila ada kasus pidana seperti korupsi KTP-el. Kami lakukan pelacakan dan penelusuran secara domestik maupun internasional,” kata Dian.
Dian mengatakan, saat ini PPATK sudah menjadi anggota organisasi internasional intelijen keuangan untuk memberantas pencucian uang maupun pembiayaan untuk teroris. Organisasi internasional itu bernama Egmont Group.
Di organisasi itu, ada 163 negara yang tergabung dalam jaringan sehingga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang dibutuhkan untuk memberantas tindak pidana pencucian uang. Singapura dan Swiss termasuk negara yang tergabung dalam Egmont Group. PPATK akan mengoptimalkan jaringan ini untuk melacak aset-aset BLBI.
”Para anggota Egmont Group memiliki kewajiban memberikan respons atau informasi apabila ada permintaan dari negara anggota untuk menelusuri pencucian uang. Jadi sifatnya resiprokal,” kata Dian.
Pengembalian aset utang perdata dana BLBI ini akan semakin optimal apabila Indonesia telah memiliki UU Perampasan Aset.
Namun, menurut Dian, pengembalian aset utang perdata dana BLBI ini akan semakin optimal apabila Indonesia telah memiliki UU Perampasan Aset. Sebab, undang-undang tersebut dapat menjerat orang yang diduga melakukan pencucian uang. Tanpa ada tindak pidana yang terbukti, negara tetap bisa memerkarakan asal-usul hartanya apabila ada dugaan pencucian uang. Apabila ada kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, sementara pemerintah merasa dirugikan, jaksa pengacara negara bisa langsung memerkarakan.
”Sejauh bisa dijelaskan bahwa harta ini memang hasil kejahatan atau utang yang wajib dibayar, misalnya kepada pemerintah, negara bisa kejar dengan cara mengambil alih aset-asetnya, termasuk jika aset itu telah diserahkan kepada orang lain, tetap bisa diuber,” papar Dian.
Dian berharap DPR bisa segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Sebab, dalam kasus dana BLBI ini, kerugian negara jelas dan telah diaudit oleh BPK. Apabila sudah ada payung hukum UU Perampasan Aset, negara bisa mengambil alih harta para obligor secara perdata untuk memenuhi kewajiban utangnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, saat ini Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan kelompok kerja antarkementerian dan lembaga serta menyiapkan sistem kerja dalam rangka penanganan hak tagih negara dana BLBI.
Direktur Legal Culture Institute M Rizqi Azmi berpendapat, tugas satgas tidak mudah karena kasus BLBI sudah ada sejak 1998. Aspek pembuktian aset utang perdata diperkirakan sulit didapatkan. Apalagi, regulasi yang ada juga belum mendukung untuk perampasan aset.
Satgas harus melintasi batas negara dengan sistem hukum yang berbeda dan memerlukan perjanjian timbal balik (MLA) antara Indonesia dan negara lain seperti disyaratkan dalam konvensi PBB tentang antikorupsi tahun 2003. ”BLBI ini megakorupsi dalam sejarah korupsi di Indonesia dengan kerugian mencapai Rp 138,7 triliun. Diperlukan keseriusan dan keberanian dalam mengungkap dan mengembalikan aset milik negara, terutama dalam masa sulit seperti ini,” kata Rizqi.