Koalisi masyarakat sipil antikorupsi membuka ruang pengaduan bagi masyarakat penerima bansos Covid-19 di Jabodetabek yang dirugikan karena bansos itu telah dikorupsi. Penerima manfaat seharusnya memperoleh kompensasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus korupsi bantuan sembako Covid-19 di Jabodetabek tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merugikan sekitar 1,3 juta keluarga penerima manfaat. Masyarakat yang merasa dirugikan diharapkan melakukan pengaduan untuk kemudian menuntut pemulihan kerugian masyarakat kepada negara.
Berkenaan dengan hal itu, koalisi masyarakat sipil antikorupsi mulai membuka ruang pengaduan bagi masyarakat yang terdaftar sebagai penerima manfaat bansos sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek. Setidaknya terdapat 1,3 juta keluarga penerima manfaat yang berpotensi dirugikan.
”Kasus ini menegaskan bahwa korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia dan merugikan masyarakat luas meski sering kali sulit dilihat dampaknya terhadap masyarakat. Dalam kasus bansos di Jabodetabek membuka mata publik bahwa korupsi itu telah menimbulkan kerugian langsung,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Charlie Albajili, dalam konferensi pers virtual koalisi masyarakat sipi antikorupsi, Minggu (21/3/2021).
Menurut Charlie, akibat dari korupsi bansos sembako Covid-19 di Jabodetabek tersebut, diduga nilai paket bantuan yang diterima masyarakat di bawah dari yang dianggarkan, yakni dari seharusnya Rp 300.000. Akibat dikorupsi, bantuan yang diterima diperkirakan tidak lebih dari separuhnya.
Dari sisi hukum, lanjut Charlie, masyarakat perlu mendorong agar penegakan hukum dijalankan secara efektif dan tuntas. Namun, masyarakat diharapkan tidak tinggal diam mengingat masyarakat adalah korban dari kejahatan luar biasa tersebut. Dalam konteks masyarakat sebagai korban korupsi, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan.
Saat ini, negara telah memberikan restitusi atau kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia berat dan korban tindak pidana terorisme. Namun, ruang bagi korban tindak pidana korupsi sampai saat ini belum ada.
Terkait dengan hal itu, koalisi masyarakat sipil antikorupsi membuka pos pengaduan sebagai sarana untuk mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi menuntaskan kasus tersebut sekaligus untuk menuntut pemulihan hak bagi masyarakat yang menjadi korban.
”Dan ini baru kasus yang terkait dua pengusaha saja. Padahal kasus ini bisa lebih besar karena mencakup jutaan paket dengan ratusan kontrak. Kasus ini tidak hanya soal kerugian negara, tetapi kerugian masyarakat secara riil,” ujar Charlie.
Pentingnya penuntasan kasus tersebut digarisbawahi peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana. Menurut Kurnia, persoalan penegakan hukum mesti dituntaskan karena adanya pihak lain yang diduga terlibat. Salah satunya, anggota DPR Ihsan Yunus.
Selain itu, lanjut Kurnia, KPK dinilai lambat atau enggan untuk sesegera mungkin menggeledah beberapa lokasi yang ditengarai terdapat barang bukti penting terkait kasus tersebut.
KPK misalnya, melakukan operasi tangkap tangan terkait kasus tersebut pada 5 Desember 2020, tetapi penggeledahan terkait dugaan keterlibatan Ihsan Yunus, di rumah orangtuanya, baru dilakukan pada 12 Januari 2021, dan di rumah Ihsan Yunus di akhir Februari. Akibatnya, barang bukti penting bisa saja telah dipindahkan ke lokasi lain.
Terkait Ihsan Yunus, Kurnia berharap agar Dewan Pengawas KPK mengusut hilangnya nama Ihsan Yunus di surat dakwaan. Sebab, dugaan keterlibatan Ihsan Yunus sudah ditampilkan penyidik KPK ketika rekonstruksi kasus itu.
”Kami mendesak KPK agar transparan dan tidak berpihak pada kelompok tertentu. Dan kami mengimbau Dewas KPK agar tidak diam saja melihat banyak kejanggalan di sini,” ujar Kurnia.
Dari sisi masyarakat sebagai korban, Kurnia berharap agar penerima manfaat bansos yang merasa dirugikan dapat melapor ke pos pengaduan yang dibentuk koalisi masyarakat sipil antikorupsi. Menurut Charlie, pengaduan masyarakat tersebut jika memungkinkan akan diarahkan untuk upaya hukum guna menuntut penggantian kerugian atas korupsi yang dilakukan pejabat publik.
Andi Muhammad Rezaldi dari Divisi Advokasi HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan, korupsi mesti dipandang juga sebagai pelanggaran HAM. Hak masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui bansos sembako dilanggar dengan adanya korupsi.
Oleh karena itu, lanjut Andi, negara seharusnya memberikan perbaikan atau pemulihan kepada korban. Bentuknya dapat berupa restitusi, kompensasi, serta bantuan material maupun psikis. Negara pun harus menjamin bahwa tindakan yang merugikan hak orang lain tersebut tidak akan berulang.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, perkara atas nama tersangka JPB (Juliari P Batubara) masih tahap penyelesaian. Terkait dengan kerugian keuangan negara yang menyangkut pihak-pihak lain, sejauh ini penyidik masih melakukan penyelidikan untuk melihat dugaan peristiwa pidana sehingga dapat diterapkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Kami pastikan ini sesuai mekanisme hukum yang berlaku sehingga harus dilakukan lebih dahulu melalui tahap penyelidikan tersebut,” kata Ali.