Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 yang berisi 33 RUU. Dalam waktu sangat terbatas, DPR diminta bahas RUU krusial dan RUU yang bersentuhan langsung dengan rakyat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas memberikan laporan Prolegnas RUU Prioritas 2021 kepada Ketua DPR Puan Maharani saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 yang berisi 33 rancangan undang-undang akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/3/2021). Dengan sisa waktu sekitar sembilan bulan bahkan bisa lebih sempit lagi akibat terpangkas masa reses, DPR dan pemerintah diharapkan terlebih dahulu membahas RUU yang krusial dan bersentuhan langsung dengan kepentingan publik.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, dalam rapat paripurna, mengatakan, dalam penyusunan Prolegnas Prioritas 2021, Baleg DPR menerima usulan 61 RUU, terdiri dari 42 RUU usulan komisi, fraksi, anggota DPR, dan masyarakat. Selain itu, ada pula 13 RUU usulan pemerintah dan enam RUU usulan DPD.
Ia menjelaskan, ada lima parameter yang telah disepakati antara Baleg, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), serta DPD, terhadap RUU yang akan dimasukkan ke dalam Prolegnas 2021.
Kelima parameter tersebut adalah RUU dalam tahap pembicaraan tingkat satu; RUU yang menunggu Surat Presiden (Surpres); RUU yang telah selesai dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di Baleg DPR; RUU yang dalam tahap penyusunan dan tersedia naskah akademik dan draf RUU; serta RUU usulan baru yang telah tercantum dalam Prolegnas 2020-2024 dan memenuhi urgensi tertentu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly menyerahkan daftar RUU Prolegnas kepada Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas dalam Rapat Kerja Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas 2021.
Total ada 33 RUU di Prolegnas 2021 yang disepakati saat pengambilan keputusan tingkat pertama antara Baleg DPR dan Kemenkumham, 9 Maret. Adapun, 33 RUU itu terdiri dari 21 RUU diusulkan DPR dengan catatan dua RUU diusulkan bersama pemerintah, 10 RUU diusulkan pemerintah, dan 2 RUU diusulkan DPD RI.
Total ada 33 RUU di Prolegnas 2021 yang disepakati saat pengambilan keputusan tingkat pertama antara Baleg DPR dan Kemenkumham, 9 Maret lalu. Adapun, 33 RUU itu terdiri dari 21 RUU diusulkan DPR dengan catatan dua RUU diusulkan bersama pemerintah, 10 RUU diusulkan pemerintah, dan 2 RUU diusulkan DPD RI.
Dalam rapat bersama antara Kemenkuham dan Baleg tersebut, RUU Pemilihan Umum (Pemilu) ditarik dari daftar Prolegnas 2021 dan digantikan dengan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang diusulkan pemerintah.
Memilah dan memilih
Di sela-sela Rapat Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, pada Selasa ini, sejumlah fraksi menyampaikan interupsi. Itu dilakukan karena tidak ada agenda pembacaan sikap dari setiap fraksi seusai pengesahan Prolegnas 2021.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Marwan Cik Asan berpandangan, di tengah keterbatasan waktu pembahasan RUU yang hanya sekitar tujuh bulan dan masih dalam suasana pandemi Covid-19, seyogianya DPR dan pemerintah bisa lebih memilah dan memilih RUU yang prioritas untuk dibahas.
”Kami mengharapkan agar kita dapat lebih memilih dan memilah karena tidak mungkin 33 RUU itu bisa kita selesaikan semua di tahun 2021 ini,” tutur Marwan.
Kompas/Wawan H Prabowo
Perwakilan Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Asan menyerahkan laporan pandangan Fraksi Partai Demokrat.
Fraksi Demokrat, lanjut Marwan, mendukung penuh seluruh RUU yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan rakyat, misal RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan, RUU tentang Wabah, RUU tentang Daerah Kepulauan, RUU tentang Perlindungan Data Pribadi, serta RUU tentang tonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Namun, Fraksi Demokrat mengkritik pencabutan RUU tentang Pemilu dari daftar Prolegnas 2021. Menurut Marwan, RUU tersebut penting untuk mulai didiskusikan dan dibahas. Ia mengajak semua pihak untuk belajar dari penyelenggaraan Pemilu 2019 yang telah menghadirkan sejumlah masalah akibat kontestasi yang digelar serentak.
”Untuk itu, kami memandang bahwa RUU Pemilu ini sangat urgen untuk kita masukkan dan mulai kita bahas di Prolegnas Prioritas 2021,” kata Marwan.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Anggota Dewan berbincang sebelum dimulainya Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/3/2021).
Interupsi juga disampaikan Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa Amaliah. Sejalan dengan Marwan, fraksinya pun menilai RUU Pemilu penting dibahas demi perbaikan sistem pemilu dan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia.
”Sehingga, kami masih tetap berharap kita bisa memperbaiki sistem ini menjadi lebih baik lagi untuk demokrasi Indonesia yang lebih baik,” ujar Ledia.
Selain itu, Fraksi PKS juga meminta agar RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) tidak dibahas. Sebab, saat ini pandemi Covid-19 masih melanda Indonesia. ”Sebaiknya ditarik oleh pemerintah agar nanti kita bisa lebih fokus pada pembahasan rancangan undang-undang yang lebih fokus kepada penyelesaian urusan-urusan yang sangat terasa oleh masyarakat,” ucapnya.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Seusai Rapat Paripurna, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, penetapn RUU prioritas dalam Prolegnas 2021 tak terlepas dari penyerapan aspirasi publik. Keinginan publik dipertimbangkan dan kemudian dilakukan kajian mendalam terkait pro dan kontranya sebelum RUU tersebut masuk dalam prolegnas tahun ini.
Ini memperlihatkan betapa DPR juga menyerap aspirasi kelompok sipil perempuan yang ingin mendapatkan perlindungan dari negara terhadap kejahatan kekerasan seksual. Lewat RUU PKS ini juga, negara memperlihatkan keberpihakannya kepada korban kekerasan seksual.
Salah satunya, ia menyebut, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang masuk ke dalam Prolegnas 2021. Menurut dia, ini merupakan bukti keberpihakan DPR dan pemerintah kepada perempuan.
”Ini memperlihatkan betapa DPR juga menyerap aspirasi kelompok sipil perempuan yang ingin mendapat perlindungan dari negara terhadap kejahatan kekerasan seksual. Lewat RUU PKS ini juga, negara memperlihatkan keberpihakannya kepada korban kekerasan seksual,” tutur Puan.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Senin (8/3/2021).
Sebagaimana diketahui, RUU PKS sebenarnya sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak 2012. Namun, RUU tersebut baru masuk dalam prolegnas pada tahun ini.
Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, terjadi 432.471 kasus kekerasan seksual selama 2019. Dari data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual naik 792 persen selama 12 tahun terakhir dan sebanyak tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual dalam setiap 2 jam. Banyak di antara korban kekerasan seksual yang merupakan anak. Pada 2019, jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual mencapai 2.341 orang.
Kualitas legislasi
Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi menuturkan, DPR hanya memiliki waktu terbatas dalam pembahasan legislasi di tahun ini. Sampai Desember 2021, sisa waktu pembahasan hanya sekitar sembilan bulan. Itu pun belum dikurangi masa reses anggota Dewan.
Dengan waktu yang sangat terbatas, menurut Hanafi, peningkatan produktivitas DPR dalam legislasi sulit diharapkan. Karena itu, yang terpenting saat ini adalah peningkatan kualitas legislasi dengan proses pembahasan yang lebih demokratis.
”Jangan sampai dua-duanya enggak didapat, produktivitas tidak meningkat, legislasi yang dihasilkan juga tidak berkualitas,” kata Hanafi.
Ruang keterlibatan publik harus dibuka secara luas. Setiap aspirasi publik yang disampaikan pada masa reses pun juga harus diperjuangkan dalam proses pembahasan.
Kompas/Raditya Helabumi
Para pegiat hak-hak perempuan mengikuti aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/11/2020).
Untuk sampai pada proses pembahasan yang lebih demokratis, menurut Hanafi, ruang keterlibatan publik harus dibuka secara luas. Setiap aspirasi publik yang disampaikan pada masa reses pun juga harus diperjuangkan dalam proses pembahasan.
”Jadikan korelasi reses itu dengan agenda legislasi ketika pembahasan,” tutur Hanafi.
Hanafi menambahkan, sebenarnya, dengan penetapan Prolegnas 2021, ini lebih berpengaruh pada agenda pembangunan, maupun agenda politik nasional. Misal, jika RUU Pemilu tidak dimasukkan dalam prolegnas tahun ini, artinya pemilu tidak dianggap menjadi prioritas oleh DPR dan pemerintah.
”Alhasil, nanti, kalau misal masuk ke (Prolegnas) 2022, itu pasti pembahasannya terburu-buru. Jadi enggak serius dan pasti berpengaruh pada kualitas legislasinya,” ucap Hanafi.