Vonis Lebih Tinggi dari Tuntutan, Kejaksaan Perlu Pedoman Penuntutan
Komisi Kejaksaan menyarankan agar kejaksaan menerbitkan pedoman penyusunan tuntutan. Usulan ini disampaikan menyusul dijatuhkannya vonis terhadap para terdakwa terkait kasus Joko Tjandra yang lebih tinggi dari tuntutan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tuntutan jaksa yang dinilai terlalu ringan dalam perkara terkait Joko S Tjandra menunjukkan ada yang mesti dibenahi oleh lembaga kejaksaan. Komisi Kejaksaan mengusulkan penyusunan pedoman penuntutan, khususnya untuk perkara yang melibatkan aparat penegak hukum.
Terdapat tiga perkara terkait Joko Tjandra, yakni kasus pembuatan surat jalan palsu, pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung, dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO) Joko Tjandra dari sistem keimigrasian. Dalam ketiga kasus tersebut, seluruh terdakwa divonis lebih berat dari tuntutan jaksa, kecuali Joko Tjandra dalam kasus pengurusan fatwa dan penghapusan DPO yang masih dalam proses persidangan.
Komisi Kejaksaan mengusulkan penyusunan pedoman penuntutan, khususnya untuk perkara yang melibatkan aparat penegak hukum.
Dalam kasus surat jalan palsu, baik Joko Tjandra, Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, maupun Anita Kolopaking dijatuhi hukuman penjara lebih tinggi 6 bulan dari tuntutan. Dalam kasus pengurusan fatwa bebas MA, jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis penjara lebih tinggi 6 tahun dari tuntutan, sementara Andi Irfan Jaya divonis lebih tinggi 3 tahun 6 bulan dari tuntutan.
Sementara dalam kasus penghapusan DPO berdasarkan red notice, Tommy Sumardi divonis lebih tinggi 6 bulan dari tuntutan. Sementara Prasetijo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte divonis penjara lebih tinggi 1 tahun dari tuntutan.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, Jumat (12/3/2021), berpandangan, dalam perkara terkait Joko Tjandra, satu benang merah yang tampak adalah majelis hakim menilai tuntutan terlalu rendah. Secara umum, sebagai penuntut umum, jaksa bertindak atas nama negara dengan perspektif korban, yang korbannya bisa jadi orang per orang, lembaga, atau negara.
”Keseimbangan itu yang harus dijaga dalam tuntutan, yakni tidak terlalu tinggi atau terlalu ringan. Kasus ini harus menjadi (momentum) pembenahan ke depan agar disusun pedoman untuk mengatur itu,” kata Barita.
Pedoman penyusunan penuntutan tetap diperlukan, khususnya jika melibatkan aparat penegak hukum yang semestinya mendapat pemberatan atau hukuman yang lebih berat.
Saat ini, lanjut Barita, pedoman yang dimiliki kejaksaan adalah jika vonis hakim kurang dari dua pertiga dari tuntutan, jaksa wajib banding. Selain itu, sudah ada pedoman yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri dalam menyusun rencana penuntutan, kecuali untuk perkara tingkat tinggi yang tetap harus dilaporkan kepada Kejaksaan Agung.
Menurut Barita, adanya perbedaan antara tuntutan dan vonis pada dasarnya adalah hal yang lumrah. Itulah sebabnya terdapat ruang banding dan kasasi. Namun, pedoman penyusunan penuntutan tetap diperlukan, khususnya jika melibatkan aparat penegak hukum yang semestinya mendapat pemberatan atau hukuman yang lebih berat.
Kasus terkait Joko Tjandra yang kemudian menyeret Pinangki sedari awal telah memunculkan dugaan praktik mafia hukum. Dalam konteks semacam itu, diperlukan pedoman penuntutan yang terperinci berdasarkan rasa keadilan publik.
”Kami mengharapkan ada pedoman yang tidak bersifat lentur atau karet, tetapi bersifat pasti. Jadi, unsur-unsur yang menentukan besaran tuntutan itu jelas dan ada pegangannya,” ujar Barita.
Dalam jangka pendek, Kejaksaan Agung segera melakukan eksaminasi terhadap perkara terkait Joko Tjandra.
Barita berharap, dalam jangka pendek, Kejaksaan Agung segera melakukan eksaminasi terhadap perkara terkait Joko Tjandra. Sebab, meskipun secara normatif kejaksaan telah menjalankan tugasnya sebagai penuntut umum, rasa keadilan publik yang terusik karena tuntutan yang rendah itu belum terjawab.
Ketika memberikan pengarahan kepada jajaran kejaksaan pada Selasa (9/3/2021), Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meminta agar para jaksa lebih teliti dan cermat dalam melaksanakan tugas pra-penuntutan dengan memperhatikan petunjuk teknis penanganan perkara. Para jaksa diminta agar memahami unsur-unsur delik dan bukti permulaan.
”Jangan menimbulkan proses penegakan hukum yang serampangan karena sesungguhnya apa yang kita lakukan akan menjadi refleksi keadilan di mata masyarakat,” kata Burhanuddin.
Terkait dengan vonis hakim yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa tersebut, penasihat hukum Prasetijo, Petrus Bala Pattyona, mengatakan, Prasetijo menerimanya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Prasetijo di depan hakim.
Sementara penasihat hukum Napoleon, Santrawan T Paparang, mengatakan, Napoleon telah secara tegas menyatakan sikapnya untuk banding. Sebab, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, majelis hakim seharusnya membebaskan Napoleon.
”Majelis hakim kenapa harus takut membebaskan terdakwa kalau fakta sejatinya berbanding terbalik dan tidak seperti yang termuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik serta dakwaan dan surat tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Santrawan.