Pemerasan Seksual Manfaatkan Data Korban di Daring
Kian marak kejahatan pemerasan seksual melalui internet atau ”sextortion” untuk mendapatkan uang hingga kepuasan dari korban.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerasan seksual atau sextortion melalui daring kian marak. Biasanya pelaku mengancam akan menyebarluaskan foto atau video intim korban yang diperolehnya di daring. Dengan ancaman itu, pelaku meminta korban menyerahkan uang atau mengeksploitasi korban secara seksual.
Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2020 menyampaikan pengaduan kejahatan siber melonjak 300 persen. Dari 97 aduan pada 2018 menjadi 281 aduan pada 2019. Dugaan kejahatan siber terbanyak diadukan selama 2019 itu adalah ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video intim korban, yakni sebanyak 91 kasus.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) pun mencatat peningkatan kejahatan daring selama masa pandemi. Dari 60 kasus dengan 45 di antaranya penyebaran konten intim nonkonsensual pada tahun 2019, menjadi 169 kasus penyebaran konten intim nonkonsensual atau melonjak signifikan dalam rentang Maret hingga Juni 2020.
Baca juga : Kekerasan Daring seperti Puncak Gunung Es
Salah satu sextortion dialami Adinda (22), warga Jakarta Timur. Dia terkejut ketika tiga orang tidak dikenal mengirim pesan langsung ke akun Instagram dan Line miliknya pada akhir November 2020. Ketiga orang itu menanyakannya tentang unggahan tarif ”kencan” yang memuat identitas dirinya di Whisper, aplikasi percakapan anonim.
”Ada orang unggah status kencan dengan tarif Rp 500.000. Di situ ada empat foto dan ID Line gue,” ucap Adinda, Kamis (4/3/2021).
Adinda tidak berhasil melacak siapa pengunggah tarif kencan beserta foto dan ID Line miliknya karena sulit menemukan seseorang di aplikasi media sosial anonim. Langkah satu-satunya yang ia lakukan ialah mengunci akun Instagram dan menghapus akun Line yang sudah tersebar ke orang-orang tak dikenal.
”Harus lebih hati-hati dengan aplikasi apa pun untuk tidak mencantumkan banyak data pribadi,” ujarnya.
Teror
LYN (24), warga Kota Tangerang, Banten, juga sempat cemas ketika penagih pinjaman daring dari aplikasi ilegal mengancam akan menyebarkan foto intimnya jika tak segera melunasi pinjaman. Saat itu, dia menunggak hingga belasan juta rupiah dari pinjaman yang semula Rp 2 juta.
”Belakangan saya baru tahu aplikasi ilegal punya akses ke galeri di handphone. Mereka ambil foto dari situ untuk mengancam,” kata LYN.
Baca juga : Perempuan dalam Jebakan Kejahatan Daring
Seorang kenalannya yang bekerja di aplikasi pinjaman daring menyarankan LYN untuk menghapus kontak, foto, dan video di gawainya supaya tak makin banyak data pribadinya diambil aplikator. Menurut LYN, cara itu cukup efektif karena ancaman berkurang. Apalagi dia beritikad baik untuk melunasi pinjaman meskipun tak bisa sekaligus karena melemahnya kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19.
Belakangan saya baru tahu aplikasi ilegal punya akses ke galeri di handphone. Mereka ambil foto dari situ untuk mengancam.
Pemerasan seksual juga dialami ROS (42), warga Jakarta Utara, Oktober silam. Dia berkenalan dengan TOP, seorang pria, melalui Facebook. Keduanya lalu menjalin hubungan dekat layaknya berpacaran.
Suatu ketika, ROS yang sedang bersiap mandi dipaksa TOP untuk panggilan video. ROS sempat menolak dan mengungkapkan bahwa dirinya hanya menggunakan sarung. Namun, TOP memaksa dan menunjukkan bagian tubuh tanpa busana.
Baca juga : Ruang Tersembunyi Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Maya
Beberapa pekan kemudian, ROS ditelepon TOP, yang mengabarkan ia mengalami kecelakaan dan meminta dikirimi uang Rp 700.000. Namun, ROS tak bisa mengirim karena ia sendiri tidak bekerja. Karena tidak dikirimi uang, ROS dihubungi TOP yang mulai memaksa dan meneror.
ROS juga kaget karena akun Facebook-nya diambil alih TOP. ROS dihubungi temannya bahwa di akun Facebook miliknya ada video dan fotonya tanpa busana serta kalimat-kalimat tak pantas. Status dalam Facebook seolah-olah ditulis ROS sehingga membuat teman-temannya heran, bahkan anak-anak dan keluarga ROS pun tahu.
Pelaku tak dikenal
Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri melalui kanal Siber TV di Youtube, Rabu (3/3/2021), menyampaikan bahwa beberapa tahun belakangan sextortion marak terjadi dengan target remaja hingga dewasa. Pelakunya sebagian besar orang tak dikenal meskipun ada juga orang dekat.
Baca juga : Mengenali Pelaku Kekerasan Daring terhadap Perempuan
Hal itu sejalan dengan temuan Plan International, yayasan yang bergerak dalam pemenuhan hak anak, agensi kaum muda, serta kesetaraan bagi anak dan kaum muda perempuan. Dalam surveinya pada 1 April hingga 5 Mei 2020 kepada 14.071 perempuan muda berusia 15-25 tahun di 22 negara, responden mengaku bahwa pelaku kekerasan daring paling banyak ialah orang tak dikenal.
Orang tak dikenal ini mencakup orang yang sama sekali tidak dikenal oleh korban, pengguna media sosial dengan atribut anonim, seseorang yang menggunakan media sosial tetapi bukan teman atau kerabat korban, dan kelompok orang yang juga tidak dikenal oleh korban.
Pelaku lainnya berasal dari lingkaran dekat korban, misalnya dari lingkungan pendidikan/pekerjaan, teman, dan pasangan atau mantan pasangan korban.
Baca juga : Mari Bermedia Sosial dengan Hati-hati
Kepala Subdirektorat 1 Dittipidsiber Komisaris Besar Reinhard Hutagaol menyebutkan sextortion marak terjadi karena warganet kurang hati-hati dan menganggap segala sesuatu yang ada di dunia maya adalah nyata meskipun belum tentu demikian.
”Padahal, orang bisa tampilkan bukan foto aslinya. Pakai foto yang terlihat ganteng atau cantik untuk menarik pertemanan awal sebagai pintu masuk sextortion. Ibarat gunung es, yang melapor hanya sedikit atau ketika sudah lelah atau kehabisan uang (padahal banyak korbannya),” jelas Reinhard.
Waspada
Polisi menyebutkan motif pelaku sextortion sebagian besar ialah mencari uang. Kendati begitu, ada motif lain, seperti dendam karena putus cinta, sakit hati, dan penyimpangan seksual.
Karena itu, Reinhard mengingatkan warganet untuk berhati-hati dengan tidak mudah percaya ketika berkenalan melalui media sosial dan tidak asal membuka tautan atau lampiran dari siapa pun yang tidak dikenal.
”Sadarilah bahwa aktivitas daring pasti ada jejak digital yang tidak akan hilang. Sebaiknya jangan memotret atau merekam aktivitas intim,” katanya.
Baca juga : Jangan Takut Lapor dan Blokir Akun Pelaku
Di sisi lain, polisi menggunakan upaya preemtif berupa edukasi kepada masyarakat dan kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Upaya lainnya adalah menangkap pelaku sextortion atas aduan yang masuk.
Berani melapor
Apabila menjadi korban, Reinhard menyarankan korban untuk berani melaporkan sextortion yang dialami supaya tidak makin lama berada dalam belenggu pelaku.
Sebaiknya jangan melakukan sesuatu yang diminta pelaku. Pastikan menangkap layar percakapan sebagai barang bukti, menginformasikan kepada orang sekitar perihal sextortion yang dialami, dan menutup akun media sosial untuk sementara waktu.
Dittipidsiber di laman patrolisiber.id mencatat ada 208 laporan terkait pornografi dari 2.259 laporan sepanjang 2020. Data itu berdasarkan jumlah laporan polisi yang masuk di seluruh kepolisian daerah.