Obyektivitas Kemenkumham dalam memverifikasi KLB Partai Demokrat penting karena keputusan yang diambil bisa berimbas terhadap kepercayaan publik pada pemerintah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diminta mengambil keputusan yang obyektif dalam menyikapi hasil Kongres Luar Biasa Partai Demokrat. Selain mesti berlandaskan pada Undang-Undang Partai Politik dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Demokrat yang telah disahkan, kementerian hendaknya memverifikasi keabsahan dari pengurus Demokrat yang menyetujui KLB dan memilih Moeldoko sebagai ketua umum. Apalagi kabar yang beredar, mereka yang hadir di KLB bukan pengurus asli.
”Jadi, fakta dan prosesnya diuji. Apakah fakta dan proses itu sesuai dengan AD/ART (Demokrat) dan UU Parpol? Jangan sekadar ada ajuan (pendaftaran kepengurusan partai), langsung ditindaklanjuti atau diproses begitu saja,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf saat dihubungi, Senin (8/3/2021).
Sebelumnya, salah satu penggagas KLB, Hencky Luntungan, menyatakan akan menyerahkan dokumen hasil KLB ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk disahkan, minggu ini. Bahkan, sempat direncanakan diserahkan pada Senin (8/3), tetapi hingga petang tak terlihat kehadiran kubu KLB di Kemenkumham.
Di sisi lain, Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono mendatangi Kemenkumham untuk menyerahkan bukti bahwa mereka yang terlibat di KLB bukan pengurus yang sah. Agus yang hadir bersama pimpinan pengurus Demokrat di daerah sekaligus meminta agar Kemenkumham menolak pengesahan hasil KLB dan menyatakan KLB itu inkonstitusional.
Di tengah perseteruan kedua kubu yang saling klaim keabsahan ini, lanjut Asep, penting bagi pejabat di Kemenkumham untuk betul-betul menjadi pejabat publik. Mereka harus bersikap netral, obyektif, dan normatif sesuai perundang-undangan.
”Jangan sampai pemerintah terseret oleh karena konflik ini, harus betul-betul obyektif supaya bisa memutuskan dengan adil. Tidak boleh ada keberpihakan,” kata Asep.
Verifikasi peserta KLB
Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, jika mengacu pada UU Partai Politik, khususnya Pasal 32 dan 33, KLB dinilainya tidak tepat, maka semestinya KLB dinyatakan tidak sah. Sesuai bunyi kedua pasal itu, jika ada perselisihan di internal parpol seharusnya diselesaikan di internal, yaitu melalui lembaga di partai yang menangani perselisihan seperti mahkamah partai. Jika tidak puas dengan putusan mahkamah itu, langkah selanjutnya diserahkan ke pengadilan.
”Jadi, UU Parpol sudah mengatur aturan mainnya. Bukan dengan langsung menggelar KLB,” ujar Feri.
KLB seharusnya mengikuti AD/ART Demokrat terakhir yang telah disahkan Kemenkumham, dalam hal ini AD/ART hasil Kongres Demokrat tahun 2020. Ini yang penting untuk dicermati Kemenkumham karena Demokrat kubu Agus menyatakan KLB tak sesuai AD/ART. Selain KLB belum ada persetujuan dari Majelis Tinggi Demokrat, peserta yang hadir juga disinyalir bukan ketua DPD atau DPC Demokrat yang asli.
”Maka, Kemenkumham juga harus mengecek ketua DPC dan DPD Demokrat yang asli. Daftar kepengurusan yang sah bisa dicek di KPU. Daftar di KPU harus jadi rujukan,” katanya.
Feri menekankan, obyektivitas Kemenkumham dalam persoalan Demokrat sangat penting karena keputusan Kemenkumham kelak bisa berimbas pada kepercayaan publik terhadap pemerintah, bahkan Presiden Joko Widodo.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar, yang diwawancarai seusai menerima dokumen yang diserahkan Agus, menyatakan akan menelaah laporan itu. Adapun terkait KLB Demokrat, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebelumnya menyatakan, hasil KLB akan diverifikasi dengan berlandaskan pada UU Partai Politik dan AD/ART Partai Demokrat.
Mengenai peserta KLB Demokrat, sejumlah elite Demokrat di bawah kepemimpinan Agus berulang kali menyebut mereka bukanlah ketua DPC dan DPD Demokrat yang sah.
Mantan Wakil Ketua DPC Demokrat Kotamobagu, Sulawesi Utara, Gerald Piter Runtuthomas, melalui video yang disiarkan dalam jumpa pers di kantor DPP Demokrat, Jakarta, Senin (8/3), mengungkapkan, dirinya diiming-imingi uang Rp 100 juta untuk ikut KLB dan memilih Moeldoko.
Saat itu Gerald menyadari tidak memiliki hak suara. Pemilik hak-suara sah adalah ketua DPC. Namun, ia mengaku tetap dipaksa hadir. Setelah KLB terlaksana dan Moeldoko terpilih, Gerald mengaku menerima Rp 5 juta.
Uang transportasi
Hencky Luntungan membantah iming-iming uang Rp 100 juta itu. Uang yang diberikan kepada peserta KLB disebutnya sebatas uang transportasi dan akomodasi.
Ia juga membantah peserta KLB yang disebut bukan pemilik suara sah. ”Siapa yang bilang abal-abal kalau kongres luar biasa? Kan, kongres luar biasa bukan berarti sesuatu yang tabu,” ujarnya.
Mengenai kapan akan menyerahkan dokumen hasil KLB ke Kemenkumham, ia mengatakan saat ini masih tahap finalisasi. ”Dalam minggu ini (diserahkan),” ujarnya.
Sementara itu, Marzuki Alie bersama lima orang lainnya yang dipecat oleh Demokrat di bawah kepemimpinan Agus, menggugat surat keputusan pemecatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut Marzuki, langkah ini ditempuh karena hasil KLB Demokrat yang membatalkan pemecatan keenam kader Demokrat tersebut belum disahkan oleh Kemenkumham.
”Karena hasil KLB belum diakui Kemenkumham, kami posisinya masih dipecat. Karena itu, kami ajukan keberatan itu,” ujarnya.