Vonis Jaksa Pinangki Jadi Pelajaran bagi Jaksa Penuntut
Putusan majelis hakim terhadap dua terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas Joko Tjandra yang lebih tinggi dari tuntutan perlu menjadi bahan evaluasi bagi jaksa.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo/Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa dinilai dapat memetik pelajaran dari vonis terhadap sejumlah terdakwa dalam kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk Joko Tjandra, terpidana kasus cessie Bank Bali. Putusan hakim yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa itu patut dijadikan bahan evaluasi.
Majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang dipimpin Hakim Ketua Ignatius Eko Purwanto menjatuhkan hukuman penjara kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari, terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas untuk Joko Tjandra, 10 tahun dan denda Rp 600 juta. Hukuman itu jauh lebih berat dari tuntutan jaksa 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta (Kompas, 9/2/2021).
Sebelumnya, terdakwa lain dalam perkara yang sama juga divonis lebih berat oleh majelis hakim, yakni Andi Irfan Jaya. Andi divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum 2 tahun 6 bulan. Majelis hakim menyebut tuntutan jaksa terlalu rendah (Kompas.id, 18/1/2021).
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril, Rabu (10/2/2021), mengatakan, putusan hakim itu dapat dimaknai sebagai bentuk koreksi hakim terhadap tuntutan jaksa yang lebih rendah. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi kepada terdakwa dan tidak terpaku pada tuntutan jaksa lantaran hakim memiliki independensi dalam memutus suatu perkara.
”Jaksa dapat belajar dari putusan hakim yang lebih tinggi ini karena mereka dapat menjadikannya referensi ketika ada peristiwa serupa. Dalam kasus tertentu, hakim bisa menjatuhi hukuman lebih tinggi. Oleh karena itu, tuntutannya juga bisa lebih tinggi,” kata Oce.
Senada dengan itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan, putusan terhadap Pinangki dan Andi itu menjadi lompatan bagus yang dilakukan hakim dan perlu diapresiasi. Sebab, hakim telah memutus secara obyektif dan tidak hanya sebatas menerima apa yang disuguhkan jaksa penuntut umum.
Ia menjelaskan, dalam sistem peradilan pidana, kejaksaan hanya melihat dari aspek bukti yang dia kumpulkan. Bukti tersebut menjadi dasar dalam menuntut. Adapun pengadilan melihat dari secara obyektif untuk membuka semuanya. Mereka membuka dari aspek motif, kerja sama, dan lidik.
Sudut pandang sempit
Hibnu mengapresiasi pengadilan yang membuka suatu perkara secara obyektif. Alhasil, kasus tersebut tidak seringan apa yang dituntut jaksa.
Menurut Hibnu, sudut pandang jaksa dalam melihat kasus Pinangki ini terlalu sempit. Mereka hanya melihat Pinangki yang melakukan tindakan suap dan tindakan rekayasa. Putusan dari hakim menjadi pukulan bagi jaksa agar dalam mendalami suatu kasus lebih luas sehingga tidak mudah menuntut dengan begitu ringan.
Hibnu berharap, vonis dalam kasus ini dapat menjadi evaluasi bagi jaksa dalam menuntut, khususnya pada perkara yang melibatkan penegak hukum yang mendapatkan sorotan masyarakat.
Saat dimintai komentar terkait vonis terhadap jaksa Pinangki, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak tidak merespons telepon ataupun pesan singkat Kompas.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji menilai wajar putusan hakim yang memutus melebihi tuntutan jaksa. Hakim memiliki kebebasan dalam memberikan ukuran pemidanaan. Putusan yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa bukan kesewenangan hakim.
Namun, hakim lebih menilai pelanggar sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya memberikan citra integritas justru dianggap melakukan perbuatan tercela. Putusan ini dapat menjadi refleksi agar ada kepatuhan integritas dari aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Adapun kejaksaan, menurut Indriyanto, sudah memiliki ukuran dan dasar penuntutan terhadap pelaku dari apparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan warga biasa terkait dugaan pelanggaran deliknya. Ukuran dan dasar tersebut untuk menghindari adanya disparitas penuntutan.