Sepekan terakhir, kasus Covid-19 di tingkat global meningkat lagi. Negara-negara diminta waspada. Alih-alih bersiap, dinamika politik di negeri ini malah bergolak.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Suhu politik nasional menghangat setelah terjadi perpecahan di Partai Demokrat. Konflik mencuat ke publik dan menjadi peperangan terbuka setelah istilah ”kudeta” digaungkan. Konflik terus meruncing dan berujung pada kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, 5 Maret 2021. Partai Demokrat pun terbelah. Di satu sisi dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono, satunya lagi dipimpin Moeldoko.
Pertikaian yang terjadi di Partai Demokrat ini tidak hanya menimbulkan kegaduhan di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Mesin pencari Google membuktikan, sejak 3 Maret, kata ”KLB Partai Demokrat” banyak dicari dan trennya meningkat, bahkan hampir menyusul kata ”Covid-19”.
Kata ”kudeta” berkonotasi negatif. Christopher D Moore dari Universitas Bethel dalam tulisannya berjudul ”Kudeta Politik” mendefinisikannya sebagai bentuk pengambilalihan kekuasaan yang tak normal secara ilegal atau ekstralegal dan tanpa memperhitungkan kehendak rakyat. Namun, berbeda dengan revolusi, kudeta umumnya dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan.
Sejak 3 Maret, kata ’KLB Partai Demokrat’ banyak dicari dan trennya meningkat, bahkan hampir menyusul kata ’Covid-19’.
Perpecahan Partai Demokrat menjadi semakin ramai diperbincangkan, tentu tak terpisahkan dari keberadaan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Presiden ke-6 RI sekaligus ayah dari AHY. Moeldoko juga menjabat Kepala Staf Kepresidenan, yang merupakan lingkar satu pemerintahan Joko Widodo. Berbagai analisis dan spekulasi politik pun mencuat. Ada asap, ada api.
Terlepas dari sumber apinya, kita tentu berharap konflik yang terjadi di Partai Demokrat segera terselesaikan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pada Pasal 32, mengamanatkan, perselisihan partai politik pertama-tama harus diselesaikan secara internal, apakah dilakukan suatu mahkamah partai atau sebutan lain. Susunan mahkamah itu disampaikan pemimpin parpol kepada kementerian dan harus diselesaikan dalam 60 hari.
Selanjutnya, Pasal 33 mengatur, apabila penyelesaian perselisihan tidak tercapai, dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Penyelesaian di pengadilan negeri paling lama 60 hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan, sedangkan di MA paling lama 30 hari sejak memori kasasi terdaftar. Artinya, akan menghabiskan energi sedikitnya lima bulan.
Perpecahan partai yang berujung dualisme kepengurusan kerap terjadi. Pemicunya bisa disebabkan ketidakpuasan atas hasil pemilu atau kalkulasi menghadapi pemilu. Bedanya, kini, bangsa ini tengah menghadapi masalah besar, pandemi Covid-19 yang membutuhkan totalitas energi semua elemen. Di sinilah, para elite parpol hendaknya menekan hasrat dan ego kekuasaan, mengatasi derita rakyat dikedepankan.