Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Irjen Napoleon Bonaparte dengan 4 tahun penjara. Hukuman itu lebih tinggi dari tuntutan jaksa, 3 tahun penjara. Majelis hakim menilai tuntutan jaksa terlalu ringan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus penghapusan daftar pencarian orang atas nama Joko Tjandra dalam sistem keimigrasian berdasarkan red notice, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Putusan majelis hakim tersebut lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum, yakni 3 tahun penjara.
Majelis hakim menilai Napoleon terbukti menerima uang sebesar 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 7,2 miliar dari Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi. Pemberian tersebut dimaksudkan agar Napoleon memberikan informasi mengenai status red notice Joko Tjandra di NCB Interpol Indonesia dan menyurati Direktur Jenderal Imigrasi agar nama Joko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) dalam sistem keimigrasian.
Napoleon terbukti menerima uang sebesar 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 7,2 miliar dari Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa Napoleon yang mengetahui Joko Tjandra adalah buron semestinya segera melaporkan kepada pihak kejaksaan agar memperbarui red notice atas nama Joko Tjandra. Namun, yang dilakukan Napoleon malah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya sebagai penegak hukum sehingga mengakibatkan nama Joko Tjandra terhapuskan dari DPO dalam sistem keimigrasian.
Hal itu terungkap dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan terhadap Napoleon di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (10/3/2021). Sidang dipimpin hakim ketua Muhammad Damis dengan didampingi Saifuddin Zuhri dan Joko Subagyo sebagai hakim anggota.
”Menyatakan terdakwa Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata hakim ketua.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan penuntut umum tentang lamanya pidana terhadap Napoleon, yakni 3 tahun penjara. Menurut majelis hakim, tuntutan tersebut terlalu ringan.
Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum tentang lamanya pidana terhadap Napoleon, yakni 3 tahun penjara. Menurut majelis hakim, tuntutan tersebut terlalu ringan.
Hal yang memberatkan, menurut majelis hakim, perbuatan Napoleon tidak mendukung program pemerintah untuk mencegah dan memberantas korupsi. Selain itu, perbuatan Napoleon sebagai anggota Kepolisian Negara RI dapat menurunkan citra, wibawa, dan nama baik Polri.
”Terdakwa dapat dikualifisir tidak ksatria, ibarat lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat, tetapi menyangkal perbuatannya. Terdakwa sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas terjadinya tindak pidana dalam perkara ini,” kata majelis hakim.
Adapun keadaan yang meringankan adalah Napoleon dinilai sopan selama pemeriksaan di persidangan dan selalu hadir dengan tertib. Selain itu, Napoleon belum pernah dijatuhi pidana dan telah mengabdi sebagai anggota Polri lebih dari 30 tahun. Napoleon pun masih memiliki tanggungan keluarga.
Terhadap vonis tersebut, Napoleon menyatakan akan mengajukan banding. Menurut Napoleon, dirinya telah mengalami pelecehan martabat sejak Juli 2020 hingga saat ini.
”Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga saya dilecehkan. Saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding,” kata Napoleon.
Napoleon menyatakan akan banding atas putusan majelis hakim. Ia pun merasa telah mengalami pelecehan martabat sejak Juli 2020 hingga saat ini.
Sementara itu, penuntut umum menyatakan pikir-pikir.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta juga menjatuhkan vonis dalam kasus yang sama kepada Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dengan pidana 3 tahun 6 bulan penjara. Hukuman tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan jaksa, 2 tahun 6 bulan.