Joko Tjandra Mengaku Termakan Iming-iming Pinangki
Dalam pleidoinya, Joko Tjandra mengatakan, kerinduannya untuk kembali ke Indonesia seakan menemukan jalan keluar. Pinangki disebut Rahmat sebagai orang yang akan membantu menyelesaikan persoalan hukum Joko Tjandra.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung dan penghapusan daftar pencarian orang dalam sistem keimigrasian, Joko Soegiarto Tjandra, menyatakan telah tertipu janji dan iming-iming Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Joko menyebut bahwa action plan atau rencana aksi untuk pengurusan fatwa tidak lebih sebagai modus penipuan.
Hal itu dikatakan Joko Tjandra dalam sidang perkara pengurusan fatwa bebas MA dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO) Joko Tjandra di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (15/3/2021). Sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan itu dipimpin hakim ketua Muhammad Damis.
Joko Tjandra mengatakan, kerinduannya untuk kembali ke Indonesia yang sebelumnya sempat pupus seakan menemukan jalan keluar ketika Rahmat menghubunginya dan mengatakan akan memperkenalkan dia dengan Pinangki. Pinangki disebutnya sebagai orang yang akan membantu menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi Joko Tjandra.
”Bukan saya yang mencari Pinangki, tetapi Pinangki yang mencari saya melalui Rahmat. Pinangki yang merekomendasikan dan membawa Anita Kolopaking untuk menjadi pengacara saya, kemudian mengajak Andi Irfan Jaya yang disebutnya sebagai konsultan. Mereka yang akan mengurus fatwa sebagaimana dijanjikan Pinangki,” kata Joko.
Menurut Joko, uang 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7 miliar yang diberikannya melalui mendiang Herriyadi kepada Andi Irfan Jaya bukanlah suap dan tidak dimaksudkan sebagai suap atau hadiah. Uang itu adalah uang muka dari biaya jasa konsultan dan jasa hukum dari total nilai 1 juta dollar AS.
Demikian pula terkait dengan dakwaan permufakatan jahat, menurut Joko Tjandra, dirinya sedari awal telah menolak rencana aksi pengurusan fatwa MA yang disodorkan kepadanya. Rencana aksi itu disebutnya sebagai modus penipuan karena dinilai sangat tidak masuk akal. Itu sebabnya, lanjut Joko, rencana aksi untuk pengurusan fatwa dihentikan dan dia tidak mau berhubungan lagi dengan Pinangki dan Andi.
”Saya menjadi korban penipuan. Saya menjadi aneh dan heran ketika jaksa penuntut umum menuntut saya telah melakukan permufakatan jahat. Padahal, saya yang menolak dan membatalkan action plan karena sangat tidak masuk akal,” kata Joko menjelaskan.
Joko Tjandra mengaku menyesal atas berbagai peristiwa yang kini menyeretnya sebagai terdakwa. Harapan dan kerinduannya untuk kembali ke Indonesia disebutnya telah dimanfaatkan orang lain untuk menipunya.
Tim penasihat hukum Joko Tjandra, yang antara lain terdiri dari Soesilo Aribowo dan Krisna Murti, dalam nota pembelaan mengatakan, meskipun uang 500.000 dollar AS yang merupakan biaya jasa konsultan diberikan kepada Andi, pengurusan fatwa MA tetap tidak jadi dilakukan. Sebab, rincian dalam rencana aksi yang disampaikan Andi tidak disetujui Joko Tjandra.
”Rangkaian action plan tidak disetujui terdakwa dan itu lebih sebagai upaya memperdaya untuk mendapatkan aset terdakwa Joko Tjandra di Indonesia dengan dalih sebagai jaminan,” kata penasihat hukum.
Terkait dengan pemberian uang kepada Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, hal itu disebut bukanlah pemberian Joko Tjandra. Menurut penasihat hukum, Joko Tjandra sedari awal menyanggupi membayar Tommy Sumardi Rp 10 miliar sebagai biaya jasa konsultan.
Joko Tjandra disebut tidak pernah menyuruh Tommy memberikan uang baik kepada Napoleon maupun kepada Prasetijo. Jika uang itu kemudian digunakan untuk menyuap, hal itu dinilai merupakan perbuatan Tommy dan tanggung jawab Tommy secara pribadi sebagai konsultan.
Penasihat hukum juga menolak pendapat penuntut umum yang meminta permohonan Joko Tjandra sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator ditolak majelis hakim. Sebab, Joko Tjandra dinilai telah memberikan informasi yang penting dalam perkara itu dan dia adalah korban, bukan pelaku utama.