Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus pengurusan fatwa bebas MA untuk Joko Tjandra divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta. Vonis itu menjadi lompatan dan membuat aparat hukum berpikir ulang melanggar hukum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vonis yang dijatuhkan majelis hakim bagi jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk Joko Tjandra dapat menjadi lompatan yang bagus. Vonis ini dapat menjadi pembelajaran bagi jaksa agar mendalami kasus secara luas.
Sebelumnya diberitakan, majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang dipimpin hakim ketua Ignatius Eko Purwanto dengan dua hakim anggota, Agus Salim dan Sunarso, menjatuhkan hukuman penjara kepada Pinangki selama 10 tahun dan denda Rp 600 juta. Hukuman tersebut jauh lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta (Kompas, 9/2/2021).
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan, vonis ini menjadi lompatan yang bagus. Sebab, hakim melihat Pinangki merupakan auktor intelektualis dan penegak hukum yang harus memberikan perlindungan kepada negara. Pinangki yang seharusnya menjadi contoh justru melakukan kejahatan.
Hakim betul-betul memberikan putusan yang adil dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa seorang penegak hukum yang melakukan kejahatan harus pidananya lebih maksimal. Yang bagus lagi, hakim memutuskan hukuman maksimal dari yang diancamkan sesuai yang ditetapkan undang-undang.
”Hakim betul-betul memberikan putusan yang adil dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa seorang penegak hukum yang melakukan kejahatan harus pidananya lebih maksimal. Yang bagus lagi, hakim memutuskan hukuman maksimal dari yang diancamkan sesuai yang ditetapkan undang-undang,” kata Hibnu saat dihubungi di Jakarta, Rabu (10/2/2021).
Menurut Hibnu, putusan ini menjadi lompatan bagus yang dilakukan hakim dan perlu diapresiasi. Sebab, hakim telah memutus secara obyektif dan tidak hanya sebatas menerima apa yang disuguhkan jaksa penuntut umum. Apalagi, banyak putusan hakim yang lebih rendah dari tuntutan.
Ia menjelaskan, dalam sistem peradilan pidana, kejaksaan hanya melihat dari aspek bukti yang dia kumpulkan. Bukti tersebut menjadi dasar dalam menuntut. Adapun pengadilan melihat secara obyektif untuk membuka semuanya. Mereka membuka dari aspek motif, kerja sama, dan lidik. Karena itu, di dalam undang-undang, hakim tidak terikat pada tuntutan dari penuntut umum.
Hibnu mengapresiasi pengadilan yang membuka suatu perkara secara obyektif. Alhasil, kasus tersebut tidak seringan apa yang dituntut jaksa.
Menurut Hibnu, sudut pandang dari jaksa dalam melihat kasus Pinangki ini terlalu sempit. Mereka hanya melihat Pinangki yang melakukan tindakan suap dan tindakan rekayasa. Putusan dari hakim menjadi pukulan bagi jaksa agar mendalami suatu kasus secara lebih luas sehingga tidak mudah menuntut dengan begitu ringan.
Selain menuntut Pinangki dengan hukuman ringan, jaksa juga menuntut ringan bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo terkait kasus dugaan korupsi dalam penghapusan red notice di Interpol atas nama Djoko Tjandra. Prasetijo hanya dituntut dengan hukuman 2,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hibnu berharap, vonis dalam kasus ini dapat menjadi evaluasi bagi jaksa dalam menuntut, khususnya pada perkara yang melibatkan penegak hukum yang mendapat sorotan masyarakat.
Jaksa seharusnya juga melihat kasus ini dari sisi kondisi sosial masyarakat dan situasi politik negara yang sedang memberantas korupsi. Masyarakat ingin pelaku korupsi dihukum berat, apalagi penegak hukum. Dari segi politik, pemerintah mencanangkan pemberantasan korupsi di semua lini. Penegak hukum menjadi garda terdepan dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Tak ada batasan
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, hakim memiliki kebebasan dalam memberikan ukuran pemidanaan. Karena itu, tidak ada batasan intervensi dari regulasi maupun pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. ”Jadi, wajar saja kalau hakim memutus melebihi tuntutan jaksa,” kata Indriyanto.
Wajar saja kalau hakim memutus melebihi tuntutan jaksa.
Meskipun tidak terikat, menurut Indriyanto, putusan hakim bisa berpijak pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 sebagai pedoman pemidanaan terkait kasus korupsi pada sangkaan Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi yang memperberat para tersangka.
Ia menegaskan, putusan yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa bukan sebagai kesewenangan hakim. Namun, hakim lebih menilai pelanggar sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya memberikan citra integritas justru dianggap melakukan perbuatan tercela. Putusan ini dapat menjadi refleksi agar ada kepatuhan integritas dari aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Adapun menurut Indriyanto, kejaksaan sudah memiliki ukuran dan dasar penuntutan terhadap pelaku dari aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan warga biasa terkait dugaan pelanggaran deliknya. Ukuran dan dasar tersebut untuk menghindari adanya disparitas penuntutan.
Kompas sebelumnyasudah meminta tanggapan dari Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, terkait masukan untuk jaksa tersebut, tetapi hingga Rabu malam tidak ada respons.