Mengenali Pelaku Kekerasan Daring terhadap Perempuan
Kaum perempuan perlu memiliki literasi digital sebelum memutuskan untuk mengakses media daring dan media sosial. Ini mengingat ancaman pelaku-pelaku kekerasan yang tidak dikenal di ranah virtual terus mengintai.
Ibarat bertarung dalam sebuah pertandingan, lawan yang dihadapi perempuan saat mengalami tindak kekerasan di dunia virtual tidak kelihatan. Sebagian besar perempuan korban kekerasan daring tidak mengenali pelakunya. Literasi digital bagi perempuan menjadi kunci pencegahan.
Profil pelaku kekerasan daring terhadap perempuan tergambar dari temuan survei lembaga Plan International. Survei dilaksanakan pada 1 April-5 Mei 2020 kepada 14.071 perempuan muda berusia 15-25 tahun di 22 negara. Hasil survei menemukan, lebih dari separuh responden (58 persen) pernah mengalami kekerasan di ruang daring.
Berdasarkan jawaban responden yang mengetahui pelaku kekerasan, baik terhadap dirinya maupun terhadap perempuan lain yang dikenal, praktik ini paling banyak dilakukan oleh orang asing (stranger). Kategori orang asing di sini mencakup orang yang sama sekali tidak dikenal oleh korban, pengguna media sosial dengan atribut anonim, seseorang yang menggunakan media sosial tetapi bukan teman atau kerabat korban, serta kelompok orang yang juga tidak dikenal oleh korban.
Bagian terbesar responden menyebutkan, pelaku merupakan orang asing (36 persen) dan pengguna media sosial dengan atribut anonim (32 persen). Memang, ada pula pelaku yang berasal dari lingkaran dekat korban, seperti dari lingkungan pendidikan/pekerjaan, teman, serta pasangan atau mantan pasangan korban. Namun, tetap yang paling banyak adalah orang yang tidak dikenal.
Melihat bentuk tindak kekerasan yang terjadi, seperti pecelehan seksual daring, pelaku yang tidak dikenal atau anonim ini menggunakan motif iseng sebelum menjebak lebih jauh korbannya. Munculnya pelaku asing dalam kekerasan virtual tidak dapat dilepaskan dari karakteristik dan ekosistem internet dan media sosial. Dalam lanskap internet, jelajah dunia menjadi mudah dijangkau. Teknologi internet membuat batasan wilayah dan waktu menjadi lebih dekat.
Dalam hal pengiriman pesan, misalnya, hanya dalam hitungan detik setiap orang bisa mendapat atau mengirim pesan dari pihak lain yang berada di lain negara atau bahkan lain benua melalui surat elektronik. Melalui internet, pengguna juga dapat mengakses sumber-sumber informasi global secara tidak terbatas.
Demikian pula dengan media sosial. Media sosial atau juga jejaring sosial merupakan bagian dari media baru. Media ini menawarkan digitalisasi, konvergensi, interaktivitas, dan pengembangan jaringan terkait pembuatan pesan dan penyampaian pesannya.
Karakter media sosial menjadikan penggunanya sebagai kreator dan aktor yang memungkinkan dirinya untuk beraktualisasi diri membuat konten-konten digital. Pada saat yang sama, media sosial memungkinkan konten yang dibuat tersebut dapat dibagikan kepada banyak orang dan tidak terbatas pada satu orang tertentu. Bahkan, para pengguna media sosial bisa dengan mudah berpartisipasi.
Tanpa disadari, jaringan informasi di media sosial ini tidak hanya bersifat virtual, tetapi juga cenderung bersifat transparan. Sifat ini setidaknya memiliki dua sisi, dari aspek pengungkapan dan terkoneksi. Transparan dalam pengungkapan lebih melihat pada sisi kebebasan pengguna media sosial dalam mengungkapkan suatu hal atau fenomena, seperti ungkapan perasaan, pengalaman, pernyataan, bahkan sampai kritik.
Sementara transparan dalam aspek koneksi adalah sisi keterbukaan jejaring sosial dan penggunanya memberikan izin bagi pihak lain untuk saling terkoneksi. Melalui jejaring virtual ini, informasi yang bersifat pribadi, dapat terhubung atau diakses oleh orang lain. Contohnya adalah foto aktivitas pribadi/keluarga yang dapat dilihat oleh pengguna lain di Facebook.
Etika penggunaan
Di luar konteks virtual dan transparan, kehadiran internet dan media sosial juga membawa problem dari sisi etika dalam berkomunikasi. Karakter kebebasan dan keterbukaan virtual oleh sejumlah pengguna internet dan media sosial menjadi celah pelanggaran etika komunikasi.
Hal ini, antara lain, muncul dalam penggunaan identitas palsu, pengunduhan materi yang dilindungi hak cipta, hingga penyebaran berita bohong atau hoaks. Belum lagi muatan konten yang melanggar privasi, moral, dan aturan hukum, seperti penghinaan atau ujaran kebencian.
Salah satu bentuk terkikisnya etika dalam perkembangan internet dan media sosial tersebut adalah munculnya kekerasan daring terhadap perempuan. Survei Plan International juga memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan daring, seperti ungkapan pelecehan/penghinaan, ejekan yang membuat malu, ancaman kekerasan seksual, dan penguntitan (stalking).
Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami kaum perempuan adalah kata-kata pelecehan dan penghinaan. Ini dialami oleh lebih dari separuh responden (59 persen) yang pernah menjadi korban kekerasan virtual.
Dampak dari kekerasan daring ini membawa derita yang tidak dapat dipandang remeh. Penyintas kekerasan daring ini paling banyak mengalami tekanan psikologis, yaitu stres dan kehilangan kepercayaan diri. Pengaruh buruk kekerasan virtual ini juga berimbas pada perilaku sosial korban. Sejumlah penyintas mengungkapkan, kekerasan membuat mereka memiliki masalah dalam hubungan dengan teman, keluarga, serta lingkungan sekolah/tempat kerja.
Mencermati dua temuan fenomena kekerasan daring di survei tersebut, yaitu pelaku anonim dan bentuk kekerasan yang dilakukan, memberikan gambaran ancaman dari keberadaan media daring dan media sosial bagi perempuan. Selain memberikan manfaat dalam perkembangan ekosistem digital global, sisi lain keberadaan media daring membawa dampak rasa tidak aman bagi perempuan pengguna media tersebut.
Literasi digital
Dengan memahami karakter media daring ini, literasi digital merupakan bekal dasar yang harus dimiliki kaum perempuan sebelum memutuskan memiliki akun pribadi di ranah virtual. Sebab, bagaimanapun, praktik kekerasan di media daring akan terus terjadi mengingat karakteristik media daring dan media sosial yang cenderung transparan ini rawan pelanggaran etika.
Cecilia Mwende, perempuan jurnalis sekaligus pemerhati jender bidang keamanan digital di Kenya, menekankan pentingnya faktor literasi keamanan digital sebagai bentuk perlindungan bagi perempuan saat beraktivitas daring.
Dalam wawancaranya dengan Badan PBB untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), ia menyerukan faktor keamanan digital yang mencakup pelatihan perempuan dan anak perempuan sebagai modal dasar untuk melindungi diri mereka sendiri. Melihat perempuan sebagai kelompok yang paling rentan secara daring, Cecilia Mwende membagikan strategi yang dapat membantu perempuan tetap aman dan nyaman menggunakan teknologi digital.
Pertama, buat kata sandi yang kuat. Dalam artian, kata sandi yang digunakan merupakan kombinasi kombinasi huruf, angka, dan simbol yang tidak mudah ditiru orang lain. Disarankan pula memiliki kata sandi yang berbeda untuk akun yang berbeda.
Tips dan trik lain yang dapat dilakukan adalah unduh aplikasi daring yang akan digunakan dari platform resmi dan selalu gunakan verifikasi dalam dua tahap. Setelah menggunakan aktivitas daring, disarankan untuk keluar dari akun untuk menghindari tindak peretasan atau pembobolan data identitas.
Patut diperhatikan pula untuk menggunakan jaringan Wi-Fi pribadi saat berbagi informasi sensitif, seperti transaksi perbankan secara daring. Selain itu, gunakan perangkat antivirus dan jika memungkinkan selalu gunakan jaringan virtual pribadi demi keamanan identitas.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menambahkan, dalam ranah daring, melindungi privasi berarti melindungi data pribadi, terlebih data sensitif, dari siapa pun yang bisa mengakses informasi tersebut, baik secara daring maupun luring.
Tipe data pribadi yang harus dijaga agak tidak bocor ke mana-mana adalah nama, alamat pribadi, serta nomor identitas, termasuk KTP, SIM, NPWP, nomor paspor, dan nomor kendaraan. Identitas lain adalah nomor kontak personal, sidik jari, tulisan tangan, alamat internet protocol (IP address), serta informasi atas properti pribadi.
Di tengah besarnya ancaman kekerasan di ranah virtual, literasi digital bagi perempuan merupakan faktor utama yang dapat dilakukan untuk mencegah tindakan kekerasan. Di Indonesia, dalam catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan daring terhadap perempuan terus menunjukkan tren peningkatan. Sepanjang tahun ini, hingga Oktober 2020, Komnas Perempuan mendapat 659 kasus pengaduan kekerasan daring. Jumlah ini meningkat dari 2019, yaitu sebanyak 281 kasus.
Berbagai ragam dukungan regulasi dan kebijakan dilakukan pemerintah, LSM, dan masyarakat untuk mencegah praktik kekerasan daring ini. Dari sisi regulasi, tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan dituangkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU No 44/2008 tentang Pornografi.
Dalam aspek kebijakan dan layanan pengaduan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membentuk unit perlindungan di tingkat daerah sebagai lembaga layanan perempuan yang mengalami kekerasan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga menyiapkan beberapa kanal bagi masyarakat untuk mengajukan perlindungan, seperti hotline 148, pengaduan daring, atau datang langsung ke kantor LPSK.
Baca juga : Jangan Takut Lapor dan Blokir Akun Pelaku
Kontribusi lain perlindungan juga dilakukan Safenet dengan membuat pedoman menyikapi kekerasan berbasis jender secara daring, atau disebut juga kekerasan berbasis gender online (KBGO), sebagai media edukasi bagi masyarakat. Di sisi lain, Komnas Perempuan turut menyediakan saluran khusus pengaduan melalui telepon dan surat elektronik. Saat ini, Komnas Perempuan juga tengah mendesak pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar muncul regulasi yang lebih berdaya melindungi perempuan dari tindak kekerasan.
Di luar berbagai dukungan dan kebijakan perlindungan dari kekerasan daring yang sedang diupayakan, faktor kemauan dan kemampuan memahami ekosistem digital bagi perempuan itu sendiri diperlukan untuk mendukung keamanan saat berselancar di dunia virtual. Ini perlu disadari para perempuan sebelum memutuskan untuk mengakses media daring mengingat ancaman pelaku-pelaku kekerasan yang tidak dikenal di ranah virtual terus mengintai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ruang Tersembunyi Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Maya